Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum untuk Ayah

1 Maret 2017   07:08 Diperbarui: 1 Maret 2017   07:16 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
zenguwintara.blogspot.com

Di pinggir lapangan, seorang murid sedang duduk memainkan rumput-rumput yang ada di sekitarnya.

Sementara dari arah kejauhan, tampak seorang lelaki setengah baya berpenampilan necis berjalan menghampiri sang murid.

Berbasa-basi sebentar, keduanya kemudian terlihat akrab meski dengan status yang berbeda. Mereka bercengkrama mengisi kegiatan menjelang sore.

Lelaki setengah baya itu rupanya seorang guru  dan baru di datangkan dari daerah lain untuk mengajar di sekolah tempat sang murid.

Ditengah obrolan tiba-tiba sang guru bertanya kepada murid yang duduk di sebelahnya untuk sekedar mengakrabkan diri.

“Nak… perbuatan baik apa yang sudah kau kerjakan dari pagi ini?”

Sang murid terdiam. Tampak kerutan di jidatnya. Sang guru memanggilnya kembali.

“Nak… coba ingat-ingat lagi, apa yang sudah kau lakukan hari ini?”

Sang murid menundukkan kepala. Matanya terpejam.

“Ehmmm….” Hanya itu yang terdengar dari mulutnya

“Baiklah… kalau kau tidak tahu, begini saja… sekarang, perbuatan baik apa yang ingin kau lakukan?” sang guru menawarkan alternatif lain.

Sang murid menatap wajah gurunya dengan ekspresi yang sulit di tebak. Lalu menundukkan kepala dengan berucap:

“Saya ingin bisa tersenyum sama bapak saya pak” jawab sang murid datar.

“Maksudmu???”

Sang murid tidak langsung menjawab.

“Jangankan buat ngobrol, untuk senyum saja kalau ketemu bapak saya, saya tidak pernah lagi” sang murid menundukkan matanya setelah tadi menatap jauh ke depan.

“Ya Allah… kenapa emangnya?” sang guru memandangi wajah muridnya yang semakin terbenam diantara kedua kakinya.

Sang murid terdiam dengan wajah masih tertunduk. Terdengar hembusan nafas dari mulutnya.

Melihat muridnya yang enggan bercerita, Sang guru pun merebahkan dirinya. Matanya menerawang menatap awan yang bergerombol. Bahkan ada yang seolah saling berkejaran.

“Kau lihat nak… awan kelihatan cakep banget kalau lagi ngumpul. Seperti membentuk sebuah pulau. Menjadi satu kesatuan. Pun demikian dengan kita, akan kuat jika bersatu. Apalagi dengan saudara, terutama dengan orang tua tentunya”

Hening. Tak ada respon. Sang murid masih dengan posisi dan sikap yang sama dengan sebelumnya.

“Dulu bapak pernah marah dengan adik bapak sampai tidak menegurnya dengan waktu lumayan lama. Kami saling membisu jika bertemu. Tidak pernah lagi bertegur sapa, sampai ketika adik bapak sakit, bapak ngga mau nganterin dia ke dokter….” sang guru berhenti sejenak, mengharap respon dari sang murid.

Hening. Hanya hembusan angin sore menyapu debu lapangan. Sungguh menyegarkan diri di sore hari.

“Tapi itu dulu. Duluuuu sekali, saat kami masih seumuran sepertimu. Gara-garanya sepele, hanya karena adik bapak dibelikan sepeda baru, sementara bapak tidak. Kata orang tua, “pakainya gantian saja”. Jelas saja bapak menolak. Bapak marah saat itu juga, terutama pada adik bapak.”

Sang murid mulai tertarik dengan cerita sang guru. Ia mengangkat wajah dan mendengarkan sambil memandang wajah sang guru.

“Sampai pada adik bapak semakin parah dengan penyakitnya, baru bapak sadari bahwa tindakan bapak membencinya adalah salah. Bapak mulai menegurnya kembali. Bapak menemani dan menjaganya di kamar. Hingga akhirnya adik bapak sembuh kembali dan kami menjadi akur lagi”

Sang murid menghembuskan nafas. Senyum di wajahnya kembali menghilang. Berharap ending cerita sang guru akan tragis, ternyata malah anti klimaks. Tatapan sang murid kosong ke depan.

“Kau nak.. apa yang terjadi dengan dirimu dan bapakmu sampai kau tak berani untuk senyum padanya?”

“Sebenarnya tidak ada kejadian apa-apa antara saya dengan bapak saya” singkat jawab sang murid.

“Kamu tidak boleh begitu nak, itu bapak kamu. Biar bagaimanapun dia yang membesarkan kamu. Sekarang  Kamu harus datang kepadanya, cium telapak tangannya, minta maaf dan akui kamu tidak akan bersikap seperti itu lagi” saran sang guru

Sang murid tersenyum. Ia berdiri. Merentangkan kedua tangan dan menghirup udara dalam-dalam. Kemudian perlahan ia menghembuskannya.

“Saya baik-baik saja pak dengan bapak saja”

“Lah terus.. yang membuatmu jadi tidak bisa tersenyum pada bapakmu apa? Apa dong masalahnya???” tanya sang guru penasaran

“Haahahahaha….. saya tidak bisa tersenyum sama bapak saya karena bapak saya sudah meninggal pak….” Ujar sang murid cenggegesan.

“Apppaaa???????”

“Hahahahahahaha….” Sang murid tertawa gembira sambil meninggalkan sang guru yang masih bengong dengan sikap muridnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun