Hening. Hanya hembusan angin sore menyapu debu lapangan. Sungguh menyegarkan diri di sore hari.
“Tapi itu dulu. Duluuuu sekali, saat kami masih seumuran sepertimu. Gara-garanya sepele, hanya karena adik bapak dibelikan sepeda baru, sementara bapak tidak. Kata orang tua, “pakainya gantian saja”. Jelas saja bapak menolak. Bapak marah saat itu juga, terutama pada adik bapak.”
Sang murid mulai tertarik dengan cerita sang guru. Ia mengangkat wajah dan mendengarkan sambil memandang wajah sang guru.
“Sampai pada adik bapak semakin parah dengan penyakitnya, baru bapak sadari bahwa tindakan bapak membencinya adalah salah. Bapak mulai menegurnya kembali. Bapak menemani dan menjaganya di kamar. Hingga akhirnya adik bapak sembuh kembali dan kami menjadi akur lagi”
Sang murid menghembuskan nafas. Senyum di wajahnya kembali menghilang. Berharap ending cerita sang guru akan tragis, ternyata malah anti klimaks. Tatapan sang murid kosong ke depan.
“Kau nak.. apa yang terjadi dengan dirimu dan bapakmu sampai kau tak berani untuk senyum padanya?”
“Sebenarnya tidak ada kejadian apa-apa antara saya dengan bapak saya” singkat jawab sang murid.
“Kamu tidak boleh begitu nak, itu bapak kamu. Biar bagaimanapun dia yang membesarkan kamu. Sekarang Kamu harus datang kepadanya, cium telapak tangannya, minta maaf dan akui kamu tidak akan bersikap seperti itu lagi” saran sang guru
Sang murid tersenyum. Ia berdiri. Merentangkan kedua tangan dan menghirup udara dalam-dalam. Kemudian perlahan ia menghembuskannya.
“Saya baik-baik saja pak dengan bapak saja”
“Lah terus.. yang membuatmu jadi tidak bisa tersenyum pada bapakmu apa? Apa dong masalahnya???” tanya sang guru penasaran