Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemanusiaan RTC] Ujung Jalan Punya Cerita

27 Juli 2016   21:05 Diperbarui: 27 Juli 2016   21:13 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihat ke ujung jalan sana, ada beberapa wanita sedang berdiri centil menggoda setiap pengguna jalan dengan panggilan-panggilan mesra dan sayang. Mereka berkelompok, ada yang berdua, bertiga tapi ada juga yang sendiri. Seperti wanita di bawah pohon itu.

Tubuhnya bahenol dengan bokong semok dan payudara yang wah-wah-wah-wah. Kedua matanya agak sipit dengan alis sedikit menyambung. Ia berlenggak lenggok bak seekor binatang enthok. Menantang siapa saja untuk meremas bokong indahnya.

Dandanannya yang menor dan medok sulit untuk diterka berapa umurnya.  Bisa jadi dua puluhan. Tapi dilihat dari bentuk bodynya, di atas dua puluh lima atau bisa juga tiga puluhan.

Ada juga wanita yang duduk di trotoar jalan, menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Sepertinya dia wanita yang belum cukup memiliki pengalaman dalam ‘bisnis’ ini dibandingkan wanita-wanita lain yang ada di sekitar tempat itu.

Sesekali dia berdiri kemudian duduk lagi di trotoar jalan. Tak ada teriakan atau panggilan sayang dari bibir tipisnya seperti yang lain. Hanya tatapan mengharap ‘kedatangan’ bagi siapapun yang melihat ke arahnya.

Sekarang alihkan pandangan ke arah lain. Seorang lelaki setengah baya dengan penampilan parlente ala ekskutif-ekskutif muda. Celana bahan juga berjas hitam, di dalamnya kemeja warna biru telur asin dengan dasi menggantung di lehernya. Rambutnya kelimis tersusun rapi oleh minyak rambut yang sepertinya baru dibeli dari luar negeri. Katanya…

Dia berdiri tegak di samping mobil sambil matanya jelalatan mengawasi sekitar. Dia biarkan pintu sebelah kanan terbuka, suara musik remix terdengar dari dalam mobil. Tidak keras, tapi lumayan untuk bisa membuat kepala bergoyang ke kiri ke kanan.

Tangan kanan memegang sebatang rokok. Dihisap rokok tersebut, perlahan asap keluar dari hidung dan mulut yang sedikit ‘dower’. Berulang ia menghisap asap rokok, berulang juga ia mengeluarkannya dengan memejamkan mata dan menggelengkan kepala.

Sepertinya ia sedang menikmati betul sensasi pada sebatang rokok. Kepulan asap tembakau keluar dengan beragam bentuknya. Kadang standar, bulat, juga kotak. Rupanya ia termasuk maestro perokok karena keahliannya memainkan asap.

Rintik embun membasahi pagi

Tak jauh dari pria parlente tersebut bergaya, seorang pemuda tanggung sedang mendekap perut dengan tangan kanannya. Entahlah apa yang dia rasa. Sakit perut karena kekenyangan atau kelaparan ? Kalau dilihat dari penampilannya, tidak mungkin dia sakit perut karena kekenyangan.

Badannya kurus, hanya dibalut celana levis buntung di bawah lutut dan kaos oblong bergambar caleg dari pemilu beberapa waktu lalu. Rambutnya awut-awutan. Seluruh tubuhnya dekil dan bau. Di sebelahnya bersandar ‘kendaraan’ mata pencahariannya dalam mengais pundi-pundi uang di ibu kota yang terkenal pelit. Tidak besar, tapi cukuplah untuk tempat beristirahat seorang anak kecil (adiknya) setelah seharian bekerja penuh.

Pemuda tanggung itu meringis kesakitan. Matanya terpejam-pejam. Ia berdiri tak lama duduk kembali. Begitu seterusnya. Ia mencoba menggerakan dan menarik gerobaknya. Tapi tak sanggup. Ia mengaduh, suaranya menggerang.

Ia dekati tengah gerobak dan mencoba mencari-cari sesuatu yang ada di dalamnya. Dapat, ia tersenyum. Perutnya diolesi dengan minyak angin.

Ia bisa tenang sekarang. Namun sepuluh menit kemudian, ia meringgis kembali, mengaduh sampai meraung menahan sakit. Kadang nungging, miring kanan-kiri, duduk sambil terus meraung.

Sang bocah kecil terbangun. Masih dengan ketidaksadarannya, matanya menerawang mengamati sekitar. Lumayan ramai. Tapi suara itu, membuatnya menoleh.

Dilihatnya pemuda tanggung yang selalu bersamanya sedang meringgis menahan sakit. Segera ia bangun dan mendekatinya. Bertanya dan mengoceh apa saja kepada pemuda tanggung. Sang pemuda tidak menggubris. Ia berkonsentrasi dengan penyakit yang dideritanya.

Bocah kecil itu kembali ke gerobak. Dikorek-koreknya isi dalam gerobak. Ia mendapati sesuatu, balsem rupanya. Lantas ia melepas kaos pemuda tanggung dan menghadap ke punggungnya. Pemuda tanggung pasrah, kini ia sedikit tenang setelah melewati fase menakutkan tadi. Tapi tangan kanannya tak lepas dari memegang perut. Ia menunduk. 

Bocah itu mulai mengerjakan apa yang menurutnya sebagai pengobatan. Ia perlahan mengerok punggung pemuda tanggung. Pelan. Ia masih mendengar desisan raungan sakit. Dia mencoba menghibur sang pemuda, mengajak berbicara apa saja. Mungkin biar pemuda tersebut tak terlalu memikirkan penyakitnya.

Namun sedang asyiknya ia berceloteh, tiba-tiba sang pemuda rubuh. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri.

Berulang kali sang bocah memanggil nama pemuda tanggung tersebut. Tapi ia tak bergerak. Sang bocah berteriak. Menggoyang-goyangkan tubuh sang pemuda. Tetap tak ada reaksi. Ia berteriak. Berharap sekitar memperhatikannya. Tak ada respon.

Ia bangun. Meminta pertolongan kepada siapa saja yang mendengar. Ia berlari dari satu orang ke orang yang lain. Kepada lelaki parlente yang masih asyik dengan hisapan rokoknya dan kini ditemani seorang wanita. Ia memelas, memohon bantuan. Tak digubrisnya bocah itu. Justru sang bocah didorong hingga jatuh.

Sang anak berlari meminta bantuan kepada orang lain sampai kepada wanita seksi yang sedang meminum bir dengan seorang pria tua dalam mobil. Sang wanita mencak-mencak. Dia membentak sang anak. Dia tampar wajah anak itu. Dia mengusirnya dengan kasar. Bagi wanita tersebut, anak itu kalau tidak dikasari maka ia tidak akan kapok menganggunya.

Sang anak menangis. Dia mendengar sang wanita seksi tertawa terbahak-bahak dalam mobil. Dia bingung. Ditatapnya dari kejauhan seonggok tubuh kurus yang masih tergeletak di trotoar jalan samping gerobak tanpa ada yang menjaganya. Ia kembali mendekati setiap orang, memohon bantuan. Tapi cacian dan makian justru yang ia dapat.

Sekarang ia menatapku yang sedang duduk di warung sambil ngopi. Matanya tajam terus memandang. Kami jadi saling tatap. Tak mau terlibat urusan semacam ini, aku segera berdiri dan membayar apa saja yang sudah ku makan lantas pergi.

Namun baru beberapa langkah, tanganku ada yang menarik. Seorang anak kecil kurus menangis mengiba-mengiba meminta pertolongan. Dan aku baru sadar, setelah menatapnya dari dekat wajah anak itu. Anak ini kan…

Iya, anak inilah yang mengacaukan acaraku dulu saat peresmian gedung baru perumahan. Anak ini tiba-tiba masuk dan meraung untuk meminta keadilan penyediaan tempat tinggal bagi orang-orang seperti dia kepada pak Gubernur yang sedang berpidato.

Aku yang menjabat sebagai kepala dinas pembangunan rumah rakyat sekaligus ketua panitia acara, tentu dibuat malu oleh insiden tersebut. Sang Gubernur marah besar. Hampir saja aku dipecatnya, tapi tak jadi. Aku hanya dimutasi. Sekarang anak itu kembali menghampiri hidupku.

Kutepis tangan mungilnya. Ia ku dorong. Ku bentak dia dan kumarahi panjang lebar. Tapi ia seperti tak sadar. Aku melangkah pergi. Ia mengikuti dan terus memohon bantuan. Ia merengek. Tanganku terus digelayutinya. Kesal aku dengan tindakannya. Segera ku tepis dan ku tendang dia keras-keras. Ia terpental. Terjatuh di pinggir jalan. Tak bangun.

Segera kuambil langkah seribu. Aku pergi dari kegelapan. Aku menghilang dari kegelapan. Aku tak mau mendapati kegelapan. Biarlah kegelapan hanya untuk miliknya dan orang-orang sepertinya. Tidak untukku !

RTC punya
RTC punya
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun