Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemanusiaan RTC] Ujung Jalan Punya Cerita

27 Juli 2016   21:05 Diperbarui: 27 Juli 2016   21:13 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang anak berlari meminta bantuan kepada orang lain sampai kepada wanita seksi yang sedang meminum bir dengan seorang pria tua dalam mobil. Sang wanita mencak-mencak. Dia membentak sang anak. Dia tampar wajah anak itu. Dia mengusirnya dengan kasar. Bagi wanita tersebut, anak itu kalau tidak dikasari maka ia tidak akan kapok menganggunya.

Sang anak menangis. Dia mendengar sang wanita seksi tertawa terbahak-bahak dalam mobil. Dia bingung. Ditatapnya dari kejauhan seonggok tubuh kurus yang masih tergeletak di trotoar jalan samping gerobak tanpa ada yang menjaganya. Ia kembali mendekati setiap orang, memohon bantuan. Tapi cacian dan makian justru yang ia dapat.

Sekarang ia menatapku yang sedang duduk di warung sambil ngopi. Matanya tajam terus memandang. Kami jadi saling tatap. Tak mau terlibat urusan semacam ini, aku segera berdiri dan membayar apa saja yang sudah ku makan lantas pergi.

Namun baru beberapa langkah, tanganku ada yang menarik. Seorang anak kecil kurus menangis mengiba-mengiba meminta pertolongan. Dan aku baru sadar, setelah menatapnya dari dekat wajah anak itu. Anak ini kan…

Iya, anak inilah yang mengacaukan acaraku dulu saat peresmian gedung baru perumahan. Anak ini tiba-tiba masuk dan meraung untuk meminta keadilan penyediaan tempat tinggal bagi orang-orang seperti dia kepada pak Gubernur yang sedang berpidato.

Aku yang menjabat sebagai kepala dinas pembangunan rumah rakyat sekaligus ketua panitia acara, tentu dibuat malu oleh insiden tersebut. Sang Gubernur marah besar. Hampir saja aku dipecatnya, tapi tak jadi. Aku hanya dimutasi. Sekarang anak itu kembali menghampiri hidupku.

Kutepis tangan mungilnya. Ia ku dorong. Ku bentak dia dan kumarahi panjang lebar. Tapi ia seperti tak sadar. Aku melangkah pergi. Ia mengikuti dan terus memohon bantuan. Ia merengek. Tanganku terus digelayutinya. Kesal aku dengan tindakannya. Segera ku tepis dan ku tendang dia keras-keras. Ia terpental. Terjatuh di pinggir jalan. Tak bangun.

Segera kuambil langkah seribu. Aku pergi dari kegelapan. Aku menghilang dari kegelapan. Aku tak mau mendapati kegelapan. Biarlah kegelapan hanya untuk miliknya dan orang-orang sepertinya. Tidak untukku !

RTC punya
RTC punya
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun