Ku tutup lembar ramadhan 1437 H dengan senyum dan syukur atas segala rahmat, hidayah dan pertolongan yang diberikan Tuhan yang Maha Esa.
Takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil terlantunkan dari mulut yang penuh dosa ini.
Allah Maha Besar … Allah Maha Besar …. Allah Maha Besar ….. Dan bagi-Nya segala pujian.
Dingin udara malam ku rasakan saat berkumpul bersama kawan-kawan di tempat biasa nongkrong. Canda tawa ala anak muda menghiasi keakraban dan keriangan malam lebaran. Sayup-sayup gema suara takbir terdengar syahdu dah khusu’ dari berbagai sudut mushola. Pun sesekali melintas di jalan raya kendaran terbuka (bak) penuh dengan orang –orang merayakan kemenangan. Suara anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu semua bersahutan meramaikan malam lebaran. Syahdu juga khusu’.
Malam berjalan semakin jauh. Udara dingin semakin menusuk ke kulit tubuh yang tipis ini. Sebagian teman hilang dami kegiatan dengan keluarga. Nanti kumpul lagi, begitu janjinya. Aku cuma berdua. Tak lama satu lagi kawan datang. Tapi kami saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku pamit pulang. Menyalakan kendaraan dan meluncur cepat ke tempat tujuan.
Aku sendiri dalam kamar. Mengucap takbir. Memuji kebesaran Tuhan.
Tak lama mata terpejam. Sayup suara takbiran hilang dari kesadaran. Aku tidur dalam lelah. Lelah yang tak berarti. Sebentar. Tengah malam terbangun. Suara takbiran masih terdengar mengiringi malam.
Ku ucap takbir. Memuji keagungan Tuhan.
Kulanjutkan tidur malam. Berharap nanti pagi fisik segar menyambut hari kemenangan.
##
Pagi datang. Ku hirup dalam-dalam udara kamar. Sumpek.
Bergegas untuk mandi kemudian melanjutkan tugas kewajiban sebagai hamba Tuhan. Setelah itu aku sarapan. Mengisi kebutuhan jasmani sebelum menerima kebutuhan rohani, nanti di mushola.
Rumah Tuhan masih sepi. Hanya beberapa orang yang sudah siap memulai aktifitas di bulan Syawal. Seseorang asyik mengumandangkan takbir di depan. Jamaah lain mengikuti dari shaf belakang. Aku memilih duduk di barisan (shaf) ke tiga dari depan. Sholat dua rakaat sebagai aktifitas formalitas memasuki rumah Tuhan. Ah … kenapa hati ini masih berfikiran seperti itu ? hanya ‘formalitas’.Â
Selang beberapa menit kemudian satu, dua, tiga, empat orang bahkan lebih  datang silih berganti. Mengisi shaf-shaf belakang yang masih kosong. Bukan hal aneh kan ? tak jauh bedanya denganku. Padahal shaf satu dan dua dari depan masih belum penuh. Baru tiga sampai empat orang. Hahaha .. mungkin kebanyakan pikiran orang, itu tempat khusus orang-orang terhormat, semacam Ustadz, Pak Haji, Pak RT, RW atau orang-orang tua (banget). Tak enak kalau di tempati. Padahal Rosul tidak mengajarkan seperti itu. Bukankah begitu ?
Kumandang takbir berganti sholawatan atas Nabi Muhammad saw. Tanda sholat ‘Ied di mulai. Petugas pengumpul infak seperti biasa berkeliling dengan menengadah sajadah atau kain apa saja pada jamaah. Semua berlomba bersedekah. Tak peduli berapa jumlah yang dikeluarkan. Aku kurang setuju dengan cara itu. Terkesan ‘memaksa’ secara halus. Yaaa … meski niat tidak seperti itu. Tapi bagiku, cara menyediakan kotak-kotak amal dan diletakkan di ujung masing-masing shaf lebih terhormat di banding ada petugas keliling sambil menengadah. Ah … bagaimana mengubah kebiasaan ini ?
##
Khotib sekaligus Imam di datangkan dari daerah sebelah. Lumayan jauh. Kata Ketua Mushola dalam sambutannya, beliau dari kecamatan Bojong. Bagus juga, ada peningkatan lebih baik untuk sedikit mengubah cara lama memakai Ustadh produk dalam daerah. Biar ada perbedaan begitu tiap tahunnya.
Ketua mushola dalam sambutannya, selain memaparkan keuangan selama kegiatan sebelum dan pas ramadhan, beliau juga memaparkan tentang mimpinya untuk memperbaharui bangunan mushola dalam bentuk ‘tingkat’ karena melihat kapasitas jamaah sholat ‘Ied yang meluber sampai badan jalan. Sungguh cita-cita mulia. Tapi bagiku ironis.
Bangunan mushola sekarang saja, buatku sudah megah dan wah untuk ukuran mushola kampung. Kalau mau di tingkat lagi, mungkin akan jadi bangunan mushola super wah. Tapi ironis, sebabnya bangunan sekarang besar dan luas, tapi jamaah yang ada tidak bisa di bilang cukup. Bayangkan, untuk ukuran satu RT yang jumlah per-KK rata-rata mencapai 50 orang (kurang lebih), tapi saat ramadhan (sholat tarawih) hanya dua shaf yang dapat terkumpul. Sementara sholat fardhu, jangan harap lebih.
Faktanya, malah kurang dari jumlah itu. Bahkan pengalamanku beberapa waktu lalu (sebelum ramadhan) aku berniat sholat shubuh di mushola, dan ketika datang ternyata mushola dalam kondisi di gembok. Padahal kumandang adzan shubuh sudah tersiar dari mushola lain.
Aku tidak bermaksud menolak cita-cita itu. Tapi buatku, untuk sekarang ini yang utama yaitu bagaimana caranya dengan kondisi mushola yang ada kita bisa memanfaatkan mushola sebagaimana fungsinya dengan baik. Minimal ketika sholat 5 waktu datang, kumandang adzan dan orang sholat di mushola itu ada. Faktanya (mudah-mudahan ini salah) menurut pengamatan dan pengalamanku, mushola hanya di jadikan untuk sholat maghrib, isya dan shubuh saja. Plus ketika sholat 2 hari raya. Lebih jauh, bagaimana kita bisa membuat jamaah kita untuk senantiasa bisa hadir berjamaah di kala kewajiban sholat 5 waktu datang dengan nyaman dan khusu’. Kalau ini berjalan dan mushola penuh, baru kita jalankan cita-cita mulya itu.
##
Khotib berdiri gagah dan wibawa setelah melaksanakan shlat ‘Ied 2 roakat.
Suaranya kencang dan lantang. Memulai khutbah dengan bacaan takbir. Setelah itu melanjutkan isi khutbah dengan pesan-pesan moral berdasarkan al-Quran dan Hadis.
Pesan utamanya adalah supaya jamaah bisa memperoleh hasil yang di janjikan Allah bagi orang-orang yang baru saja menjalankan pelatihan di madrosah bernama ‘bulan ramadhan’ yaitu menjadi orang-orang yang bertaqwa.
Dalam khutbah yang beliau baca, beliau menyampaikan bahwa makna taqwa  dalam tulisan bahasa Arab mempunyai makna yang luar biasa bagi kita selaku umat manusia, yaitu:
Huruf ‘Ta’ bermakna Tawadhu atau rendah hati dalam beraktifitas. Kalau memiliki sifat tawadhu maka sifat sombong, pamer, merasa hebat tidak akan bersemayam dalam diri.
Huruf ‘Qof’ bermakna Qona’ah artinya adalah menerima (bersyukur) atas apa-apa yang ada atau yang di peroleh pada dirinya. Jika kita memiliki sifat ini maka kita terhindar dari sifat iri, dengki, hasud dan kufur nikmat.
Huruf ‘Wawu’ bermakna Wara’ artinya adalah berhati-hati menjaga diri dari yang dilarang (haram)
Terakhir huruf ‘Ya’ bermakna Yakin artinya setiap melakukan sesuatu atau amal maka kita yakini ini semua karena Allah SWT. Dan Allah pasti akan membalasnya.
Semangat menggebu-gebu terus berkobar pada khutbah sang khotib. Terakhir beliau mengajak untuk memaknai hari ‘Iedul Fitri ini sebagai hari kemenangan yang di isi dengan saling bermaaf-maafan antar sesama muslim dan sekitar terutama pada keluarga. Hal ini agar tercipta kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera di masyrakat.
##
Aku masih beraktifitas seperti tahun-tahun lalu. Bermaafan dengan keluarga, setelah itu bersenda gurau sambil menunggu kedatangan tetangga untuk saling bermaaf-maafan.
Bedanya tahun ini aku sudah bisa menjalankan aktifitas adat hari lebaran yaitu memberi sedikit rezeki kepada keluarga dan sanak family.
Aku senang. Menyambut uluran tangan-tangan dari bawah dalam balutan senyum kebahagiaan. Apalagi kepada orang tuaku. Perasaanya, mungkin sama denganku ketika dulu aku masih menerima uluran tangan dari atas dari sanak familiku. Bahagia menyambut rezeki yang berlimpah.
##
Aku dalam kamar. Terdiam. Mencoba merenung dan berupaya untuk bisa membuka diri menuju kesucian dengan keistiqomahan. Membuang jauh segala sifat dan sikap buruk yang selama ini bersemayam dalam diri. Lalu mempertahankan dan mampu menciptakan sikap baru dan sikap terbaik selamanya. Semoga. Amin.
SELAMAT HARI RAYA IDHUL FITRI 1437 HIJRIYAH
TAQABALALLAHU MINNA WA MINKUM
TAQABBAL YAA KARIIM
KULLU ‘AMIN WA ANTUM BIKHOIRIN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H