“Tumben nih anak Mama kok jadi susah cerita gini? Biasanya paling seneng kalau cerita.” Mama menjawil Dwi
“Sebenernya Dwi mau ke sekolah Ma, tapi Dwi takut. Dwi ngga mau ketemu sama Hery di sekolah.”
Mama mengangkat kepala Dwi yang tertunduk. “Loh memangnya kenapa? Kamu berantem sama Hery? Bukannya Hery sahabat kamu? Soulmate kamu?”
“Hery kemaren berubah Ma, ia sudah tak seramah seperti biasanya.”
“Kok Bisa?”
Dwi lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kemarin di kantin. Air matanya keluar tak terbendung mengingat sikap sahabatnya Hery yang berubah total seperti Gorila diambil anaknya.
“Oohh seperti itu…!” Ucap Mama usai mendengar Dwi bercerita.
“Dwi ngga suka lihat Hery kaya gitu Ma, marah-marah dan ngebentak. Dwi takut !.” Kedua tangan Dwi memegang kakinya, suara isakan tangis masih terdengar.
“Cuup.. Cuup.. Cuup sayang, iya Mama tahu kamu ngga suka dibentak. Nanti Mama coba bicara baik-baik dengan Hery. Mama juga harus tahu dong cerita dari Hery tentang kejadian kemarin. Udah ngga usah nangis lagi, nanti culunnya hilang kalau anak Mama nangis.” Pelukan hangat Mama mendiamkan isakan Dwi. Kedua matanya pun tak lagi mengeluarkan air. Dwi memang paling suka dipeluk Mama.
Mama memberikan kecupan di kening Dwi. “Sekarang masuk yuk, Dwi ngga boleh nangis lagi. Kita belajar di dalam, biar Dwi ngga ketinggalan pelajaran karena ngga masuk hari ini.”
“Iya Ma, tapi Dwi mau digendong Mama…”