Apa yang terjadi kemudian? Bukan sang badai angin yang masuk dalam lingkaran rantai, justru kedua pemuda yang terbelit rantai karena tiupan sang badai angin yang bertambah kencang. Mereka menahan diri agar tak terbawa angin dengan berpegangan pada rantai, namun tak bertahan lama, karena pada akhirnya mereka berdua yang terlempar dengan posisi terbelit rantai.
Semua warga Dusun terkesima. Mereka semua saling berpegangan. Mereka semakin cemas. Tak ada lagi harapan. Karena orang pintar dan sakti di Dusun tersebut sudah dikalahkan oleh sang badai angin yang secara tiba-tiba datang di tengah pesta.
Dari kejauhan seorang Nenek berjalan terseok-seok. Entah mau kemana gerangan? Tapi arah jalannya menuju pusat pusaran sang badai, sambil mengunyah sirih, ia meminta para warga untuk segera pergi. Warga tentu saja terkesima dengan keberanian Nenek.
Beberapa orang berusaha mencegah Nenek yang sering berjualan minuman di tepi pantai untuk tidak melanjutkan niatnya. Tapi percuma, sang Nenek bersikukuh untuk melawan sang badai. Apa daya, warga hanya bisa berharap semoga sang Nenek tidak celaka.
Sampai di dekat pusaran badai angin, sang Nenek terdiam. Mulutnya komat-kamit, tapi tidak untuk membaca mantra melainkan karena ia sedang mengunyah sirih. Semua warga menarik nafas untuk melihat kejadian berikutnya. Satu dua tiga menit, tak terjadi apa-apa. Pusaran angin masih kencang seperti sedia kala. Sementara sang nenek, selesai mengunyah sirih terakhir yang ada di mulutnya, tak lama ia berteriak sambil mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya. “Wahai badai angin…. Pergilah kau sebelum aku beri kau dengan ini…..!”
Seketika itu juga, sang badai angin terhenti dan keadaan kembali normal. Sontak seluruh warga terdiam. Mereka bingung dengan apa yang dilihatnya. Semuanya hening. Sibuk dengan pikirannya masing-masing melihat fenomena sang Nenek tua renta mampu mengusir pergi badai angin hanya dengan mengeluarkan sesuatu yang tak kelihatan oleh warga.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar tepukan seorang ibu muda yang sedang menggendong bayinya. Tak lama, yang lain ikut bertepuk tangan sambil mengelu-elukan nama sang pahlawan yang bernama Nenek Ipah. Melihat itu, sang Nenek beranjak pergi. Ia tidak memperdulikan keadaan sekitar yang terus menyanjung namanya.
Pesta kembali digelar. Sang Nenek perlahan semakin jauh dari pusat keramaian. Tanpa disadari sang Nenek, di belakangnya seorang pemuda tampan mengikutinya, rupanya pemuda itu bermaksud menanyakan keampuhan ilmu Nenek Ipah melawan badai angin.
Di tempat sepi, pemuda itu berhasil mengejar sang Nenek. Tanpa basa-basi ia segera menanyakan keampuhan jurus sang Nenek. Tapi respon Nenek cuek. Ia hanya diam. Sang pemuda tidak mau putus asa, ia kembali melancarkan pertanyaan dengan iming-iming memberi Nenek hadiah kalau ia menjawab pertanyaannya. Sang Nenek mulai terpancing. Ia kini mau memandang ke arah pemuda itu. Tak mau hilang kesempatan, pemuda itu menjanjikan akan memberikan hadiah daun sirih setiap hari selama sebulan jika sang nenek menjawab.
Nenek Ipah mengangguk tanda setuju. Lalu ia berkata, ”Sebenarnya gampang saja kalau kalian mau mengusir angin, apalagi kalau angin tersebut sudah masuk pada tubuh kalian. Mudah itu mah, kalian tinggal pergi ke warung lalu beli dan minum jamu ‘TOLAK ANGIN’ nenek jamin, angin apapun akan wes ewes ewes bablas angine…. Puas kamu anak mud?. Heheheheheheh….”
Sang pemuda hanya melongo mendengar jawaban dari Nenek Ipah. Sementara Nenek Ipah terus tertawa geli sambil memperlihatkan gigi ompongnya kepada pemuda tersebut.