Di sebuah dusun pinggir laut selatan, keramaian sedang berlangsung. Malam menjelang, bintang dan bulan memanjakan warga pesisir pantai Dusun ‘Kejeblos’ dengan sinarnya yang kuning keemasan. Tua, muda sampai anak-anak melebur jadi satu dalam kegembiraan menyambut hasil laut yang didapat beberapa minggu ini.
Anak-anak berlarian ke sana ke mari. Tawa mereka mengiringi datangnya debur ombak. Berlari. Bersembunyi. Lempar pasir. Senang sekali.
Ibu-ibu sibuk dengan masakannya. Berbagai macam olahan hasil laut menjadi menu utama. Ada pepes hiu buatan istri kepala desa. Tak mau kalah, istri seorang ustadz muda membuat karedok cumi laut. Istri Mas Walno tak ketinggalan membuat udang saus tiram plus sambal rumput laut. Beberapa gadis dusun tak mau ketinggalan juga untuk berkreasi dalam memasak. Hindun, remaja baru lulus SMEA sudah lebih dulu menyajikan ikan kakap kuah segar, olahan campuran berbagai bumbu dapur dengan daun salam. Deflon, putri juragan makelar perahu, mencoba merakit masakan cumi-cumi saus santan yang resepnya baru saja diperoleh dari selembar koran yang ditemukan saat belanja ke pasar tadi pagi.
Semua kaum wanita berlomba membuat masakan terunik. Berharap dengan masakannya para kaum lelaki bangga dan senang mendapati istri atau anaknya pintar memasak.
Sementara kaum wanita asyik dengan olahan masakannya, kaum lelaki atau bapak-bapak sedang gembira menari-nari. Sebagai ucapan syukur, begitu kata Kepala Dusun saat membuka acara tadi dengan melepas beberapa ekor penyu hasil ‘perawatan’ penduduk sekitar.
Meski laki-laki, tarian mereka lemah gemulai. Alunan musik gendang dan seruling plus alat musik tradisional kecapi, menambah syahdu suasana malam. Sedang asyik mereka menari, tiba-tiba saja dari kejauhan ombak menderu-deru. Angin berhembus kencang. Dan cahaya bintang juga bulan sekejap hilang tertelan awan gelap.
Anak-anak berlarian. Kini bukan karena kegembiraan, tapi justru ketakutan. Beberapa kali bunyi petir menggelegar. Angin kian membesar. Beberapa aksesoris acara yang terbilang kecil beterbangan. Tongkat, gendang, sendal, bunga-bunga, minyak wangi, selendang, juga kurungan ayam terbang tinggi laksana burung mengejar pasangan.
Ibu-ibu panik. Mereka berlarian kocar-kacir menyelamatkan diri tanpa ingat lagi dengan hasil olahan masakannya. Mereka tak lagi peduli melihat wajan, serbet, ulekan, juga cabe ikut bersama yang lainnya menuju angkasa raya. Yang penting mereka bisa selamat dari serangan mendadak ini. Sambil menggendong atau memeluk anak-anak tercinta mereka menangis meraung-raung. Sungguh situasi yang kontras dengan jelang malam tadi.
Salah satu tokoh Dusun maju, ia bisa disebut sebagai tokoh pencak silat paling jago di Dusun tersebut. Dengan memegang keris ia mencoba menghalau badai angin. Mulutnya komat-kamit, membaca apapun yang dihapalnya dengan harapan sang badai angin bisa segera pergi. Tapi apa yang terjadi? Belum sampai 10 menit, pertahanan sang tokoh pencak silat gugur. Ia terpelanting 5 meter. Tubuhnya terbang bagaikan kapas. Sontak saja semua mata warga Dusun terperanjat. Suara tangis ibu dan anak-anak semakin pecah. Sang tokoh pencak silat lalu ditolong dan dibawa pergi.
Tak lama kemudian, 2 tokoh pemuda yang memiliki tubuh gagah dan atletis maju. Mereka tertawa. Mengejek sang badai angin. Bagi mereka ini adalah persoalan kecil. Dalam riwayat curiculuum vitea mereka, di sana tertera dengan jelas bahwa mereka adalah spesialis penangkal angin dan petir. Khususnya angin puyuh.
Mereka berdiri. Mengeluarkan sebuah alat dari karung yang mereka bawa, ternyata sebuah rantai berukuran besar. Sepertinya mereka ingin mengikat sang badai angin dengan rantai tersebut. Mulut mereka komat-kamit. Beberapa butir telur mereka pecahkan dan oleskan pada rantai. Tak lama, kedua mata mereka melotot dan berkata: “Wahai angin…. Demi Tuhaaaaaaaaaannnn……… masuklah kau dalam ikatan rantai ini, dan kau selamat dari hukuman kami…..”