“Mari bu, terima kasih”
Aku pergi dengan sejuta harapan, semoga emak baik-baik saja di sana.
“Sayur…. Sayur…. Sayur….!!!!”
##
Aku tak sanggup lagi menahan tangis ketika kulihat emak merintih menahan sakit yang dirasa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Semuanya kurasa sudah. Kubelikan obat di warung dan emak meminumnya, sudah. Ku olesi perut emak dengan minyak angin kegemarannya, juga sudah. Kuberi minuman jahe hangat juga sudah. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia terus merintih.
Kupanggil emak Jinah tetangga paling dekat dari rumahku. Ia menghampiri. Membantu sebisa yang ia lakukan. Kuperhatikan tingkah lakunya. Ia terlihat agak panik. Keringatnya mengucur deras seperti yang aku rasakan. Rupanya, ia juga bingung harus melakukan apa setelah tadi memijit-mijit tubuh emak. Emak masih merintih. Air matanya terlihat keluar. Mungkin amat sangat sakit. Bu Jinah segera menyarankanku memanggil becak untuk membawa emak kerumah sakit terdekat di wilayahku. Aku segera menyetujui usulnya.
Aku berlari sekencang-kencangnya menuju pangkalan becak. Tak kuperdulikan orang-orang yang berpas-pasan denganku melihat dengan heran. Aku terus memacu kecepatan. Tepat di prapatan, aku menemukan mang Ujang sedang mangkal sendirian. Mang Ujang asli orang Sunda, tapi walau sudah berumur 50 tahun ke atas, ia tetap di panggil Mang oleh para warga. Aku berteriak memanggil namanya. Segera ku ceritakan maksudku. Tanpa tawar-tawar lagi, aku menyetujui harga yang disodorkan kepadaku. Sebab, dikepalaku hanya ada membawa emak cepat ke rumah sakit.
Kuperintahkan mang Ujang mengayuh becaknya dengan cepat. Tapi apa daya, umur telah menggerogoti fisik dan kekuatannya. Aku hanya bisa protes kecil di dalam hati atas kelambatannya ini. Tak lama, kurang lebih 5 meter dari rumahku. Aku melihat sudah banyak orang di rumahku. Aku tak memiliki firasat apa-apa.
Sesampainya di rumah, Aku menunduk lesu. Kulihat ada Pak RT yang kemarin menolak membantu aku dan seorang ustadh muda yang belum aku kenal tentang dirinya. Aku masuk rumah. Tangisku meledak, ketika kulihat ada sekujur tubuh tua yang terbaring lemah dengan wajah ditutupi kain. Ada dua orang sedang asyik membaca al-quran. Tubuhku langsung dipegang erat oleh ibu-ibu yang berada di ruang tengah. Aku tak tahan, aku meronta. Kupeluk tubuh tua yang ternyata sudah terbujur kaku. Kupanggil namanya berulang-ulang. Tapi ia tak menyahut. Kupanggil lagi berulang-ulang. Lagi ia tak menyahut. Aku kaget. Tak lama mataku berkunang-kunang. Pandanganku jadi tak jelas dan tiba-tiba…..
##
Pagi ini, Aku membaca Koran bekas sebagaimana yang kulakukan pada hari-hari sebelumnya. Kucari kolom favoritku. Di sudut atas kiri terdapat kolom berita mengabarkan “Seorang anak menjadi strees setelah ditinggal mati emaknya. Ia mengamuk sejadi-jadinya kepada para pelayat yang bertakziah kepadanya. Amukannya memuncak ketika melihat seorang lelaki agak tua, dengan memakai kopyah hitam mendekatinya dan memberinya ucapan turut berduka cita. Ia mencengkram leher lelaki itu dan mencekiknya hingga meninggal. Tak digubrisnya teriakan-teriakan para pelayat untuk menghentikan tindakannya. Setelah itu, diketahui lelaki itu adalah seorang pejabat RT di wilayah tersebut. Kini sang anak di penjara karena perbuatanya.”
Aku tersenyum membacanya. Kepuasan menyelimuti alam pikiran. Tapi sejenak terlintas pertanyaan. Ada apa gerangan dengan diri..? aneh….!??! Tak lama kemudian, Aku tertawa keras dalam ruang beruji besi seorang diri.