Namun, bukan Rusdin namanya kalau tidak panjang akal. “Kebetulan aku punya teman yang baru kenal di kapal. Dia juga orang Indon. Pas aku curhat, dia langsung nolongin aku. Untunglah dia ada kakak yang kerja di kapal itu” ujar Rusdin di sebuah sms ketika saya mengkonfirmasi beberapa hal saat ingin menuliskan artikel ini. Akhirnya selama menuju Makassar, Rusdin bersembunyi di kamar pribadi awak kapal tersebut saat pemeriksaan tiket. “Deg-degan juga sih, tapi mau apa lagi” lagi-lagi ungkapnya dengan mimik santai. Ponsel Rusdin pun tidak jadi sebagai jaminan.
Saya tiba-tiba mengernyitkan dahi ketika Rusdin menyebut ‘Indon’. Setahu saya, masyarakat Indonesia di Malaysia tidak nyaman dipanggil demikian karena dianggap melecehkan. Namun saya tidak sempat menanyakan kepada Rusdin perihal ini. Saya memilih membiarkannya lanjut bercerita.
***
Uang yang dipakai Rusdin untuk melanjutkan perjalannya yang terakhir menuju kampung halamannya merupakan pinjaman dari Kampung Halaman. Belakangan Zery memberitahu keluarga Rusdin bahwa uang tersebut “tidak usah dibalikin, biarin aja”.
Ketika saya tanya apa sebanarnya yang menjadi alasan Rusdin memutuskan untuk pulang, ia menjawab mantap dengan suara yang agak menurun,”Aku ingin menemani ayah dan melihatnya hingga tua. Aku tidak mau seperti remaja Kaledupa lain yang ditinggal ayahnya dan tidak pernah kembali”. Memang, menurut data dari www.jalanremaja1208.org, dari 5338 keluarga, lebih 600 di antaranya tidak berayah akibat perantauan yang lupa pulang tanpa berita.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Percakapan selesai, Zery mematikan kamera. Akhirnya kami pun bisa beristirahat, melepas segenap lelah dan mengisi kembali tenaga untuk melanjutkan syuting keesokan harinya.
*Didedikasikan untuk Rusdin*