Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Coba Terapkan Teknik Ini Agar Gen Z Tidak Mudah Terjebak Framing Media Sosial

16 November 2024   13:52 Diperbarui: 16 November 2024   19:05 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum kita mulai, coba bayangkan ini: lu lagi lihat feed Instagram seseorang. Foto liburan mewah, outfit keren, dan caption bijak yang seolah-olah hidup mereka sempurna banget. Eh, tiba-tiba lu ngerasa, "Aduh, kok hidup gue nggak kayak gitu, ya?" Jangan khawatir cuy, lu cuma lagi terjebak dalam peta, bukan wilayahnya. Bingung? Tenang, duduk dulu, sedian kopi atau teh, dan mari kita bahas konsep "The Map Is Not the Territory" dengan gaya yang santai tapi nyentil.

The Map Is Not the Territory: Apa Maksudnya?

Nah, konsep ini muncul dari seorang ahli semantik, Alfred Korzybski. Intinya, dia bilang, apa yang kita lihat, dengar, atau rasakan itu bukanlah kenyataan sepenuhnya, melainkan interpretasi kita terhadapnya. Kalau di dunia Neuro-Linguistic Programming (NLP), ini kayak kita punya "peta mental" yang membantu memahami dunia. Masalahnya, peta ini sering bias, kadang dipoles, kadang hilang detail pentingnya.

Gampangnya gini: hidup di era digital, media sosial jadi "peta" yang sering kita pakai buat memahami hidup orang lain. Padahal, peta ini penuh distorsi. Kayak makan nasi goreng tapi bumbu micinnya kebanyakan, bikin kita merasa hidup orang lain lebih gurih dari hidup sendiri. Padahal, kenyataannya belum tentu begitu.

Kita bahas satu-satu nih. Media sosial punya tiga trik maut yang bikin kita gampang terjebak dalam peta mereka: distorsi, generalisasi, dan penghapusan. Ini dia penjelasannya:

  1. Distorsi
    Pernah nggak lihat seseorang ngepost foto bareng mobil mewah? Langsung mikir, "Wah, hidup mereka sukses banget!" Padahal, mobil itu mungkin hasil rental buat konten. Yang kayak gini bikin lu memuja bayangan palsu -- persis kayak ngidolain karakter drama Korea, padahal aslinya mereka nggak seglowing dan seindah itu hidupnya.
  2. Generalisasi
    Lu lihat teman-teman di Instagram atau status WhatsApp pamer kerjaan baru, pamer kendaraan baru atau pamer gadget terkini. Tanpa sadar, lu ngerasa semua orang udah di puncak karier, sementara lu masih sibuk ngulik ShopeePay hemat diskon. Realitanya? Mereka cuma share highlight hidup, bukan cerita lengkapnya.
  3. Penghapusan
    Ini sering kejadian. Orang pamer hasil, tapi nggak cerita prosesnya. Influencer fitness misalnya, pamer badan six-pack tapi nggak bilang kalau itu hasil gym bertahun-tahun dan diet ketat. Lu cuma lihat hasil akhir, nggak tahu perjuangannya.

Contoh Sederhana

Bayangkan dua orang dalam memahami konten TikTok yang sama:

  • Si A menganggap standar TikTok tentang memilih pasangan sangat cocok untuknya.
  • Si B merasa standar tiktok tentang memilih pasangan tidak relevan dengan kehidupan nyata.

Kedua individu tersebut membangun peta yang berbeda berdasarkan pengalaman subjektif, meskipun mereka berada di "wilayah" yang sama.

Konsep ini mengingatkan kita bahwa perspektif kita adalah alat bantu untuk memahami dunia, bukan kebenaran absolut. Memperluas peta mental kita melalui eksplorasi pengalaman, pembelajaran baru, atau bahkan konsep The Map Is Not Territory, dapat memperkaya cara kita menavigasi hidup dan memahami perspektif orang lain.

Kita akui, Gen Z memang generasi yang paling rentan kena FOMO (Fear of Missing Out). Media sosial bikin kita ngerasa harus selalu eksis, update, dan relevan. Padahal, kenyataannya, nggak semua hal perlu kita ikuti.

Misalnya, lihat teman yang lagi liburan tiap bulan. Sambil ngerenung, lu mikir, "Gue harus ikut liburan juga, nih." Eits, tunggu dulu. Jangan-jangan, temanmu itu habis nabung mati-matian, atau malah ngutang pinjol!. Alih-alih merasa insecure, coba ubah sudut pandang pikiran kita seperti ini: "Gue nggak liburan sekarang karena nabung buat investasi masa depan dan ada tanggung jawab yang harus diperjuangkan." Lihat? Perspektif berubah, lu jadi lebih adem dan keren secara mindset.

Contoh nyata datang dari Forum JUARA di Universitas Diponegoro (UNDIP). Di acara ini, para ahli bicara soal betapa rentannya Gen Z terhadap ilusi digital. Menurut Dian R. Sawitri, Guru Besar Psikologi UNDIP, banyak dari kita yang kecanduan media sosial dan terjebak dalam fenomena "wang sinawang" -- hidup orang lain kelihatan lebih indah, padahal itu cuma ilusi.

Aurora Ardina Fawwaz, seorang konselor kesehatan mental, juga menyoroti masalah standar tidak realistis yang sering dibuat media sosial. Dari fisik ideal sampai pencapaian hidup, semua ini bikin tekanan mental Gen Z makin berat. Kalau nggak hati-hati, kita bisa kehilangan arah karena terlalu fokus sama peta yang salah.

Media sosial itu ibarat GPS zaman modern: praktis, tapi nggak selalu akurat. Ingat, "The map is not the territory." Peta cuma alat bantu, bukan kebenaran absolut. Kalau ada satu pesan yang perlu Gen Z ingat, itu adalah: jangan biarkan peta orang lain menentukan langkahmu. Bikin peta mentalmu sendiri yang realistis, sehat, dan sesuai dengan tujuan hidupmu.

Akhir kata, dunia nyata itu jauh lebih kompleks daripada feed Instagram atau konten TikTok. Jadi, berhentilah mengejar ilusi, dan fokuslah memperbaiki "peta mental" yang benar-benar membawamu ke tujuan hidup sejati. Keep it real!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun