Misalnya, lihat teman yang lagi liburan tiap bulan. Sambil ngerenung, lu mikir, "Gue harus ikut liburan juga, nih." Eits, tunggu dulu. Jangan-jangan, temanmu itu habis nabung mati-matian, atau malah ngutang pinjol!. Alih-alih merasa insecure, coba ubah sudut pandang pikiran kita seperti ini: "Gue nggak liburan sekarang karena nabung buat investasi masa depan dan ada tanggung jawab yang harus diperjuangkan." Lihat? Perspektif berubah, lu jadi lebih adem dan keren secara mindset.
Contoh nyata datang dari Forum JUARA di Universitas Diponegoro (UNDIP). Di acara ini, para ahli bicara soal betapa rentannya Gen Z terhadap ilusi digital. Menurut Dian R. Sawitri, Guru Besar Psikologi UNDIP, banyak dari kita yang kecanduan media sosial dan terjebak dalam fenomena "wang sinawang" -- hidup orang lain kelihatan lebih indah, padahal itu cuma ilusi.
Aurora Ardina Fawwaz, seorang konselor kesehatan mental, juga menyoroti masalah standar tidak realistis yang sering dibuat media sosial. Dari fisik ideal sampai pencapaian hidup, semua ini bikin tekanan mental Gen Z makin berat. Kalau nggak hati-hati, kita bisa kehilangan arah karena terlalu fokus sama peta yang salah.
Media sosial itu ibarat GPS zaman modern: praktis, tapi nggak selalu akurat. Ingat, "The map is not the territory." Peta cuma alat bantu, bukan kebenaran absolut. Kalau ada satu pesan yang perlu Gen Z ingat, itu adalah: jangan biarkan peta orang lain menentukan langkahmu. Bikin peta mentalmu sendiri yang realistis, sehat, dan sesuai dengan tujuan hidupmu.
Akhir kata, dunia nyata itu jauh lebih kompleks daripada feed Instagram atau konten TikTok. Jadi, berhentilah mengejar ilusi, dan fokuslah memperbaiki "peta mental" yang benar-benar membawamu ke tujuan hidup sejati. Keep it real!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H