Aku menengadah ke langit senja. Hari hampir berakhir, dan ini tandanya aku harus bersiap untuk mencari nafkah. Senja memang terasa berbeda bagiku dibanding orang kebanyakan. Saat mereka bergegas pulang setelah lelah bekerja, aku malah memulai hari.
Ya, jam kerjaku memang tidak biasa. Aku menjajakan makanan dari senja hingga tengah malam. Bukan karena keinginan, sebenarnya aku ingin seperti orang lain, bekerja di pagi hari dan pulang saat matahari terbenam. Tapi apa daya, aku hanya seorang yang berjuang demi sesuap nasi. Aku adalah pedagang pecel lele yang setia menggelar lapak mulai senja hingga malam.
Kadang, aku merasa dunia ini tak adil, menempatkanku di situasi seperti ini. Tetapi aku hanya bisa berusaha menerima. Melihat pekerja kantoran pulang dengan rapi dan gagah, kadang membuatku iri. Namun, ada saat-saat yang membuatku bersyukur, ketika menyadari bahwa setiap pekerjaan memiliki porsinya masing-masing.
Suatu sore, dua pegawai kantoran tampak dari seragam mereka datang ke lapakku, memesan makanan, lalu mulai berbicara tentang pekerjaan mereka di kantor. Tanpa berniat menguping, aku mendengar percakapan mereka yang jelas terdengar. "Bro, gua pengen resign!" kata salah satu dari mereka. Temannya menyahut, "Iya, gua juga niat resign."
Sambil melayani pembeli lain, aku mendengar cerita mereka tentang tekanan kerja yang semakin berat, gaji yang tak naik, promosi yang sulit diraih segala keluhan yang melintas malam itu. "Bertahun-tahun kerja, gaji segitu-gitu aja, jabatan gak naik-naik," ujar salah satu dari mereka, menyilangkan tangan dengan nada kesal.
Salah satu dari mereka kemudian bertanya padaku, "Bang, udah lama usaha pecel lele?" Dengan sedikit gugup aku menjawab, "Baru lima tahun, Pak." Mereka tersenyum dan bilang, "Wah, masih baru ya, Bang." Aku menimpali, "Iya, saya ikut jejak ayah."
Mereka bertanya lagi, kali ini dengan nada penasaran, "Berapa penghasilan abang?" "Gak tentu, Pak. Kadang 300 ribu, kadang 500 ribu. Kalau ramai bisa sampai satu juta." Salah satu dari mereka terperangah, "Sebulan, Bang?" Aku tersenyum, "Sehari, Pak." Reaksi mereka kaget, seolah tidak percaya.
Salah satu dari mereka lalu berkata dengan nada terkejut, "Bang, gaji kami sehari nggak sampai segitu. Pendapatan abang dua kali bahkan lima kali lipat dari kami." Aku sedikit tertegun, bingung harus merespons bagaimana.
"Apa kita coba usaha pecel lele aja ya, kayak abangnya?" ucap salah satu dari mereka. Pernyataan itu membuatku terkejut. Selama ini, aku pikir mereka menikmati dan merasa bahagia sebagai pegawai di perusahaan besar.
Senja kali ini benar-benar memberiku pelajaran berharga dan menyadarkanku untuk selalu bersyukur. Ternyata, apa yang terlihat menyenangkan belum tentu benar-benar membawa kebahagiaan. Pekerjaan yang selama ini aku anggap biasa saja ternyata diinginkan banyak orang terbebas dari tekanan atasan dan, tak disangka, penghasilannya bisa di atas pekerja kantoran.
Aku menjadi lebih bangga dengan profesiku sebagai pedagang pecel lele, dengan gerobak kecilku yang setia menemani. Namun, bagiku, setiap pekerjaan pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Di sisi lain, mereka bekerja di ruangan ber-AC, duduk di meja, dan menghadap layar komputer. Sementara itu, aku saat senja harus mendorong gerobak yang beratnya hampir seperti mobil kecil dengan dua baris kursi.
Sebenarnya, apa pun pekerjaan dan sumber rezeki kita, semuanya patut kita syukuri dengan sepenuh hati. Karena, pada akhirnya, kita semua sedang memperjuangkan hidup untuk menjadi lebih baik.
Sekarang aku menyadari, meskipun senja kita berbeda, tujuan hidup kita sama yaitu berjuang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Yang terpenting adalah kita harus selalu bersyukur, apa pun profesi kita, karena Tuhan memberikan rezeki bagi siapa saja yang mau berusaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H