Pernahkah kita bertemu dengan seseorang yang tampak selalu bahagia dan sukses, seolah-olah hidupnya merupakan iklan berjalan dari kebahagiaan? Pasti ada satu atau dua orang di sekitar kita yang begitu. Namun, tahukah kita bahwa di balik senyum manis dan pencapaian gemilang mereka, bisa jadi mereka adalah korban dari fenomena yang disebut Duck Syndrome?
Duck Syndrome, atau Sindrom Bebek, bukanlah judul film animasi terbaru. Istilah ini diambil dari universitas elite, Stanford University, yang menggambarkan situasi di mana seorang mahasiswa terlihat tenang di luar namun sedang berjuang keras di dalam. Bebek tampak mengapung santai di atas air, tetapi kaki-kakinya sibuk mengayuh tak kenal henti di bawah permukaan untuk mempertahankan posisi. Sama halnya dengan kita yang terlihat baik-baik saja di Instagram, meskipun sebenarnya sedang terjebak dalam lautan tugas, tekanan, dan ekspektasi yang melampaui batas.
Duck Syndrome tidak datang dari angin lalu. Berbagai faktor saling bekerjasama untuk membuat hidup kita menjadi lebih dramatis daripada sinetron. Tuntutan akademik yang tiada habisnya, ekspektasi tinggi dari orang tua yang bercita-cita menjadikan anak-anak berprestasi, dan media sosial yang penuh dengan postingan liburan tanpa beban dan makanan sehat semuanya adalah konspirator dalam membentuk Duck Syndrome.
Tambahkan sedikit pola asuh helikopter di mana orang tua mengawasi setiap langkah kita seperti sutradara film yang takut kehilangan momen emas dan piala penghargaan! Terbentuklah Duck Syndrome. Dan jangan lupakan sentuhan perfeksionisme, di mana kita menuntut diri sendiri untuk selalu lebih baik, lebih cepat, lebih pintar, lebih segalanya.
Gejalanya? Tidak jauh beda dengan karakter utama dalam drama Korea. Cemas, gugup, depresi, insomnia, bahkan sampai susah konsentrasi. Kita merasa seolah-olah sedang dalam audisi untuk peran utama dalam film tragedi hidup, di mana kita harus selalu tampil sempurna di depan penonton meskipun di balik layar sedang berantakan.
Kita juga menjadi aktor yang ahli dalam berpura-pura menutupi kerapuhan dan kegelisahan kita dengan senyum dan tawa. Bagi orang lain, kita tampak bahagia. Tetapi di dalam, kita hanyalah bebek yang kakinya tak pernah berhenti mengayuh.
Mari kita bicarakan media sosial, sang biang keladi pencipta ilusi kebahagiaan. Setiap hari, kita dijejali foto-foto teman yang sedang berlibur di Paris, membeli mobil baru, atau mengunggah foto makanan sehat yang terlihat begitu menggoda. Seolah-olah hidup kita tidak cukup membosankan dibandingkan mereka. Membandingkan hidup kita dengan linimasa orang lain bisa membuat kita merasa seperti karakter figuran di panggung sandiwara yang penuh sorotan.
Bukan hanya itu, ekspektasi dari orang tua, guru, dan teman-teman kita bisa menjadi sumber tekanan yang konstan. Harapan mereka agar kita mencapai nilai sempurna, lulus lebih cepat, atau mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi hanya menambah tumpukan tekanan yang harus kita hadapi.
Jadi, bagaimana kita bisa mengatasi Duck Syndrome ini? Pertama, sadari bahwa setiap orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. Tidak ada manusia yang sempurna, bahkan jika mereka memiliki filter Instagram sempurna yang bisa membuat paras mereka layaknya ratu dan raja. Berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain dan fokuslah pada perjalanan kita sendiri.
Kemudian, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional jika beban ini terasa terlalu berat. Psikolog dan konselor ada bukan untuk menyuruh kita move on, tetapi untuk membantu kita menemukan kembali jalan yang benar.
Kita juga perlu menjaga kesehatan mental dengan menerapkan gaya hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan bergizi, berolahraga, dan tidur yang cukup. Melakukan me time atau sekadar mematikan media sosial untuk sementara waktu bisa membantu kita mengurangi stres.
Terakhir, belajarlah untuk mencintai diri sendiri. Hargai usaha dan kerja keras yang telah kita lakukan, bahkan jika hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Ingat, bebek yang tenang itu tidak berarti bebek yang bahagia. Kita tidak perlu menjadi pahlawan dalam cerita orang lain, cukup jadi pahlawan dalam cerita kita sendiri.
Pada akhirnya, Duck Syndrome adalah fenomena yang menyoroti betapa kerasnya kita berusaha untuk terlihat baik-baik saja, meskipun kenyataannya tidak demikian. Dengan kesadaran, dukungan, dan perawatan yang tepat, kita bisa belajar untuk mengapung lebih tenang dan menikmati perjalanan hidup ini tanpa harus mengayuh kaki dengan panik di bawah permukaan. Siapa bilang kita tidak bisa menjadi bebek yang bahagia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H