Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Buku saya : Utang Itu Candu,menjalani hidup yang waras tanpa riba | Blog pribadi : https://www.banguntidur99.com/

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Mati Penasaran, Teror Pocong Pinjol Part II

11 Juli 2024   22:41 Diperbarui: 11 Juli 2024   23:00 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kedua Tahlilan

Pada hari kedua tahlilan, suasana masih mencekam. Tak ada yang berani mengaji di pemakaman setelah penampakan pocong kemarin. Adam, Roby, dan Fikri tiba sekitar pukul delapan malam. "Gimana, Bud, sudah dilunasin belum pinjamannya?" tanya Fikri. "Belum, Fik. Bapak gue belum ada uang, katanya nunggu gajian minggu depan," jawab Budi.

Adam menyela, "Eh, di kampung sebelah lagi heboh soal pocong pinjol."
"Serius lu, Dam?" saut Roby.
"Iya, katanya orang yang meninggal jadi pocong karena hutang pinjolnya sampai ratusan juta. Ditambah dia suka main judi online, jadi hutangnya makin membengkak," lanjut Adam.
"Wah, ngeri juga ya zaman sekarang. Kejerat pinjol terus jadi setan, nyusahin orang yang masih hidup aja," ucap Fikri.

Pukul sebelas malam, warga mulai meninggalkan rumah Budi. Namun, Roby, Adam, dan Fikri tetap di sana, ditemani empat santri yang kemarin mengaji. Mereka mengobrol tentang pocong pinjol di kampung sebelah.

Saat sedang asyik mengobrol di teras rumah, terdengar suara benda jatuh dari arah kebun pisang milik Budi, tepat di depan rumahnya. "Suara apaan tuh?" ucap Roby kaget.
"Pohon pisang roboh kayanya," jawab Budi. Roby penasaran dan ingin mengecek sumber suara tersebut.

Roby mengajak Adam dan Fikri, tapi mereka menolak. "Cek aja sendiri, gue takut," ucap Fikri.
"Iya, cek sendiri aja. Kan kemarin lu belum liat pocongnya," saut Adam sambil tertawa. Roby, penasaran dan takut dibilang pengecut, lalu menghampiri suara benda jatuh itu.

"Pocong-pocong dasar penakut," ucap Roby sambil menggerutu. Dengan bekal golok dan senter dari HP-nya, Roby mulai menyoroti kebun pisang. Semakin dalam dia masuk, semakin gelap dan sunyi. Setelah sampai di sumber suara, ternyata benar, pohon pisang roboh. "Ah, bener kata Budi, pisang roboh," ucap Roby dalam hati.

"Rob, Roby," suara Adam memanggil, tapi Roby tak kunjung keluar dari kebun pisang. Terdengar bunyi gesekan daun pisang dan rumput, lalu Roby muncul dengan membawa buah pisang yang setengah menguning. "Gak ada yang harus ditakuti. Nih, bener kata Budi, pohon pisang roboh," ucap Roby dengan nada sombong.

Saat hendak melangkah menuju rumah Budi, mata Roby tertuju pada ujung jalan sebelah kanan. Di sana, seperti ada orang berdiri memperhatikannya. Bayangan itu perlahan mendekat, tapi anehnya, jarak semakin dekat tapi tak ada gerakan melangkah. Tiba-tiba, Roby menyadari bahwa itu bukan orang, melainkan pocong yang sedang menghampirinya. Semakin jelas dan menyeramkan wujudnya.

"Wey Rob, ngapain diem disitu?" ucap Budi. Roby dengan kaku menunjuk ke arah pocong yang semakin mendekat. Mereka bertiga keluar pagar dan melihat pocong yang menyeramkan mendekat. Sontak mereka berempat menjadi kaku. Bau busuk menyengat dan terdengar suara, "Lunasin hutang sayaaaaa." Tiba-tiba, bapak Budi memanggil dari dalam rumah, "Bud, kopi taruh di mana?" Pocong yang hampir terlihat jelas tiba-tiba menghilang. Setelah itu, mereka langsung berlari ke dalam rumah.

Budi dan teman-temannya berebut masuk ke dalam rumah, meninggalkan buah pisang di tengah jalan. Melihat tingkah laku mereka yang aneh, bapak Budi mengambil buah pisang tersebut. "Bau apaan nih, kaya bau bangke," ucap bapak Budi. Beruntung, bapak Budi tidak sampai ditampaki pocong pinjol. Keempat remaja tadi berkumpul di kamar Budi karena ketakutan dan tidak berani keluar sampai pagi.

Keesokan harinya, Budi bercerita kepada bapaknya bahwa ia dan teman-temannya semalam melihat pocong di ujung jalan, dan pocong tersebut mengucapkan "lunasin utang saya". "Apa jangan-jangan pocong itu ibu ya, Pak?" ucap Budi.
"Ngawur kamu. Ibumu rajin ibadah. Lagian utang pinjol ibu gak sampai satu juta, masa iya jadi setan," saut bapak Budi.
"Ya udah Pak, cepet lunasin utang ibu di Shopee Paylaternya," ucap Budi memohon.
"Ya udah, nanti siang bapak lunasi. Kebetulan ada amplop belasungkawa dari kantor. Semoga cukup."

Sekitar pukul 13:00, Budi berada di toko kue untuk membeli cemilan untuk tahlilan nanti malam. Tiba-tiba, HP-nya berbunyi tanda notifikasi pesan masuk melalui WA. Budi langsung memeriksa HP-nya dan melihat pesan dari bapaknya, "Bud, bapak sudah lunasi semua utang pinjol ibumu ya," isi pesan disertai dengan bukti pembayaran. "Alhamdulillah. Semoga ibu tenang di alam sana," ucap Budi setelah membaca pesan tersebut.

Hari Ketiga Tahlilan

Senja telah menampakkan syahdunya dan memunculkan cahaya suram. Adzan berkumandang, menggema di setiap sudut kampung. Fikri, yang baru kembali dari bermain bola dengan teman-temannya di lapangan dekat kelurahan, sedang bersiap-siap untuk segera melakukan ritual mandi sore. Rumahnya masih seperti rumah tradisional yang memiliki kamar mandi terpisah dan terletak di belakang rumah. Jarak antara kamar mandi dan rumahnya sekitar 5 meter, dengan kanan kirinya masih banyak pepohonan rindang. Tidak ada hal ganjil saat itu. Setelah membuka baju dan hanya mengenakan kolor serta handuk terlilit di leher, dia menuju kamar mandi di belakang rumahnya.

Kumandang adzan magrib masih terdengar saat ia memasuki kamar mandi. Byur, byur, bunyi air membasahi seluruh tubuh Fikri. Ia tidak lupa membasuh tubuhnya dengan sabun. Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Fikri langsung melakukan wudhu. Saat dia sedang membasuh muka, Fikri mencium aroma busuk yang menyengat, entah dari mana asalnya. Dia langsung bergegas menyelesaikan wudhunya. Setelah membasuh kaki terakhir, Fikri mendengar suara ketukan di pintu kamar mandinya.

"Siapa?" tanya Fikri sambil mengeringkan tubuhnya yang masih basah dengan handuk. Tidak ada jawaban. Lalu Fikri bergegas membuka pintu kamar mandinya dan benar saja, tidak ada orang di luar pintu kamar mandi. Fikri mulai merasa merinding karena bau busuk yang terasa sejak tadi belum hilang. Ia langsung teringat kejadian di pemakaman tentang pocong pinjol. Setelah menengok ke sana-sini, Fikri segera memasuki rumahnya.

Segera ia menuju pintu belakang rumahnya. Terasa sangat jauh jarak antara pintu kamar mandi dan rumahnya karena diselimuti ketakutan. Sesampainya di depan pintu, ia langsung buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Lega dirasakannya setelah masuk ke dalam rumah.

"Alhamdulillah," ucapnya setelah memasuki rumah.

Bergegas menuju kamarnya, saat membuka pintu kamarnya, bau busuk kembali tercium. "Waduh, kok baunya sampai ke dalam sih?" ucap Fikri, namun tidak ambil pusing. Ia buru-buru memakai sarung dan kaos singlet yang sudah ia siapkan di atas kasur. Saat hendak mengambil baju koko yang digantung di lemari, bau busuk yang sangat menyengat kembali tercium. Ia melihat ke bawah, tidak ada bangkai tikus di lantai lemari. Lalu saat mengambil baju koko yang berwarna putih, ternyata pocong pinjol sudah berada di balik baju kokonya, tersamar oleh baju-baju yang tergantung di lemari yang berwarna putih. Sontak dia berteriak dan minta tolong.

"Pocooonng. Tolooonggg," teriaknya sekeras-kerasnya sambil membanting pintu lemari. Ketakutan luar biasa dirasakannya. Saat hendak keluar kamar, pintu kamarnya terasa sangat sulit dibuka. Panik dan takut menyelimutinya. Di waktu yang sama, terdengar suara, "Lunasi hutang sayaaaa."

"Emaaaakkkkk. Toooloooongg," teriakannya makin kencang. Ketakutan Fikri makin menjadi-jadi. Gagang pintu yang dipegang terasa sangat berat dan susah untuk dibuka. Dengan susah payah, akhirnya pintu kamarnya terbuka dan ia segera berlari kencang menuju luar rumah. Sial memang, orang tuanya belum pulang dari healing ke Pulau Kura-Kura selama tiga hari. Kondisi yang sangat tidak menguntungkan membuat Fikri harus berpikir cepat saat ia sedang berlari. Dia langsung menuju masjid karena sudah pasti ramai banyak orang saat magrib.

Hanya mengenakan sarung dan kaos singlet, dia ikut di barisan belakang untuk salat berjamaah. Dengan tergesa-gesa karena sudah tertinggal satu rakaat, salat yang diselimuti ketakutan dengan napasnya yang masih ngos-ngosan lumayan membuat gaduh barisan tempat ia salat. Selesai imam ucap salam, banyak mata jamaah tertuju padanya dengan tatapan aneh dan heran. Roby, yang melihatnya, menunggu Fikri menyelesaikan salatnya dan ingin bertanya tentang keanehannya yang hanya memakai sarung dan kaos singlet saat salat di masjid.

Roby yang menunggu Fikri di teras masjid lalu dihampiri Fikri. "Wah kacau, Rob, kacau," ucap Fikri dengan nada tegang.

"Kacau kenapa sih, Fik? Tenangin dulu deh," saut Roby. Lalu Fikri menceritakan semua kejadian yang menimpanya kepada Roby.

"Waduh, serem juga, Fik, sampai nongol di lemari pocongnya," ucap Roby sambil ketakutan.

"Rob, minjem baju lu dulu dah. Gue takut balik ke rumah nih," kata Fikri.

"Ya udah, Fik. Yuk ke rumah gue dulu aja sambil gue ambil bajunya."

"Ayo, Rob," ajak Fikri.

Mereka berdua menuju rumah Roby dan sesampainya di sana, Roby langsung mengambilkan baju untuk Fikri.

"Fik, lu udah makan?" tanya Roby.

"Belum, Rob," saut Fikri.

"Kita masak mie aja yuk. Kebetulan emak gue lagi gak masak nih," ucap Roby.

"Ok, siap, Rob."

Seusai memasak dan makan mie, mereka berdua memutuskan untuk tidak ikut tahlilan di hari ketiga karena masih merasa ketakutan.

"Rob, makasih ya bajunya. Gue pake dulu," ucap Fikri di sela-sela obrolan.

"Selow, Fik," jawab Roby.

Waktu menunjukkan pukul 20:00 WIB. Lalu HP Roby berdering, tertulis "Adam memanggil" pada layar HP Roby. Ia langsung mengangkatnya. "Halo, Dam."

"Di mana lu, Rob? Kok gak ada di rumah Budi? Gue telepon si Fikri gak diangkat-angkat. Ke mana ya itu anak?" tanya Adam dalam sambungan teleponnya.

"Fikri ada nih sama gue. HP dia ada di rumahnya. Dia tinggal HP-nya. Habis ngeliat pocong pinjol di rumahnya, Dam!"

"Waduh, seriusan lu, Rob? Gue kesana deh nanti habis ngaji dulu ya. Gak enak sama Budi udah di sini soalnya. Nanti gue juga jelasin sama Budi masalah si Fikri biar dia gak mikir aneh kalian gak datang ke tahlilannya."

"Ok, siap, Dam. Makasih ya. Salam sama Budi."

"Ok, Rob." Adam menutup teleponnya dan langsung bercerita kepada Budi tentang apa yang dialami Fikri di rumahnya.

"Padahal utang pinjol ibu udah dilunasi. Kok masih aja gangguin Fikri ya," ucap Budi.

"Gue gak yakin kalau pocong itu ibu lu, Bud. Gue sih yakinnya yang nakutin Fikri pocong pinjol kampung sebelah," ucap Adam.

"Iya sih, Dam. Gue juga gak yakin itu ibu gue."

"Udah, Bud. Gak usah dipikirin. Gue mau ngaji dulu ya. Soalnya gue mau nyusulin Fikri ke rumah Roby."

"Iya, Dam. Ngaji aja dulu," saut Budi.

Waktu menunjukkan jam 9 malam. Selesai mengaji, Adam langsung ingin menyusul Fikri yang ada di rumah Roby karena penasaran dengan cerita sebenarnya seperti apa.

"Bud, gue ke rumah Roby dulu ya?" ucap Adam.

"Ok, Dam. Salam sama Roby dan Fikri ya."

"Beres, Bud."

Adam segera menuju rumah Roby. Sial memang, arah menuju rumah Roby dari rumah Budi melewati pemakaman. Sontak ini menjadi hal yang tidak mudah bagi Adam.

Dalam hati, Adam bergumam, "Apes nih gue, lupa kalau mau ke rumah Roby pasti lewat makam."

Karena terlanjur izin sama Budi, ia pun tak bisa membatalkan begitu saja.

"Kalau gue gak jadi ke rumah Roby, gengsi gue sama Budi. Nanti dikira gue penakut lagi," ucap ia dalam hati.

Dengan rasa takut yang melanda, Adam menuju rumah Roby dengan berjalan kaki. Saat hendak sampai di daerah pemakaman, Adam berhenti sejenak untuk menunggu warga yang lewat agar ia tidak sendirian. Ia duduk di sebuah saung yang terbuat dari bambu dan papan, persis di pinggir jalan tempat biasa ibu-ibu bergosip setiap sore. Apes, 10 menit menunggu tak ada juga warga yang lewat. Ia pun memutuskan untuk menunggu 10 menit lagi. Habis sudah 10 menit, tidak ada warga yang melintas.

"Buset, ini kampung sepi amat, gak ada orang lewat sama sekali," ucapnya sambil menengok kanan-kiri, berharap ada warga yang melintas malam itu.

"Jam menunjukkan pukul 09:25 malam.

'Duh, kok makin sepi ya,' ucap Adam dengan nada sedikit ketakutan.

Suasana semakin malam, namun Adam belum beranjak dari saung yang ia duduki.

'Ah, apa gue balik ke rumah aja ya, kok gue jadi penakut gini sih,' gumam Adam.

Dalam kegelisahannya, Adam tiba-tiba mencium bau busuk yang berasal dari belakang saung.

'Waduh, bau busuk lagi,' ucapnya sambil memasang muka ketakutan.

'Gue gak boleh takut lagi, gue harus lawan rasa takut ini,' ia berupaya memberanikan diri dengan sugesti ala-ala Deddy Corbuzier.

Selagi ia mensugesti dirinya sendiri agar tidak takut, tiba-tiba muncul suara berisik dari atas genteng saung yang sedang ia duduki.

'Gubraakkk, gubraakkk, gubrraakkk,' suara berisik dari atas genteng saung terdengar.

Buyar semua sugesti yang Adam tanamkan, terbirit-birit ia lari menuju rumahnya sendiri dan membatalkan niat menuju rumah Roby, padahal Fikri dan Roby sedang menunggunya.

'Pocoooooonggggg,' teriak Adam sambil menenteng sandal jepitnya agar bisa berlari lebih cepat.

Usut punya usut, ternyata suara berisik di atas genteng adalah suara kucing berantem yang kebelet kawin, bukan pocong yang ia pikirkan.

Sementara itu, Fikri dan Roby ketiduran karena menunggu Adam yang tak kunjung datang ke rumah Roby.

Roby terbangun mendadak dan melihat jam dinding, 'Udah jam setengah sebelas, kemana si Adam nih?' gumamnya.

Fikri masih tertidur pulas di sofa ruang tamu Roby. Roby mencoba membangunkannya, 'Fik, bangun, udah malem nih. Adam gak datang-datang.'

Fikri membuka mata dengan malas, 'Hah? Udah malem ya? Adam belum datang?'

'Iya, gue gak tahu kenapa dia gak jadi datang. Mungkin dia takut lewat makam,' jawab Roby.

'Mungkin juga. Gue sih udah males balik rumah. Gue nginep sini aja deh,' kata Fikri sambil merentangkan tangan.

'Boleh aja, Fik. Tapi besok lu harus cerita sama orang tua lu ya, biar mereka tahu apa yang terjadi,' ujar Roby.

'Pasti, Rob. Gue juga gak mau mengalami kejadian kayak tadi lagi,' sahut Fikri.

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk tidur kembali. Namun, sebelum tidur, Fikri sempat berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan pocong pinjol itu. Apakah memang benar ada kaitannya dengan utang ibunya si Budi, atau hanya sekadar gangguan dari entitas yang tidak dikenal.

Di sisi lain, Adam yang sudah kembali ke rumahnya merasa lega bisa lolos dari suasana mencekam di sekitar pemakaman. Dia bertekad untuk tidak melewati rute itu sendirian lagi di malam hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun