Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini kembali mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang fundamental, sejajar dengan hak untuk hidup, pendidikan, dan keamanan. Sayangnya, hingga saat ini, kesehatan mental seringkali diperlakukan seolah-olah itu adalah kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang.
Di Indonesia, kesehatan mental masih terpinggirkan dalam wacana kesehatan publik. Meskipun peranannya sangat penting dalam kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, akses terhadap layanan kesehatan mental tetap sangat terbatas. Data menunjukkan bahwa jumlah tenaga profesional di bidang kesehatan mental, seperti psikiater dan psikolog, jauh dari memadai. Tidak hanya itu, banyak orang yang menghadapi masalah kesehatan mental enggan mencari bantuan karena takut dihakimi oleh lingkungan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi musuh utama yang harus diperangi.
Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan Mental
Salah satu tantangan terbesar dalam memastikan kesehatan mental sebagai hak asasi adalah ketidaksetaraan akses terhadap layanan. Di banyak wilayah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, akses ke layanan kesehatan mental sangat minim. Menurut WHO, Indonesia hanya memiliki sekitar 1 psikiater untuk setiap 100.000 penduduk, sementara negara-negara maju memiliki rasio yang jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa banyak orang yang membutuhkan bantuan kesehatan mental tidak mendapatkan perawatan yang mereka perlukan.
Bagi seseorang yang menghadapi depresi berat atau kecemasan, upaya untuk mencari pertolongan saja sudah menjadi tantangan besar. Namun, ketika mereka akhirnya siap mencari bantuan, mereka sering kali dihadapkan pada antrian panjang, biaya terapi yang mahal, atau bahkan tidak tahu harus ke mana mencari bantuan. Ini adalah ketidakadilan yang nyata, di mana hanya mereka yang memiliki akses ke sumber daya lebih baik yang bisa mendapatkan perawatan, sementara orang-orang yang paling membutuhkan justru terpinggirkan.
Ketimpangan ini juga terlihat dalam distribusi geografis layanan kesehatan mental. Orang-orang yang tinggal di kota besar mungkin memiliki akses yang lebih baik ke layanan seperti terapi atau konseling, sementara mereka yang tinggal di daerah terpencil seringkali harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan perawatan. Hal ini memperburuk ketidaksetaraan dalam layanan kesehatan mental dan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara mereka yang mampu mengakses layanan dan mereka yang tidak.
Stigma: Penghalang Terbesar untuk Mencari Bantuan
Selain keterbatasan akses, stigma adalah salah satu penghalang terbesar bagi individu yang ingin mencari bantuan kesehatan mental. Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, masalah kesehatan mental sering dianggap sebagai kelemahan pribadi, kurangnya keimanan, atau bahkan sebagai akibat dari gangguan mistis. Persepsi ini tidak hanya memperparah penderitaan mereka yang mengalami gangguan mental, tetapi juga menghalangi mereka untuk mencari bantuan.
Stigma ini bukan hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga di tingkat institusional. Di tempat kerja, misalnya, karyawan yang mengungkapkan bahwa mereka menghadapi masalah kesehatan mental sering kali dianggap tidak mampu menjalankan tugas dengan baik. Hal ini menyebabkan banyak orang memilih untuk menyembunyikan kondisi mereka, yang pada akhirnya dapat memperburuk keadaan. Tidak hanya itu, keluarga dan lingkungan sekitar pun sering kali menganggap kesehatan mental sebagai isu yang tabu, sehingga mereka yang membutuhkan bantuan merasa terisolasi dan tidak didukung.
Untuk mengatasi stigma ini, perlu ada edukasi yang lebih luas di masyarakat. Percakapan tentang kesehatan mental harus menjadi lebih umum dan diterima di berbagai lapisan masyarakat. Media, sekolah, dan komunitas dapat berperan besar dalam mengubah cara pandang terhadap kesehatan mental, sehingga orang tidak lagi merasa malu atau takut untuk mencari bantuan.
Hubungan Kesehatan Mental dengan Produktivitas dan Kesejahteraan
Kesehatan mental yang baik tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Orang yang memiliki kesehatan mental yang stabil cenderung lebih produktif, lebih kreatif, dan lebih mampu berkontribusi dalam lingkungan kerja dan komunitas mereka. Sebaliknya, gangguan mental yang tidak diobati dapat menyebabkan penurunan produktivitas, absensi kerja yang lebih tinggi, dan bahkan meningkatkan risiko masalah kesehatan fisik seperti penyakit jantung atau diabetes.
Dalam konteks ekonomi, depresi dan kecemasan diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi global sekitar $1 triliun setiap tahun akibat penurunan produktivitas. Di Indonesia, meskipun data spesifik masih terbatas, dampak kesehatan mental yang buruk pada produktivitas kerja dan kesejahteraan sosial jelas terlihat. Ini menunjukkan bahwa investasi dalam layanan kesehatan mental bukan hanya penting bagi individu, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengakui kesehatan mental sebagai hak asasi manusia adalah langkah awal yang penting, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Pemerintah harus lebih serius dalam menyediakan layanan kesehatan mental yang inklusif, terjangkau, dan merata di seluruh wilayah. Tenaga profesional kesehatan mental harus didistribusikan secara lebih adil, dan layanan seperti telemedicine bisa menjadi solusi untuk menjangkau daerah-daerah terpencil.
Selain itu, kebijakan asuransi kesehatan harus mencakup perawatan kesehatan mental secara setara dengan perawatan fisik. Kesehatan mental tidak boleh dipandang sebagai layanan tambahan, melainkan sebagai bagian integral dari perawatan kesehatan secara keseluruhan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas juga penting untuk menciptakan sistem dukungan kesehatan mental yang komprehensif.
Penutup
Hari Kesehatan Mental Sedunia ini mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah hak, bukan privilege. Setiap orang, tanpa kecuali, berhak mendapatkan akses yang setara terhadap perawatan kesehatan mental yang layak. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak dan perubahan paradigma dalam cara kita memandang kesehatan mental. Saatnya kita melangkah maju, menghapus stigma, dan menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas global yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H