Mohon tunggu...
fikri ramadhon
fikri ramadhon Mohon Tunggu... Penulis - aktivis bidang rebahan

mambaca untuk melawan, menulis untuk bertahan

Selanjutnya

Tutup

Money

Bubble Burst Melanda Startup, Winter is Coming?

3 Juni 2022   16:55 Diperbarui: 2 Juli 2022   11:50 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa perusahaan rintisan atau biasa disebut startup melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kepada karyawan-karyawannya. Nama-nama besar seperti Zenius, SiCepat, dan LinkAja kedapatan memangkas jumlah karyawannya dalam skala besar. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan kondisi Bubble Burst, dimana trend startup sudah mencapai puncaknya dan sedang menunggu waktu untuk kejatuhannya.

Tidak hanya di dalam negeri, industri startup di luar negeri pun tidak lepas dari isu Bubble Burst. Sebut saja Grab, perusahaan teknologi transportasi asal singapura yang sahamnya anjlok hingga 37% di Nasdaq disusul dengan mundurnya 5 petinggi dari perusahaan tersebut. Pun demikian dengan perusahaan layanan streaming asal Silicon Valley Netflix, yang pada tahun 2022 sahamnya turun hingga menyentuh angka 62,5%.

Apa Itu Bubble Burst?

Dalam dunia ekonomi Bubble atau gelembung adalah sebuah istilah untuk menggambarkan keadaan Ketika nilai pasar naik secara cepat, terutama pada harga aset, melebihi nilai fundamentalnya. Kemudian kenaikan yang cepat ini diikuti oleh penurunan yang juga cepat dan tiba-tiba, sehingga disebut sebagai Bubble Burst atau pecah gelembung.

Associate Professor of Finance di Universitas Miami, Timothy Russell Burch menjelaskan bahwa Kenaikan harga yang cepat, volume perdagangan yang tinggi, dan penyebaran yang masif dari mulut ke mulut atas sebuah aset adalah ciri khas dari Bubble.

Dalam sejarah Bubble Burst sudah terjadi beberapa kali dan melanda berbagai sektor. Bubble burst pertama terjadi pada abad ke-17 di Belanda, saat itu bunga tulip menjadi komoditas paling berharga dan sangat diminati sehingga menjadikan harganya mahal, peristiwa itu disebut Tulip Bubble. Lalu pada rentang 1994-2000 terjadi peningkatan besar-besaran pada penggunaan internet di Amerika, hal ini menyebabkan munculnya perusahaan-perusahaan berbasis internet secara masif. Banyak dari mereka yang akhirnya melantai di bursa saham, bahkan untuk perusahaan tidak jelas sekalipun, sehingga akhirnya peristiwa ini disebut Dot Com Bubble.

Terakhir, bubble burst yang memiliki efek paling besar sehingga membuat ekonomi Amerika hancur adalah properti Bubble. Diawali dengan diturunkannya suku Bunga oleh Federal Reserve hingga 1% membuat masyarakat Amerika banyak yang mengajukan kredit hutang. Hal ini dimanfaatkan oleh bank swasta Lehman Brothers untuk beriventasi di bidang properti, dengan mengembangkan program pengajuan KPR karena pada saat itu properti dianggap sebagai aset investasi paling ideal. Alhasil warga Amerika berbondong-bondong mengajukan KPR untuk membeli rumah, harga rumah saat itu pun menjadi naik. Puncaknya pada tahun 2008 ketika Federal Reserve Kembali menaikan suku bunga yang menyebabkan KPR pun ikut naik. Imbasnya banyak warga Amerika yang cicilannya macet, dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Sialnya hal ini terjadi serentak dan berjamaah. Harga rumah pun akhirnya terjun bebas. Pecah gelembung.

Startup Bubble

Pada tahun 2016 Gojek menjadi startup pertama yang menyandang gelar Unicorn, setelah itu disusul oleh Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka. Saat itu media sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang perkembangan startup. Setiap kali ada startup yang mendapatkan pendanaan maka sudah dipastikan akan menjadi headline berita di berbagai media. Hal itu membuat trend startup berkembang sangat pesat. Terbukti pada tahun 2021, menurut data Startup Ranking Indonesia berada di urutan kelima sebagai negara dengan jumlah startup terbanyak, yakni 2.305.

Namun seperti yang disebutkan oleh Timothy Russell Burch, bahwa sebuah trend yang tiba-tiba naik secara tidak alami dapat menyebabkan sebuah gelembung atau Bubble, dan sebuah gelembung bisa tiba-tiba meledak kapan saja. Benar saja, pada tahun 2020 CEO Bukalapak, Ahmad Zaky mundur dari jabatannya dan berpesan agar Bukalapak mulai berhenti untuk bakar uang dan fokus pada profit. Akhirnya Bukalapak yang pada tahun 2018 menduduki peringkat 2 sebagai e-commerce terbesar di Indonesia turun menjadi peringkat 4 pada tahun 2022 (menurut data Iprice). Lalu disusul startup-startup yang terus mencatatkan kerugian hingga hari ini.

Sisi Gelap Bakar Uang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun