Mohon tunggu...
fikri ramadhon
fikri ramadhon Mohon Tunggu... Penulis - aktivis bidang rebahan

mambaca untuk melawan, menulis untuk bertahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks Penanganan Pandemi di Indonesia: antara Kegagalan atau Ketidakmauan

16 Agustus 2021   18:53 Diperbarui: 16 Agustus 2021   18:59 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: nasional.tempo.co

Setahun lebih berlalu semenjak terjadinya kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia tepatnya pada 2 maret 2020, presiden Indonesia Joko Widodo langsung yang menkonfirmasi hal tersebut di istana kepresidenan kepada masyarakat Indonesia. 

Pernyataan tersebut menjadi kenyataan pahit yang harus diterima masyarakat Indonesia sekaligus menjadi pukulan telak bagi para pejabat khususnya Menteri yang berargumen jauh dari kaidah akademis mengenai pandemi Covid-19 di tanah air.

Masih teringat jelas kelakar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang menyatakan ‘Corona tidak akan datang ke Indonesia karena masyarakat Indonesia gemar memakan nasi kucing’, atau pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD dalam unggahan fotonya Bersama Menko Perekonomian Airlangga ‘karena perizinan di Indonesia sulit maka virus corona enggan masuk.’ 

Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan kontroversial yang tidak ilmiah bahkan terkesan meremehkan dari pejabat publik tentang pandemi Covid-19. Mereka tidak tahu pernyataaan dan candaan yang mereka lontarkan hari itu harus dibayar mahal di kemudian hari.

Kebijakan yang diambil pun tidak kalah nyeleneh. Pada awal pandemi muncul di wuhan diakhir tahun 2019, yang seharusnya Indonesia bersiap untuk meghadapi kemungkinan buruk masuknya virus pemerintah justru menganggarkan Rp298 miliar untuk membangkitan sektor wisata. 

Pada tanggal 25 Februari 2020 tepatnya di istana presiden Menko perekonomian Airlangga mengatakan bahwa alokasi dana sebesar Rp298 miliar akan digunakan untuk mempromosikan kegiatan parawisata, dengan kata lain pemerintah menganjurkan kepada rakyatnya untuk berwisata ditengah pandemi Covid-19 yang sedang mewabah.

Hal yang tidak kalah nyeleneh adalah dari anggaran tersebut sebesar Rp72 miliar digunakan untuk membayar influencer dengan dalih meredam wabah Covid-19. 

Bayangkan betapa tidak masuk akalnya Langkah pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19, disaat negara lain bersiap-siap membangun infrastruktur Kesehatan untuk mengahadapi pandemic Indonesia justru membayar para influencer untuk membangun propaganda wisata ditengah wabah corona. Bahkan salah satu stasiun televisi swasta ternama dengan gagahnya memasang headline Ayo Berwisata Jangan Takut Corona dalam sebuah program acara.

Setahun lebih berlalu. Ketika beberapa negara sudah mulai berhasil mengendalikan pandemi, memasuki era New Normal. Cina sebagai negara yang dicurigai menjadi asal pandemi Covid-19 sudah mulai membebaskan warganya untuk beraktivitas bebas dengan tetap melakukan protocol Kesehatan. 

Bahkan negara-negara di eropa sudah mampu menggelar kompetesi sepakbola euro 2020 dengan dihadiri penonton di stadion. Lain hal untuk negeri kita Indonesia yang masih berkutat dengan istilah-istilah akronim baru dari hari ke hari yang maksud sebenarnya adalah karantina wilayah, namun lebih halus.

Kasus harian yang terus bertambah, fasilitas Kesehatan yang tidak memadai, rumah sakit penuh, Tenaga Kesehatan yang tak kunjung mendapatkan insentif, dan hal-hal lainnya yang menunjukkan buruknya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terus menjadi headline setidaknya dalam beberapa minggu terakhir. 

Indikasi jelas bahwa Indonesia masih jauh dari kata berhasil untuk menahan laju pandemi. Lantas apakah sebenarnya Indonesia sudah gagal dalam melawan pandemi, atau apakah ini bukanlah sekedar kegagalan akan tetapi lebih dari itu, ini adalah ‘Ketidakmauan’. Mengapa?

Karena Indonesia tidak mau mengganggap serius masalah pandemi di awal-awal kemunculannya. Selain karena pernyataan-pernyataan pejabat publik yang nyeleneh, masyarakat Indonesia juga cenderung menganggap remeh pandemi Covid-19 pada awal kemunculannya. 

Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar menerangkan dalam tulisannya “Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia ditolak mentah-mentah, dan bukannya dijadikan landasan kebijakan Kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini. Sikap meremehkan dan cenderung anti sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah tergagap manakala virus ini benar-benar datang.”

Tidak ada upaya yang serius dari pemerintah untuk merespon wabah Covid-19. Bahkan alih-alih mengucurkan dana untuk membangun infrastruktur Kesehatan, pemerintah justru mengalokasikan dana yang tidak masuk akal untuk industri parawisata termasuk membayar influencer. Jelas ini adalah sebuah Langkah yang menyiratkan bahwa pemerintah hendak mengatakan ‘Jangan khawatir tentang pandemi, mari berwisata’ tentu ini adalah bentuk meremehkan kondisi pendemi atau bahkan lebih terkesan tidak peduli.

Karena Indonesia tidak mau menutup pintu masuk penularan virus. Pada awal pandemi Covid-19 terjadi tepatnya di daerah Wuhan, berberapa negara langsung sigap mengambil keputusan untuk memberlakukan kebijakan lockdown. Bahkan cina yang di duga menjadi asal virus, dilansir dari Bussines Insider melockdown 16 kota pada akhir januari. 

Pada puncaknya cina memberlakkan lockdown pada 20 provinsi dan wilayah menurut The Wall Street Journal. Negara lainnya seperti Selandia Baru, dilansir dari The Star Jacinda Ardern selaku perdana Menteri Selandia Baru melakukan penutupan perbatasan terluas dan terberat dari negara manapun di dunia.

Sedangkan Indonesia justru berencana mendatangkan 500 tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari cina, 156 diantaranya sudah tiba di bandara Haluoleo, provinsi Sulawesi Tenggara, selasa malam, 23 juni 2020. Sungguh kebijakan yang sangat kontradiksi dengan realita yang ada, bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang sudah mewabah di seluruh dunia. 

Dengan alasan apapun Tindakan pencegahan wabah adalah hal paling penting yang perlu diperhatikan pemerintah untuk menyelamatkan warganya. Seperti halnya yang dilakukan pemerintah negara lain. 

Pakar Epidemiolog Universitas Airlangga Windu Purnomo bahkan sudah meminta agar pemerintah menutup akses penerbangan luar negeri. Beliau berpesan agar pemerintah mengacu pada prosedur penanganan pandemi ketimbang berfokus pada pemulihan ekonomi.

Karena Indonesia tidak mau menerapkan undang-undang karantina wilayah. Dari awal pandemi Covid-19 muncul hingga saat ini pemerintah belum pernah menerapkan undang-undang (UU) no 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 1 ayat (10) berbunyi “karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontiminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontiminasi”. Alih-alih menerapkan undang-undang tersebut pemerintah lebih memilih untuk menerapkan peraturan-peraturan baru dengan menggunakan istilah akronim yang aneh dan berbeda-beda tiap waktunya. Dari PSBB kemudian berganti PPKM, dari Mikro lalu menjadi Makro.

Terlepas dari apapun definisi dan peraturan turunan dari kebijakan tersebut, sejatinya pemerintah sedang bernegoisasi dengan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk menghindar dari tanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya. Pada pasal 55 ayat (1) dari UU Kekarantiaan Kesehatan yang berbunyi “selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,”

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dilansir dari merdeka.com, kamis (1/7)  mengatakan “Pemerintah kan enggak pakai istilah UU Kekarantinaan untuk menghindar dari tanggung jawab. Tapi curangnya ketentuan pidananya dipakai, setidaknya untuk mengancam,” 

Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya jika menerapkan UU Kekarantinaan? Tentu ada. Per tanggal 18 juni 2021 Kementrian Keuangan mencatat realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Negara (PEN) untuk menangani dampak dari Covid-19 sebesar Rp 226,63 triliun dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp 699,43 triliun. 

Artinya, masih ada sisa anggaran 472,8 triliun lagi yang bisa digunakan. Jika kita berhitung untuk PPKM Jawa-Bali, jumlah penduduk di pulau Jawa menurut Sensus Penduduk 2020 hingga September 2020 sebanyak 151,6 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk pulau Bali sebanyak 15 juta jiwa. Jika dijumlahkan totalnya sebanyal 166,6 juta penduduk. Jika pemerintah mau, taruh saja angka 1 juta/orang untuk kebutuhan satu bulan. 

Maka total anggaran yang harus dikeluarkan hanya 166,6 triliyun dari sisa anggaran 472,8 triliun, bahkan Indonesia masih memiliki sisa anggaran 306,2 triliun. Indonesia sebenarnya bisa menerapkan UU Kekarantiaan tapi permasalahannya apakah pemerintahnya mau?

Jika dikatakan pemerintah gagal dalam penanganan pandemi Covid-19 itu artinya pemerintah sudah mencoba untuk melakukannya. Melakukan pencegahan di awal kemunculan pandemi, melakukan penutupan pintu masuk penuluran virus dari luar, melakukan UU Kekarantinaan untuk memutus rantai penularan pada masyarakat. Sayangnya pemerintah tidak mau melakukan hal yang semestinya menjadi tugas mereka. 

Di beberapa negara kegagalan adalah hal yang tidak bisa ditoleransi, akan tetapi Indonesia memiliki rakyat yang cukup ramah dan terbiasa menolerir kegagalan pemerintahnya dari waktu ke waktu. Namun apakah rakyat Indonesia juga harus memaklumi ketidakmauan pemerintahnya untuk beberapa hal dalam penanganan pandemi? 

Sungguh kuat mentalitas rakyat Indonesia, bersamaan dengan kenyataan pahit yang harus mereka hadapi akibat pandemi seperti kehilangan orang-orang yang mereka cintai, mereka juga harus menghadapi pemerintah dengan banyak ketidakmauan nya dalam mengurus negara. Pantas saja rakyat Indonesia kuat dalam menghadapi penjajahan belanda selama 350 tahun lamanya, jepang 3 tahun lamanya, hingga akhirnya merebut kemerdekaan pada 17 agustus 1945.

Belum terlambat bagi pemerintah untuk berubah dan membuat Indonesia bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Manfaatkan momentum hari kemerdekaan kali ini untuk memberi setidaknya kado manis untuk rakyat Indonesia. Jika dulu para pahlawan mampu memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah, maka hari ini sanggupkah pemerintah beserta rakyatnya memerdekakan negara tercinta dari pandemi Covid-19, atau setidaknya memerdekakan Indonesia dari istilah-istilah akronim dengan variasi level terbaru yang harusnya berakhir hari ini. Bisa gak? Bisa lah masa enggak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun