Lembar-demi lembar kutipan dan narasi dilontarkan pada tulisan. Nasib baik diperjuangkan namun apakah akan menimbulkan permasalahan. Industri kehutanan adalah wajah dari keseimbangan yang rentan. Antara kebutuhan ekonomi, tuntutan sosial, dan kelestarian lingkungan, sering kali muncul ketimpangan. Sejak awal peradaban, manusia telah menggantungkan kehidupan pada hutan—dari bahan pangan hingga sumber energi, dari pembangunan hingga inovasi. Namun, alih-alih menjadi pilar keberlanjutan, industri kehutanan kerap terjebak dalam lingkaran setan. Namun, ini bukan hanya tentang masa kini. Peran masa lalu membayangi, dari eksploitasi berlebihan hingga kerusakan permanen yang masih menyisakan luka. Di sisi lain, masa depan menuntut perbaikan yang konkret—tanggung jawab besar yang membebani langkah ke depan. Semua ini berputar, berulang, tanpa solusi yang berkesinambungan. Berikut rangkuman ultimat, sebagai sajian penutup untuk kesadaran, pengembangan, dan kemajuan, terkait lingkaran setan industri kehutanan. Apakah kutukan dalam industri kehutanan itu ada? aset yang melimpah yang seharusnya memberikan manfaat besar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika pun iya, rakyat yang mana yang dimakmurkan?. Berikut merupakan ulasan terakhir realita kehutanan yang berlingkar setan tak berujung seperti kutukan yang sangat tidak diharapkan.Â
PDB RENDAH
Kontribusi kehutanan terhadap PDB Nasional sangat rendah, hanya sebesar 0,6%. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nominal sektor kehutanan pada 2017-2021 bahkan kurang dari 1% atau Rp112 triliun pada 2021, naik dari tahun sebelumnya Rp108,6 triliun, tetapi turun secara persentase. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan yang sangat kecil ini menjadi pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare, sedangkan pemerintah menargetkan akan mencapai 120 juta hektare pada 2020. Luas hutan Indonesia ini belum dialihfungsikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pada masa Orde Baru, pendapatan negara dari sektor kehutanan mencapai US$ 16 miliar, hanya kalah dari minyak dan gas. Menteri Keuangan memperkirakan dominasi PNBP dari sektor kayu masih sangat tinggi, namun PNBP kehutanan sangat kecil karena minimnya pengawasan, penegakan hukum, dan banyaknya aset yang menganggur. Masalah lainnya: jika kita hanya mengandalkan kayu, nilai hutan memang kecil. Hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai yang kecil ini selalu menjadi alasan untuk mengubah hutan menjadi perkebunan, perumahan, atau lahan pertanian. Padahal, di dalam ekosistem hutan terdapat simpanan karbon, terdapat air, terdapat jasa lingkungan yang tak ternilai.Â
Untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan, diperlukan beberapa metode: Pertama , optimalisasi kawasan hutan produksi. Luas kawasan hutan produksi 68,8 juta hektare dengan luas kelola 18,75 hektare oleh 257 perusahaan, hutan tanaman industri 11,19 juta hektare oleh 292 perusahaan, dan upaya restorasi 0,62 juta hektare. Hutan produksi yang menganggur seluas 34,62 juta hektare tersebut dicadangkan untuk Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas 10,04 juta hektare, Pencabutan Izin Pengelolaan Hutan Primer (PIPPIB) seluas 9,88 juta hektare, KPH dengan perencanaan jangka panjang seluas 7,69 juta hektare, Perhutanan Sosial seluas 3,55 juta hektare, dan Hak Pengusahaan Hutan seluas 3,46 juta hektare.
Kedua, minimnya pengawasan. Jumlah polisi hutan (polhut) di seluruh Indonesia bagian tengah dan daerah sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan yang mencapai 120 juta hektare. Idealnya, setiap polisi hutan mengawasi 500-1.000 hektare sehingga dibutuhkan 125.000 polisi hutan.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Dalam kasus perampasan hutan, pemerintah kerap kalah di pengadilan. Luas kawasan hutan yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit kini mencapai 3,1 juta hektare, yang penanganannya masih belum jelas
Keempat, struktur PNBP sektor kehutanan sudah ketinggalan zaman karena ketentuan mengenai penyediaan sumber daya hutan (PSDH) menggunakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/2017. Begitu pula dengan tarif dana reboisasi yang perlu ditinjau kembali.
Kelima, penerapan pajak karbon. Pajak karbon sektor kehutanan perlu segera dipercepat karena sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar, yakni 48,5% dari emisi nasional pada tahun 2010.
Selain pendapatan negara, pajak karbon dapat menjadi instrumen untuk menanggulangi krisis iklim. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat di dunia dapat menjadi ladang baru bagi para pelaku bisnis di sektor kehutanan.
MASA LALU
Sumberdaya hutan mulai dimanfaatkan secara ekonomis untuk pembangunan nasional sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya lahir juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, yang bersanding dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968. Implementasinya, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta berbagai insentif ekonomi dalam pengusahaan hutan sehingga merangsang tumbuhnya usaha bidang kehutanan khususnya dalam bentuk HPH di Indonesia.Â
Dalam perjalanannya, sektor kehutanan pernah memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, khususnya di dalam pemulihan ekonomi nasional pada awal tahun 1970-an. Pada medio tahun 1980-an, Indonesia memulai babak baru sebagai produsen kayu lapis dunia yang layak diperhitungkan. Sejak tahun 1988, market share produk kayu lapis Indonesia telah menguasai hampir 50 % kayu lapis dunia dan menempatkan Indonesia sebagai pimpinan pasar yang sangat tangguh sampai dengan dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (BPB) Apkindo awal tahun 1988. Sampai dengan awal tahun 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah migas, dan urutan ketiga di bawah migas dan tekstil sejak medio 1990-an (Nurrochmat 2005).
Sektor kehutanan juga telah membuktikan sebagai suatu sektor yang memberikan peran signifikan terhadap pembangunan ekonomi, seperti sebagai penghasil devisa, pendorong ekonomi wilayah, pendukung sektor-sektor ekonomi lain yang terkait, dan juga sebagai penyedia lapangan kerja. Selama krisis ekonomi di Indonesia sektor kehutanan masih mampu memberikan kontribusi yang relatif signifikan terhadap perekonomian Indonesia, hasil devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1999/2000 antara lain adalah US$ 84,02 juta dari pulp dan US$ 93,99 juta dari paper, serta devisa dari ekspor kayu olahan selama lima tahun terakhir berjumlah sebesar US$ 28,12 juta untuk kayu gergajian, US$ 2.720,33 juta untuk kayu lapis (Pusat Rencana Kehutanan Departemen Kehutanan RI 2001).
Akan tetapi eksploitasi  manfaat hutan khususnya hasil hutan kayu  selama lebih dari tiga dekade dengan tidak memperhitungkan kelestariannya harus dibayar mahal dengan degradasi hebat kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan. Hal tersebut diikuti juga dengan semakin menurunnya sumbangan subsektor kehutanan terhadap PDB yang hanya 1 % selama 10 tahun terakhir. Rendahnya sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB seringkali dijadikan alasan bagi pemegang kebijakan untuk menempatkan sektor kehutanan sebagai sektor yang marjinal dalam perencanaan pembangunan nasional. Karena dalam paradigma yang dipakai selama ini, sumbangan subsektor kehutanan hanya dilihat dari aspek ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek lain, seperti lingkungan hidup.
MASA SEKARANGÂ
Sektor kehutanan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja, menciptakan peluang usaha, meningkatkan kinerja ekspor, serta memberikan kontribusi kepada negara melalui pajak dan penerimaan non-pajak. Investasi merupakan salah satu elemen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Banyak negara yang kemudian memberikan kemudahan berinvestasi guna menyokong pembangunan.meskipun demikian Terdapat beragam tantangan dalam industri kayu di Indonesia seperti aspek perizinan yang kompleks. Perizinan hingga saat ini masih menjadi kata yang masih menakutkan bagi investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Bukan hal yang baru bahwa pengurusan sebuah perizinan di Indonesia terutama terkait kemudahan berusaha masih belum efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Panjangnya birokrasi, ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya, dan kurangnya koordinasi yang baik antar stakeholder yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan dalam berinvestasi menjadi permasalahan klasik yang harus segera dibenahi. Di Indonesia, perizinan justru menjadi penghambat utama masuknya investasi. Birokrasi yang terlalu panjang, waktu yang tidak sedikit, biaya dan ditambah banyaknya pungutan tak resmi, membuat investor pikir-pikir untuk menanamkan modal di Indonesia. Masalah-masalah ini membuat iklim investasi menjadi tidak sehat dan terus berulang dari tahun ketahun.
Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dengan salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penyederhanaan regulasi dan perizinan di Indonesia, termasuk di bidang kehutanan. Sebanyak 521 perizinan dari 25 lembaga berhasil dipangkas dalam rangka penyederhanaan tersebut, termasuk perizinan di bidang kehutanan (Kemenkomarves. 2022). Sebelum adanya UUCK, setiap usaha di sektor kehutanan memerlukan satu perizinan secara individu, namun setelah UUCK diberlakukan, satu perizinan dapat digunakan untuk berbagai usaha kehutanan. Dengan adanya perubahan kebijakan dan penyederhanaan perizinan di sektor kehutanan melalui UUCK dan Peraturan Menteri LHK No. 8 Tahun 2021, diharapkan dapat meningkatkan investasi dan pengembangan bisnis di sektor tersebut. Langkah-langkah ini memberikan peluang bagi investor untuk terlibat dalam pemanfaatan hutan secara lebih efisien dan berkelanjutan.Â
Proses perizinan yang kompleks dan lambat dapat menghambat investasi dan pertumbuhan industri. Faktanya data menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat rendah dalam kemudahan berusaha menurut laporan Doing Business 2020 dari Bank Dunia, yaitu peringkat 73 dari 190 negara. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak hambatan dan birokrasi yang memperlambat proses perizinan di Indonesia. Kemudahan perizinan berusaha dapat membantu meningkatkan investasi dan pertumbuhan industri hilirisasi sumber daya hutan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempercepat proses perizinan dengan melakukan reformasi birokrasi dan menyederhanakan prosedur perizinan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan untuk menghindari praktek korupsi.
INVESTASI RENDAH
Industri kehutanan memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat kekayaan alam berupa hutan yang mencakup lebih dari 90 juta hektare atau sekitar 2/3 dari total luas lahan negara. Namun, investasi di sektor ini masih sangat rendah, baik dari sisi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Dari total realisasi PMDN sebesar 3.256 triliun pada periode 2020–2022, sektor kehutanan hanya mampu menarik 28 triliun. Sedangkan pada 2023, dari total PMA sebesar 50.267 triliun, investasi asing di sektor kehutanan hanya mencapai 96 triliun. Rendahnya angka ini sangat berbanding terbalik dengan potensi besar kawasan kehutanan yang ada. Â
Rendahnya investasi di sektor kehutanan berdampak langsung pada minimnya kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang masih berada di bawah 1%. Padahal, dengan pengelolaan yang baik, sektor ini tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pengamat kehutanan, Sudarsono Soedomo, mengungkapkan bahwa setiap 1 triliun investasi di sektor kehutanan dapat menyerap 1.500 tenaga kerja. Namun, dengan investasi sebesar 28 triliun selama tiga tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja di sektor ini tergolong sangat kecil. Selain itu, bisnis hutan alam semakin menyusut, sementara perkembangan hutan tanaman sangat lambat dan bahkan stagnan, menambah tantangan bagi sektor ini untuk bangkit.
Situasi ini juga diperparah oleh minimnya hilirisasi produk kehutanan dan kurangnya inovasi dalam pengembangan produk bernilai tambah, seperti bioenergi atau material konstruksi modern. Sebagian besar hasil hutan Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah, sehingga potensi pendapatan nasional tidak optimal. Untuk memperbaiki kondisi ini, diperlukan langkah konkret, seperti menyederhanakan regulasi, memberikan insentif untuk investasi hijau, dan mendorong hilirisasi produk kehutanan. Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, sektor kehutanan dapat berkontribusi lebih signifikan terhadap PDB, menciptakan lapangan kerja yang lebih besar, dan mendukung keberlanjutan ekonomi serta lingkungan Indonesia.
PRODUKTIVITAS RENDAH
Produktivitas industri kehutanan Indonesia masih tergolong rendah meskipun negara ini memiliki kekayaan hutan yang melimpah. Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan penggunaan teknologi modern dalam proses pengelolaan hutan dan produksi hasil hutan. Banyak perusahaan kehutanan di Indonesia masih mengandalkan metode konvensional yang kurang efisien dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Teknologi untuk pemanenan, pengolahan, hingga pengelolaan limbah hasil hutan belum diadopsi secara luas, sehingga tingkat produktivitas tetap rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju dalam industri ini. Selain itu, kurangnya investasi pada riset dan pengembangan (R&D) untuk inovasi produk berbasis kehutanan semakin memperparah situasi.
Di sisi lain, keterbatasan dalam pengelolaan bahan baku juga menjadi hambatan besar. Ketersediaan kayu sebagai bahan baku utama sering kali tidak stabil akibat deforestasi yang tidak terkontrol, konflik penggunaan lahan, dan kurangnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan tanaman industri (HTI), yang seharusnya menjadi solusi, juga berjalan lambat dan stagnan. Bisnis berbasis hutan alam semakin menyusut, dan pengembangan hutan tanaman industri belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri hilir secara optimal.
Rendahnya produktivitas ini berdampak langsung pada rendahnya kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional. Dengan potensi kawasan hutan yang mencakup sekitar 2/3 dari luas daratan Indonesia, sektor ini seharusnya menjadi pilar penting dalam ekonomi negara. Namun, kenyataannya, kontribusi industri kehutanan terhadap PDB masih di bawah 1%. Hal ini mencerminkan kurangnya optimalisasi potensi sumber daya hutan yang dimiliki. Ketergantungan pada ekspor bahan mentah seperti kayu gelondongan dan pulp tanpa pengolahan lebih lanjut menjadi salah satu penyebab rendahnya nilai tambah dari sektor ini.
Untuk meningkatkan produktivitas dan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB, adopsi teknologi modern harus menjadi prioritas. Teknologi berbasis otomasi dan digitalisasi, seperti penggunaan drone untuk pemantauan hutan, perangkat IoT untuk efisiensi logistik, dan mesin pengolahan kayu modern, dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri kehutanan Indonesia. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah berupa insentif untuk investasi pada teknologi dan hilirisasi produk kehutanan, serta regulasi yang mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, produktivitas sektor kehutanan dapat ditingkatkan, sehingga kontribusinya terhadap PDB juga menjadi lebih signifikan.
Pengelolaan industri hasil hutan Indonesia telah melalui berbagai tahap dari masa ke masa. Dari tahap settlement, terlihat bagaimana eksploitasi besar-besaran di masa kolonial hingga pendudukan Jepang meninggalkan jejak kerusakan yang signifikan. Kebijakan yang diperkenalkan sejak itu sering kali gagal mengatasi akar masalah, membentuk pola pengulangan yang disebut sebagai "lingkaran setan." Sebagai penutup, sektor kehutanan Indonesia menyimpan potensi besar yang belum dioptimalkan untuk mendukung pembangunan ekonomi, melestarikan lingkungan, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, tantangan yang dihadapi sangat kompleks, mulai dari rendahnya kontribusi terhadap PDB, minimnya investasi, pengelolaan yang tidak berkelanjutan, hingga birokrasi perizinan yang menghambat. Reformasi kebijakan, penguatan pengawasan, dan adopsi teknologi modern adalah langkah-langkah mendesak yang harus dilakukan untuk mengubah arah sektor ini ke jalur yang lebih produktif dan berkelanjutan. Dengan berbagai hambatan yang ada, pertanyaan besarnya adalah: Apakah Indonesia mampu keluar dari jebakan marjinalisasi sektor kehutanan dan menjadikannya sebagai motor penggerak ekonomi yang berwawasan lingkungan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H