Situasi ini juga diperparah oleh minimnya hilirisasi produk kehutanan dan kurangnya inovasi dalam pengembangan produk bernilai tambah, seperti bioenergi atau material konstruksi modern. Sebagian besar hasil hutan Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah, sehingga potensi pendapatan nasional tidak optimal. Untuk memperbaiki kondisi ini, diperlukan langkah konkret, seperti menyederhanakan regulasi, memberikan insentif untuk investasi hijau, dan mendorong hilirisasi produk kehutanan. Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, sektor kehutanan dapat berkontribusi lebih signifikan terhadap PDB, menciptakan lapangan kerja yang lebih besar, dan mendukung keberlanjutan ekonomi serta lingkungan Indonesia.
PRODUKTIVITAS RENDAH
Produktivitas industri kehutanan Indonesia masih tergolong rendah meskipun negara ini memiliki kekayaan hutan yang melimpah. Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan penggunaan teknologi modern dalam proses pengelolaan hutan dan produksi hasil hutan. Banyak perusahaan kehutanan di Indonesia masih mengandalkan metode konvensional yang kurang efisien dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Teknologi untuk pemanenan, pengolahan, hingga pengelolaan limbah hasil hutan belum diadopsi secara luas, sehingga tingkat produktivitas tetap rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju dalam industri ini. Selain itu, kurangnya investasi pada riset dan pengembangan (R&D) untuk inovasi produk berbasis kehutanan semakin memperparah situasi.
Di sisi lain, keterbatasan dalam pengelolaan bahan baku juga menjadi hambatan besar. Ketersediaan kayu sebagai bahan baku utama sering kali tidak stabil akibat deforestasi yang tidak terkontrol, konflik penggunaan lahan, dan kurangnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan tanaman industri (HTI), yang seharusnya menjadi solusi, juga berjalan lambat dan stagnan. Bisnis berbasis hutan alam semakin menyusut, dan pengembangan hutan tanaman industri belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri hilir secara optimal.
Rendahnya produktivitas ini berdampak langsung pada rendahnya kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional. Dengan potensi kawasan hutan yang mencakup sekitar 2/3 dari luas daratan Indonesia, sektor ini seharusnya menjadi pilar penting dalam ekonomi negara. Namun, kenyataannya, kontribusi industri kehutanan terhadap PDB masih di bawah 1%. Hal ini mencerminkan kurangnya optimalisasi potensi sumber daya hutan yang dimiliki. Ketergantungan pada ekspor bahan mentah seperti kayu gelondongan dan pulp tanpa pengolahan lebih lanjut menjadi salah satu penyebab rendahnya nilai tambah dari sektor ini.
Untuk meningkatkan produktivitas dan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB, adopsi teknologi modern harus menjadi prioritas. Teknologi berbasis otomasi dan digitalisasi, seperti penggunaan drone untuk pemantauan hutan, perangkat IoT untuk efisiensi logistik, dan mesin pengolahan kayu modern, dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri kehutanan Indonesia. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah berupa insentif untuk investasi pada teknologi dan hilirisasi produk kehutanan, serta regulasi yang mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, produktivitas sektor kehutanan dapat ditingkatkan, sehingga kontribusinya terhadap PDB juga menjadi lebih signifikan.
Pengelolaan industri hasil hutan Indonesia telah melalui berbagai tahap dari masa ke masa. Dari tahap settlement, terlihat bagaimana eksploitasi besar-besaran di masa kolonial hingga pendudukan Jepang meninggalkan jejak kerusakan yang signifikan. Kebijakan yang diperkenalkan sejak itu sering kali gagal mengatasi akar masalah, membentuk pola pengulangan yang disebut sebagai "lingkaran setan." Sebagai penutup, sektor kehutanan Indonesia menyimpan potensi besar yang belum dioptimalkan untuk mendukung pembangunan ekonomi, melestarikan lingkungan, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, tantangan yang dihadapi sangat kompleks, mulai dari rendahnya kontribusi terhadap PDB, minimnya investasi, pengelolaan yang tidak berkelanjutan, hingga birokrasi perizinan yang menghambat. Reformasi kebijakan, penguatan pengawasan, dan adopsi teknologi modern adalah langkah-langkah mendesak yang harus dilakukan untuk mengubah arah sektor ini ke jalur yang lebih produktif dan berkelanjutan. Dengan berbagai hambatan yang ada, pertanyaan besarnya adalah: Apakah Indonesia mampu keluar dari jebakan marjinalisasi sektor kehutanan dan menjadikannya sebagai motor penggerak ekonomi yang berwawasan lingkungan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H