Sumberdaya hutan mulai dimanfaatkan secara ekonomis untuk pembangunan nasional sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya lahir juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, yang bersanding dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968. Implementasinya, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta berbagai insentif ekonomi dalam pengusahaan hutan sehingga merangsang tumbuhnya usaha bidang kehutanan khususnya dalam bentuk HPH di Indonesia.Â
Dalam perjalanannya, sektor kehutanan pernah memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, khususnya di dalam pemulihan ekonomi nasional pada awal tahun 1970-an. Pada medio tahun 1980-an, Indonesia memulai babak baru sebagai produsen kayu lapis dunia yang layak diperhitungkan. Sejak tahun 1988, market share produk kayu lapis Indonesia telah menguasai hampir 50 % kayu lapis dunia dan menempatkan Indonesia sebagai pimpinan pasar yang sangat tangguh sampai dengan dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (BPB) Apkindo awal tahun 1988. Sampai dengan awal tahun 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah migas, dan urutan ketiga di bawah migas dan tekstil sejak medio 1990-an (Nurrochmat 2005).
Sektor kehutanan juga telah membuktikan sebagai suatu sektor yang memberikan peran signifikan terhadap pembangunan ekonomi, seperti sebagai penghasil devisa, pendorong ekonomi wilayah, pendukung sektor-sektor ekonomi lain yang terkait, dan juga sebagai penyedia lapangan kerja. Selama krisis ekonomi di Indonesia sektor kehutanan masih mampu memberikan kontribusi yang relatif signifikan terhadap perekonomian Indonesia, hasil devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1999/2000 antara lain adalah US$ 84,02 juta dari pulp dan US$ 93,99 juta dari paper, serta devisa dari ekspor kayu olahan selama lima tahun terakhir berjumlah sebesar US$ 28,12 juta untuk kayu gergajian, US$ 2.720,33 juta untuk kayu lapis (Pusat Rencana Kehutanan Departemen Kehutanan RI 2001).
Akan tetapi eksploitasi  manfaat hutan khususnya hasil hutan kayu  selama lebih dari tiga dekade dengan tidak memperhitungkan kelestariannya harus dibayar mahal dengan degradasi hebat kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan. Hal tersebut diikuti juga dengan semakin menurunnya sumbangan subsektor kehutanan terhadap PDB yang hanya 1 % selama 10 tahun terakhir. Rendahnya sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB seringkali dijadikan alasan bagi pemegang kebijakan untuk menempatkan sektor kehutanan sebagai sektor yang marjinal dalam perencanaan pembangunan nasional. Karena dalam paradigma yang dipakai selama ini, sumbangan subsektor kehutanan hanya dilihat dari aspek ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek lain, seperti lingkungan hidup.
MASA SEKARANGÂ
Sektor kehutanan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja, menciptakan peluang usaha, meningkatkan kinerja ekspor, serta memberikan kontribusi kepada negara melalui pajak dan penerimaan non-pajak. Investasi merupakan salah satu elemen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Banyak negara yang kemudian memberikan kemudahan berinvestasi guna menyokong pembangunan.meskipun demikian Terdapat beragam tantangan dalam industri kayu di Indonesia seperti aspek perizinan yang kompleks. Perizinan hingga saat ini masih menjadi kata yang masih menakutkan bagi investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Bukan hal yang baru bahwa pengurusan sebuah perizinan di Indonesia terutama terkait kemudahan berusaha masih belum efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Panjangnya birokrasi, ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya, dan kurangnya koordinasi yang baik antar stakeholder yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan dalam berinvestasi menjadi permasalahan klasik yang harus segera dibenahi. Di Indonesia, perizinan justru menjadi penghambat utama masuknya investasi. Birokrasi yang terlalu panjang, waktu yang tidak sedikit, biaya dan ditambah banyaknya pungutan tak resmi, membuat investor pikir-pikir untuk menanamkan modal di Indonesia. Masalah-masalah ini membuat iklim investasi menjadi tidak sehat dan terus berulang dari tahun ketahun.
Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dengan salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penyederhanaan regulasi dan perizinan di Indonesia, termasuk di bidang kehutanan. Sebanyak 521 perizinan dari 25 lembaga berhasil dipangkas dalam rangka penyederhanaan tersebut, termasuk perizinan di bidang kehutanan (Kemenkomarves. 2022). Sebelum adanya UUCK, setiap usaha di sektor kehutanan memerlukan satu perizinan secara individu, namun setelah UUCK diberlakukan, satu perizinan dapat digunakan untuk berbagai usaha kehutanan. Dengan adanya perubahan kebijakan dan penyederhanaan perizinan di sektor kehutanan melalui UUCK dan Peraturan Menteri LHK No. 8 Tahun 2021, diharapkan dapat meningkatkan investasi dan pengembangan bisnis di sektor tersebut. Langkah-langkah ini memberikan peluang bagi investor untuk terlibat dalam pemanfaatan hutan secara lebih efisien dan berkelanjutan.Â
Proses perizinan yang kompleks dan lambat dapat menghambat investasi dan pertumbuhan industri. Faktanya data menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat rendah dalam kemudahan berusaha menurut laporan Doing Business 2020 dari Bank Dunia, yaitu peringkat 73 dari 190 negara. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak hambatan dan birokrasi yang memperlambat proses perizinan di Indonesia. Kemudahan perizinan berusaha dapat membantu meningkatkan investasi dan pertumbuhan industri hilirisasi sumber daya hutan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempercepat proses perizinan dengan melakukan reformasi birokrasi dan menyederhanakan prosedur perizinan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan untuk menghindari praktek korupsi.
INVESTASI RENDAH
Industri kehutanan memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat kekayaan alam berupa hutan yang mencakup lebih dari 90 juta hektare atau sekitar 2/3 dari total luas lahan negara. Namun, investasi di sektor ini masih sangat rendah, baik dari sisi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Dari total realisasi PMDN sebesar 3.256 triliun pada periode 2020–2022, sektor kehutanan hanya mampu menarik 28 triliun. Sedangkan pada 2023, dari total PMA sebesar 50.267 triliun, investasi asing di sektor kehutanan hanya mencapai 96 triliun. Rendahnya angka ini sangat berbanding terbalik dengan potensi besar kawasan kehutanan yang ada. Â
Rendahnya investasi di sektor kehutanan berdampak langsung pada minimnya kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang masih berada di bawah 1%. Padahal, dengan pengelolaan yang baik, sektor ini tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pengamat kehutanan, Sudarsono Soedomo, mengungkapkan bahwa setiap 1 triliun investasi di sektor kehutanan dapat menyerap 1.500 tenaga kerja. Namun, dengan investasi sebesar 28 triliun selama tiga tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja di sektor ini tergolong sangat kecil. Selain itu, bisnis hutan alam semakin menyusut, sementara perkembangan hutan tanaman sangat lambat dan bahkan stagnan, menambah tantangan bagi sektor ini untuk bangkit.