MAMAN RESIN PRESENT
Written by: 3R SSID Himasiltan IPB (team)
Industri hasil hutan adalah industri pengelolaan hasil hutan yang memangku izin resmi yang bertugas meningkatkan nilai hasil hutan itu sendiri serta membuka lapangan pekerjaan. Industri ini terbagi menjadi kayu dan non kayu. Industri hasil hutan kayu bertugas mengolah kayu bulat atau kayu bulat kecil menjadi barang jadi atau setengah jadi. Sedangkan industri hasil hutan bukan kayu bertugas mengolah hhbk menjadi barang jadi atau setengah jadi. Untuk membuat sebuah industri hasil hutan diperlukan izin usaha (PHPB) yang dibuat oleh lembaga berwenang dan diberikan kepada pemegang izin melalui skema multiusaha kehutanan dalam satu perizinan saja. Industri hasil hutan juga terbagi menjadi skala besar dan skala kecil berdasarkan kriteria yang ditentukan seperti jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, kapasitas mesin.
Artikel ini akan membahas tidak berkembangnya industri hasil hutan dari beberapa aspek. Pembahasan akan dimulai dari sejarah pengelolaan industri hasil hutan dari masa lampau hingga masa kini yang telah melewati beberapa tahap namun belum perkembangan yang signifikan. Longgarnya regulasi, ketersediaan bahan baku, kualitas sumberdaya manusia, dan ketersediaan pasar akan dibahas dalam artikel ini dimana faktor tersebut dirasa penting dan berpengaruh terhadap perindustrian hasil hutan. Jadi, bagaimana keberlanjutan industri hasil hutan di masa depan?
Masa Orde Baru
Awal orde baru masa soeharto diberlakukan kebijakan paradigma “pembangunan ekonomi”. Dalam sektor kehutanan dimana pemerintah mendapatkan devisa asing yang besar dan menciptakan lapangan kerja. Salah satu kebijakan pemerintah yaitu melancarkan kebijakan sektor swasta untuk menebang dan mengekspor log berdasarkan UU No.1/1967. dari Undang-Undang tersebut eksploitasi penebangan kayu oleh konsesi HPH sangat cepat di tahun 1970-an. Namun pemerintah tidak mengakui hak-hak hutan adat masyarakat lokal yang sering terjadi konflik lahan hutan antara pemilik modal dalam negeri dan asing dengan masyarakat, akhirnya pengadilan memenangkan perkara konflik lahan buat para pedagang kuat. Industri kayu melakukan konsolidasi pada periode 1980-an ketika ekspor log dilarang oleh pemerintah tahun 1985. implikasi dari kebijakan ini menciptakan perusahaan kayu secara vertikal terintegrasi dan terkonsentrasi dalam produksi plywood. Adapun kerusakan hutan dari aktivitas konsesi HPH mencapai keseluruhan sekitar 16,6 juta hektar pada pertengahan tahun 1998. Faktor-faktor melatarbelakangi kerusakan hutan adalah pemanfaatan besar-besaran untuk produksi, konversi lahan untuk tanaman kelapa sawit, areal transmigrasi, pertambangan, praktek illegal logging, perladangan berpindah dan sebagainya.
Masalah yang mendesak mengenai kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia berhubungan dengan pengelolaan yang salah atas ekspektasi hutan yang menunjukkan korelasi indikator antara lain kelengahan atas pengeluaran hutan diantara aktor pelaku langsung dan aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan dan mereka gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks pengusaha lokal dan tradisional yang mempunyai konsentrasi HPH dan industri kayu, kebanyakan mereka tidak mempunyai profesionalisme dan kurang mempunyai rasa tanggung jawab atas prinsip pengelolaan hutan yang lestari. mereka memotong kayu bulat tanpa melakukan kembali program replanting serta melemahkan kesejahteraan masyarakat lokal yang pada akhirnya mereka termaginalisasi sosial ekonominya. Fenomena ini telah menciptakan korupsi dan kolusi di mana elit birokrat kehutanan pusat memberi izin konsensi HPH kepada penguasa swasta khususnya kelompok keturunan Cina dan yayasan kelompok militer tidak berdasarkan profesionalisme dan lemahnya kontrol dan sanksi tegas atas peraturan kehutanan.
Pengelolaan hutan pada masa Soeharto berimplikasi kerusakan hutan atas masalah-masalah lingkungan dari perspektif politik lingkungan sejalan dengan bagaimana masyarakat lokal menanggapi pengenalan hutan lalu pergerakan aktor pelaku pengelolaan hutan, apakah negara pengurusan swasta lembaga keuangan internasional penting untuk melengkapi posisi pendapatnya atas pengeluaran hutan yang berbasis konsep pelestarian. Dalam hubungan ini perusahaan swasta diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sektor kehutanan di Indonesia dengan mendaftarkan perizinan usaha di departemen kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint Operation dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasionalkan konsentrasi HPH, sebaliknya keadaan ekonomi masyarakat lokal sebagai pengguna lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu menjadi lebih buruk setelah konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional. Untuk mengatasi penurunan dalam log ekspor negara memperkenalkan peraturan lain yang bertujuan mengekang ekspor log dan mempromosikan pembangunan industri plywood sebagai sentral dari industri pemrosesan kayu yang baru dikeluarkan oleh direktorat jenderal kehutanan. Adapun alasan utama untuk pembangunan hutan tanaman industri adalah kekurangan kayu untuk bahan mentah industri kayu dan dikembangkan sebagai alternatif untuk memenuhi keperluan kayu yang besar sebagai bahan baku. dengan begitu strategi pengembangan HTI berbasis tiga hal yaitu profesional, kelestarian, dan keuntungan perusahaan swasta. secara konseptual HTI adalah sektor kehutanan yang dikembangkan agar meningkatkan potensi dan kualitas produksi hutan dengan implementasi intensif silvikultur untuk menyediakan kayu industri sebagai bahan mentah.
Pengaruh aktivitas log dari pandang politik lingkungan yang memfokuskan dari tiga kata kunci yaitu isu politik, ekonomi, dan lingkungan. Pengaruh positif sangat dilihat dari politik ekonomi pemerintah, Soeharto mencatat sukses dalam undang-undang banyak investor baik domestik dan transnasional untuk menanam investasi di kehutanan Indonesia. Di samping itu pengaruh negatif dalam masalah isu lingkungan. Hal ini dikarenakan penebangan log yang berlebihan di banyak daerah menyebabkan kerusakan hutan dalam skala besar area kerusakan hutan mencapai 300.000 hektar pada tahun 1970-an dan sampai 600.000 hektar tahun 1980. Kerusakan hutan ini terjadi karena adanya kolusi antara pemilik kolusi antara pemilik HPH dan aparat pengawas dari kehutanan, kurangnya sanksi tegas, dan penegakan hukum bagi pelanggar peraturan kehutanan. Ada dua kunci untuk pengembangan industri plywood dari pertengahan tahun 1970 ke 1990, pertama pemerintah melancarkan kebijakan menyatu dari industri log ke pemprosesan plywood kebijakan ini berhasil dalam membangun industri plywood dan mendapat pasar yang lebih besar. Pengaruh negatif dari fenomena ini pertumbuhan yang cepat dari industri kayu lapis ialah terjadi rata-rata kerusakan hutan di banyak daerah. kegagalan dari program HTI di berbagai daerah dikarenakan terjadi korupsi dan korupsi antara pengusaha swasta dan aparat kehutanan. Indonesia berencana menjadi penghasil pulp dan kertas yang utama di wilayah Asia Pasifik. tantangan yang serius untuk melaksanakan ambisi ini adalah produksi yang tidak mencukupi sebagai bahan baku untuk industri kehutanan masa depan juga terjadi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada akhir tahun 1997 sampai 2003 yang menyebabkan devaluasi mata uang rupiah. Di sisi lain terjadi ketidakstabilan politik dan sosial selama masa transisi pemerintah Soeharto ke reformasi.
Masa Reformasi
Peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari pemerintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru diselenggarakan pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan Surat Ketetapan Gunseikanbu Keizai Butyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945. Upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah pada bulan Desember 1946 Jawatan Kehutanan membentuk satu tim penerjemah yang ditugaskan menerjemahkan peraturan-peraturan hukum kehutanan yang diproduksi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan sebagai bahan pembentukan peraturan hukum kehutanan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 12 Agustus 1947 pemerintah Indonesia membentuk Jawatan Kehutanan Sumatera berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden R.I. Nomor I/WKP/SUM/47 yang berkedudukan di Bukittinggi. Setelah peristiwa pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1952 Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai dan mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kemudian, wewenang penguasaan tanah-tanah hutan oleh Jawatan Kehutanan semakin dipertegas dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara (Lembaran Negara No. 14 Tahun 1953), yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda diatur dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 25 Januari 1919 No. 33 (Staatsblad 1911 No. 110). Hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonial Belanda
Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi secara cepat, maka pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan untuk: (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal di dalam maupun di luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia; dan (2) dengan secara sadar pemerintah mengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) untuk membiayai pembangunan nasional.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital (capital oriented) dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata dengan mengutamakan pencapaian target-target pertumbuhan tertentu, maka pemerintah membuat instrumen hukum (legal instrument) yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Segera setelah UU PMA diundangkan pemerintah, pemilik modal asing berbondong bondong menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu: (1) dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia pasti sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional; (2) pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri; dan (3) sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal sangat murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum yang dimulai dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN. Tahun 1967 No. 8 dan Tambahan LN. No. 2823). Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).
Segera setelah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar besaran dilakukan pemerintah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada BUMS maupun BUMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi, dari segi yang lain kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan yang tidak terbuka dan tidak selektif, karena mengandung unsur KKN sehingga konsesi dikuasai oleh orang-orang atau yayasan-yayasan tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa, ditambah lagi dengan lemahnya aspek pengawasan (control) dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, maka terjadilah eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali dan tak tersentuh oleh hukum oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah: (1) Dari segi ekologi terjadi degradasi kuantitas maupun kualitas hutan tropis di berbagai kawasan di Indonesia; (2) Dari segi ekonomi terjadi keterbatasan dan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat; (3) Dari segi sosial dan budaya muncul kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan tinggal di dan sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan (victims of development), yang tergusur dan terabaikan serta dibekukannya akses dan hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Selain itu, terjadi konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan.
Satu hal penting yang perlu memperoleh perhatian dalam konteks instrumen hukum untuk melaksanakan kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia adalah kejanggalan yuridis dan sistematis berdasarkan waktu dari produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yaitu: (1) Instrumen hukum yang mengatur perencanaan hutan dalam hal ini PP No. 31 Tahun 1971 tentang Perencanaan Hutan baru dikeluarkan setahun setelah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan berlangsung melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH; (2) Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan in casu PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasi pemegang HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Jadi, pelaksanaan kebijakan pengusahaan hutan seperti yang dimaksud UU Kehutanan 1967 selama lebih dari 15 tahun tanpa didukung dengan instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan. Karena itu, secara mudah dapat diprediksi dan dipahami jika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH, dan konsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi kuantitas maupun kualitas dari tahun ke tahun.
Instrumen hukum pengelolaan hutan yang diproduksi pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah (Government Law), atau lebih konkrit lebih merupakan hukum birokrasi (Bureaucratic Law), bukan hukum negara (State Law) seperti yang diamanatkan menurut UUD 1945. Dalam hubungan inI, hukum pemerintah atau hukum birokratik cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, dan bahkan pembekuan akses serta hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan. Model produk hukum seperti digambarkan di atas dikenal sebagai produk hukum yang bercorak represif (Repressive Law) seperti dimaksud Nonnet & Selznick (1978).
Orde Reformasi di bawah pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie setelah lengsernya Soeharto secara ideologis tidak mengalami perubahan. Produk hukum dalam bentuk PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Produksi mengandung muatan jiwa, semangat, dan substansi yang secara prinsip tidak berbeda dengan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPH dan HPHH, alias tidak mencerminkan jiwa dan semangat serta cita-cita gerakan reformasi.
Lebih ironis lagi, produk hukum hasil karya lembaga legislatif dan eksekutif pada era reformasi dalam bentuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara ideologis dan substansial tidak berbeda alias sama dan sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967 sebagai produk hukum kehutanan pada era pemerintahan Orde Baru. Instrumen hukum seperti ini dapat diibaratkan sebagai sebuah karya musik yang dikemas dalam kaset atau CD baru, tetapi di dalamnya berisi serangkaian lagu-lagu lama (the old songs) yang disajikan dan dikemas dengan aransemen musik yang telah dimodifikasi sesuai dengan selera produsernya.
Masa UU Cipta Kerja
Fenomena tersebut menjadi ironi yang memunculkan pertanyaan tentang, apa sebenarnya penyebab industri hasil hutan “tidak berkembang”? Setidaknya ada empat alasan yang berhasil dirangkum terkait hal ini, diantaranya regulasi yang rumit dan perizinan yang sulit, investasi yang rendah, sumber daya manusia yang terbatas, dan ketersediaan pasar. Pada pembahasan selanjutnya, akan dipaparkan mengenai bagaimana hal-hal tersebut menjadi sebuah lingkaran yang membuat industri hasil hutan sulit berkembang. Seperti kaset rusak yang terus diputar, layaknya dongeng yang terus diceritakan, industri hasil hutan tidak akan berkembang apabila masih menderita penyakit ini.
Rencana UU Cipta Kerja pada sektor kehutanan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik yaitu untuk membuka lahan investasi seluas-luasnya di Indonesia. Penyederhanaan izin berusaha serta mulai diterapkannya digitalisasi dalam perizinan menjadi salah satu perubahan utama dalam undang-undang ini. Namun justru muncul konflik baru yang menyinggung peraturan kehutanan dan lingkungan itu sendiri yang membuka celah bagi para Oknum untuk bertindak semena-mena.
Masalah pertama adalah berubahnya orientasi strategis yang merujuk pada keseimbangan ekosistem lingkungan Sekarang dan mendatang menjadi ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. BBeberapa panghapusan dan penambahan pasal justru meniadakan prinsip pertimbangan kekuasaan yang memicu tindakan yang sewenang-wenang. Terabaikannya klaim adanya masyarakat adat dan warga lokal Merupakan dampak akibat pelepasan kawasan demi kepentingan korporasi karena kesengajaan dalam melonggarkan pengawasan. Kedua yaiitu peniadaan ketentuan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan khusus untuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi dan daratan yang berbukit membuka potensi bencana seperti banjir, longsor dan erosi Yang lebih tinggi. Peniadaan pertimbangan potensi terhadap perubahan kondisi biofisik seperti ekosistem, iklim dan dampak sosial ekonomi juga memiliki dampak yang luas. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi tidak jelas peruntukannya sangat membuka lebar potensi perusakan dan perubahan fungsi kawasan hutan bagi keseimbangan lingkungan. Dampak selanjutnya adalah sentralisasi perizinan dimana permohonan izin akan terpusat pada pemerintah pusat yang tentunya Memperlebar kesenjangan. Korporasi dengan skala besar tentunya memiliki potensi penerimaan yang lebih besar dibanding koperasi atau perorangan. Apalagi terdapat penyamarataan subyek penerima izin antara perorangan, BUMN, BUMD, BUMS atau korporasi lainnya dalam pemanfaatan kawasan hutan sehingga skala korporasi yang lebih besar akan lebih leluasa memanfaatkan kawasan hutan. Masalah-masalah tersebut akhirnya akan meningkatkan angka kriminalisasi dan hilangnya kawasan hutan. Ditambah lagi terdapat pasal yang menghapus sanksi pidama pada pelaku perusakan yang akan semakin menyulitkan pelaku pengusaha yang melanggar. Salah satu proyek yang akan dicanangkan pada era Jokowi yakni pembangunan lahan bioetanol di Papua, konflik antara masyarakat menjadi parameter nilai apakah aksees keadilan hutan kita telah sesuai dengan amanat konstitusional UUD 1945 pasal 33 ayat 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H