Mohon tunggu...
SSID by Himasiltan IPB
SSID by Himasiltan IPB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Akun ini dikelola oleh divisi Scientific and Strategic Issue Development dalam naungan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (Himasiltan) IPB periode 2023/2024

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Lingkaran Setan Industri Kehutanan (Part #2: Dinamika Kehutanan di Indonesia)

9 Oktober 2024   20:27 Diperbarui: 9 Oktober 2024   20:27 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerusakan hutan (Picography-pixabay)

Orde Reformasi di bawah pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie setelah lengsernya Soeharto secara ideologis tidak mengalami perubahan. Produk hukum dalam bentuk PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Produksi mengandung muatan jiwa, semangat, dan substansi yang secara prinsip tidak berbeda dengan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPH dan HPHH, alias tidak mencerminkan jiwa dan semangat serta cita-cita gerakan reformasi.

Lebih ironis lagi, produk hukum hasil karya lembaga legislatif dan eksekutif pada era reformasi dalam bentuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara ideologis dan substansial tidak berbeda alias sama dan sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967 sebagai produk hukum kehutanan pada era pemerintahan Orde Baru. Instrumen hukum seperti ini dapat diibaratkan sebagai sebuah karya musik yang dikemas dalam kaset atau CD baru, tetapi di dalamnya berisi serangkaian lagu-lagu lama (the old songs) yang disajikan dan dikemas dengan aransemen musik yang telah dimodifikasi sesuai dengan selera produsernya.

  • Masa UU Cipta Kerja

Fenomena tersebut menjadi ironi yang memunculkan pertanyaan tentang, apa sebenarnya penyebab industri hasil hutan “tidak berkembang”? Setidaknya ada empat alasan yang berhasil dirangkum terkait hal ini, diantaranya regulasi yang rumit dan perizinan yang sulit, investasi yang rendah, sumber daya manusia yang terbatas, dan ketersediaan pasar. Pada pembahasan selanjutnya, akan dipaparkan mengenai bagaimana hal-hal tersebut menjadi sebuah lingkaran yang membuat industri hasil hutan sulit berkembang. Seperti kaset rusak yang terus diputar, layaknya dongeng yang terus diceritakan, industri hasil hutan tidak akan berkembang apabila masih menderita penyakit ini.

Rencana UU Cipta Kerja pada sektor kehutanan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik yaitu untuk membuka lahan investasi seluas-luasnya di Indonesia. Penyederhanaan izin berusaha serta mulai diterapkannya digitalisasi dalam perizinan menjadi salah satu perubahan utama dalam undang-undang ini. Namun justru muncul konflik baru yang menyinggung peraturan kehutanan dan lingkungan itu sendiri yang membuka celah bagi para Oknum untuk bertindak semena-mena. 

Masalah pertama adalah berubahnya orientasi strategis yang merujuk pada keseimbangan ekosistem lingkungan Sekarang dan mendatang menjadi ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. BBeberapa panghapusan dan penambahan pasal justru meniadakan prinsip pertimbangan kekuasaan yang memicu tindakan yang sewenang-wenang. Terabaikannya klaim adanya masyarakat adat dan warga lokal Merupakan dampak akibat pelepasan kawasan demi kepentingan korporasi karena kesengajaan dalam melonggarkan pengawasan. Kedua yaiitu peniadaan ketentuan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan khusus untuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi dan daratan yang berbukit membuka potensi bencana seperti banjir, longsor dan erosi Yang lebih tinggi. Peniadaan pertimbangan potensi terhadap perubahan kondisi biofisik seperti ekosistem, iklim dan dampak sosial ekonomi juga memiliki dampak yang luas. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi tidak jelas peruntukannya sangat membuka lebar potensi perusakan dan perubahan fungsi kawasan hutan bagi keseimbangan lingkungan. Dampak selanjutnya adalah sentralisasi perizinan dimana permohonan izin akan terpusat pada pemerintah pusat yang tentunya Memperlebar kesenjangan. Korporasi dengan skala besar tentunya memiliki potensi penerimaan yang lebih besar dibanding koperasi atau perorangan. Apalagi terdapat penyamarataan subyek penerima izin antara perorangan, BUMN, BUMD, BUMS atau korporasi lainnya dalam pemanfaatan kawasan hutan sehingga skala korporasi yang lebih besar akan lebih leluasa memanfaatkan kawasan hutan. Masalah-masalah tersebut akhirnya akan meningkatkan angka kriminalisasi dan hilangnya kawasan hutan. Ditambah lagi terdapat pasal yang menghapus sanksi pidama pada pelaku perusakan yang akan semakin menyulitkan pelaku pengusaha yang melanggar. Salah satu proyek yang akan dicanangkan pada era Jokowi yakni pembangunan lahan bioetanol di Papua, konflik antara masyarakat menjadi parameter nilai apakah aksees keadilan hutan kita telah sesuai dengan amanat konstitusional UUD 1945 pasal 33 ayat 3.  

hutanhujan.org
hutanhujan.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun