Masa Reformasi
Peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari pemerintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru diselenggarakan pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan Surat Ketetapan Gunseikanbu Keizai Butyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945. Upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah pada bulan Desember 1946 Jawatan Kehutanan membentuk satu tim penerjemah yang ditugaskan menerjemahkan peraturan-peraturan hukum kehutanan yang diproduksi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan sebagai bahan pembentukan peraturan hukum kehutanan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 12 Agustus 1947 pemerintah Indonesia membentuk Jawatan Kehutanan Sumatera berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden R.I. Nomor I/WKP/SUM/47 yang berkedudukan di Bukittinggi. Setelah peristiwa pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1952 Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai dan mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kemudian, wewenang penguasaan tanah-tanah hutan oleh Jawatan Kehutanan semakin dipertegas dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara (Lembaran Negara No. 14 Tahun 1953), yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda diatur dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 25 Januari 1919 No. 33 (Staatsblad 1911 No. 110). Hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonial Belanda
Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi secara cepat, maka pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan untuk: (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal di dalam maupun di luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia; dan (2) dengan secara sadar pemerintah mengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) untuk membiayai pembangunan nasional.Â
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital (capital oriented) dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata dengan mengutamakan pencapaian target-target pertumbuhan tertentu, maka pemerintah membuat instrumen hukum (legal instrument) yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Segera setelah UU PMA diundangkan pemerintah, pemilik modal asing berbondong bondong menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu: (1) dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia pasti sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional; (2) pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri; dan (3) sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal sangat murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum yang dimulai dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN. Tahun 1967 No. 8 dan Tambahan LN. No. 2823). Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).Â
Segera setelah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar besaran dilakukan pemerintah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada BUMS maupun BUMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi, dari segi yang lain kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan yang tidak terbuka dan tidak selektif, karena mengandung unsur KKN sehingga konsesi dikuasai oleh orang-orang atau yayasan-yayasan tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa, ditambah lagi dengan lemahnya aspek pengawasan (control) dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, maka terjadilah eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali dan tak tersentuh oleh hukum oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah: (1) Dari segi ekologi terjadi degradasi kuantitas maupun kualitas hutan tropis di berbagai kawasan di Indonesia; (2) Dari segi ekonomi terjadi keterbatasan dan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat; (3) Dari segi sosial dan budaya muncul kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan tinggal di dan sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan (victims of development), yang tergusur dan terabaikan serta dibekukannya akses dan hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Â Selain itu, terjadi konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan.
Satu hal penting yang perlu memperoleh perhatian dalam konteks instrumen hukum untuk melaksanakan kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia adalah kejanggalan yuridis dan sistematis berdasarkan waktu dari produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yaitu: (1) Instrumen hukum yang mengatur perencanaan hutan dalam hal ini PP No. 31 Tahun 1971 tentang Perencanaan Hutan baru dikeluarkan setahun setelah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan berlangsung melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH; Â (2) Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan in casu PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasi pemegang HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Jadi, pelaksanaan kebijakan pengusahaan hutan seperti yang dimaksud UU Kehutanan 1967 selama lebih dari 15 tahun tanpa didukung dengan instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan. Karena itu, secara mudah dapat diprediksi dan dipahami jika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH, dan konsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi kuantitas maupun kualitas dari tahun ke tahun.
Instrumen hukum pengelolaan hutan yang diproduksi pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah (Government Law), atau lebih konkrit lebih merupakan hukum birokrasi (Bureaucratic Law), bukan hukum negara (State Law) seperti yang diamanatkan menurut UUD 1945. Dalam hubungan inI, hukum pemerintah atau hukum birokratik cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, dan bahkan pembekuan akses serta hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan. Model produk hukum seperti digambarkan di atas dikenal sebagai produk hukum yang bercorak represif (Repressive Law) seperti dimaksud Nonnet & Selznick (1978).