Era Belanda sampai pada era reformasi masih terus dalam tahap perbaikan dan kustodian membentuk pola lingkaran berkelanjutan yang disebut lingkaran setan, tidak pernah menginjak fase manajemen karena tidak pernah tercapainya indikator seperti pengelolaan terencana, perbaikan panen dan lingkungan hutan terlindungi,dan pemanfaatan hutan non komersial. Â Pemerintah hanya memperbaharui peraturan pemerintah saja namun tidak terealisasinya dalam mendukung industri berbasis hutan. Seperti untuk mendorong pengembangan industri kehutanan berbasis hutan, pemerintah menetapkan kebijakan Outsourcing industri-industri primer hasil hutan menggunakan bahan baku kayu diameter kecil dari hutan tanaman (hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, dan hutan tanaman industri), berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 dan No. P11/09/Menhut-II/2009.
Namun upaya sistem tutupan berkelanjutan, terkadang dikenal sebagai sistem kayu pelindung atau hutan tutupan berkelanjutan, adalah sistem silvikultur klasik yang digunakan di Eropa tengah. Sistem ini mempertahankan tutupan hutan secara berkelanjutan dengan pohon-pohon yang ditebang ketika sudah mencapai ukuran yang dibutuhkan. Regenerasi alami tegakan hutan didorong melalui penebangan dan pembukaan kanopi secara hati-hati untuk memberikan cahaya yang cukup ke lantai hutan sehingga bibit dari pohon di atas dapat berkembang. Seiring waktu, pohon-pohon tua ditebang sehingga pohon-pohon muda dapat mencapai kanopi atas. Dengan metode ini, struktur tegakan yang bertingkat dan berumur banyak terbentuk dan tutupan hutan yang berkesinambungan dipertahankan untuk selamanya. upaya sistem ini cukup memberikan dampak baik pada perbaikan hutan alam produksi maupun hutan konservasi.
Pembangunan hutan wisata merupakan bagian dari konsep Revolusi Hijau yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa atau sekitar hutan, "Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.13 Tahun 2020 tentang Pengembangan Sarana dan Prasarana Wisata Alam Dalam Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.22 Tahun 2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung. Peraturan-peraturan tersebut hanyalah peraturan tertulis dan belum bisa dikatakan dalam tahap manajemen industri hasil hutan. Dikatakan bisa pada tahap manajemen yaitu ketika keberhasilannya indikator setelah melewati tahap Settlement stage dan kustodian stage.
Melihat perjalanan panjang dan kompleks industri kehutanan, jelas bahwa upaya perbaikan dan pelestarian memerlukan pendekatan yang lebih terpadu dan berkelanjutan. Meskipun telah banyak kebijakan yang diperkenalkan, perkembangan industri kehutanan hanya akan tercapai dengan komitmen nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan industri. Tantangan seperti regulasi yang tidak konsisten, eksploitasi berlebihan, dan ketidakefektifan implementasi harus dihadapi dengan strategi yang lebih efektif dan berorientasi pada jangka panjang. Dengan demikian, masa depan industri hasil hutan Indonesia dapat beralih dari siklus destruktif menjadi model pengelolaan yang mendukung keseimbangan ekologis, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan ekonomi.
Pada pembahasan selanjutnya, akan dipaparkan mengenai bagaimana hal-hal tersebut menjadi sebuah lingkaran yang membuat industri kehutanan seperti berjalan di tempat. Seperti kaset rusak yang terus diputar, layaknya dongeng yang terus diceritakan, industri kehutanan akan diam di tempat apabila tidak segera berbenah diri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H