#PART 1: Three Stages of Forestry Development
Written by: 3R SSID Himasiltan IPB (team)
- Introduction
Industri hasil hutan telah melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan dan perubahan sejak masa kolonial hingga era modern. Dimulai dengan eksploitasi besar-besaran hutan jati oleh pemerintah Belanda, yang mengakibatkan degradasi serius dan menuntut upaya reforestasi, hingga masa pendudukan Jepang yang memperparah kerusakan akibat perang. Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan Indonesia menghadapi berbagai dinamika regulasi yang sering kali tidak efektif, membentuk pola "lingkaran setan" di mana eksploitasi berulang dan upaya pelestarian tidak mencapai hasil optimal. Meskipun ada kebijakan dan inovasi seperti sistem tutupan berkelanjutan dan pembangunan hutan wisata, tantangan dalam implementasi dan keberlanjutan pengelolaan hutan masih menjadi isu utama yang perlu diatasi untuk masa depan industri hasil hutan yang lebih baik.
Artikel ini akan membahas alasan berkembangnya industri hasil hutan dari beberapa aspek. Pembahasan akan dimulai dari sejarah pengelolaan industri hasil hutan dari masa lampau hingga masa kini yang telah melewati beberapa tahap namun belum perkembangan yang signifikan. Bobroknya regulasi, ketersediaan bahan baku, kualitas sumberdaya manusia, dan ketersediaan pasar akan dibahas dalam artikel ini dimana faktor tersebut dirasa penting dan berpengaruh terhadap perindustrian hasil hutan. Akhir dari tulisan akan membahas tentang alasan industri hasil hutan seolah olah berada dalam "lingkaran setan" yang terus berputar dikala perkembangan industri lain terus digencarkan. Jadi, bagaimana keberlanjutan industri hasil hutan di masa depan?
The Settlement Stage
Sejarah industri hasil hutan di Indonesia melewati masa yang sangat panjang. Pengelolaan hutan pada masing-masing era pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya yang ditimbulkan dari implementasi instrumen hukum tersebut juga beragam. Mulai dari masa kolonial Belanda yang mengelola hutan alam jati (Tectona grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke-19, eksploitasi besar-besaran selama lebih dari 200 tahun oleh pemerintah Belanda dengan tujuan memasok bahan baku industri kapal kayu milik China dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa. Eksploitasi besar-besaran hutan alam jati oleh pemerintah Belanda mengakibatkan degradasi hutan yang sangat serius dan membuat kekhawatiran besar akan pasokan kayu jati untuk industri kapal kayu. Sehingga untuk memperbaiki situasi yang rumit ini, pemerintah Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalah merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius.
Mengemban tugas merehabilitasi kawasan hutan dengan tingkat degradasi serius tidak dapat dilakukan dengan mudah, maka Daendels membentuk Dienst van Boschwezen (Jawatan Kehutanan), membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang mengalami degradasi, mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang membatasi pemberian izin penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati tanpa seizin Jawatan Kehutanan, mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa. Namun, upaya Daendels untuk melakukan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil yang optimal, selain karena keterbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dimiliki petugas-petugas Jawatan Kehutanan, juga karena pada tahun 1830-1870 van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa, di mana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi ekspor. Peraturan-peraturan hukum yang telah dibentuk tidak berlaku secara efektif sebagai landasan hukum untuk mengoperasikan pemangkuan dan pengusahaan hutan seperti yang diharapkan pemerintah Hindia Belanda.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia juga tidak kalah kelamnya bagi sejarah industri hasil hutan di Indonesia. Taktik perang bumi hangus yang dilakukan Belanda sebelum menyerah kepada Jepang telah menimbulkan kerusakan kawasan hutan jati terutama di Karesidenan Semarang, Jepara, Rembang, Telawa, dan Bojonegoro. Boschwezen (Dinas Kehutanan) juga tidak luput dari sasaran taktik penghancuran bumi hangus, agar tidak dapat digunakan dan dinikmati oleh bala tentara Jepang. Karena itu, kilang-kilang penggergajian kayu di Saradan dan Cepu serta tempat penimbunan kayu di Madiun dengan sengaja dirusak dan dibakar. Selain itu, jembatan rel gantung di Payak Sonde dalam kawasan hutan Ngawi juga dengan sengaja dirusak dan dihancurkan sebagai bagian dari taktik bumi hangus.
Selama masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutan jati di Jawa mengalami masa surut, dalam arti tidak berjalan seperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini selain karena hanya sebagian kecil dari bekas pegawai Jawatan Kehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentingan pemerintah Jepang, juga karena keadaan chaos akibat perang gerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan, sehingga tidak memungkinkan dapat dilakukan kegiatan pengelolaan hutan seperti yang diharapkan pemerintah Jepang.
Jika disangka tidak terjadi eksploitasi hutan besar-besaran pada masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia karena taktik perang bumi hangus yang dilakukan oleh pemerintah Belanda sudah menghancurkan sebagian kawasan hutan di Indonesia, faktanya pemerintah Jepang justru membangun industri kapal kayu di bawah kewenangan Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan). Kawasan hutan juga banyak dibuka untuk ladang-ladang palawija, tanaman jarak, kebun kopi, dan gua perlindungan maupun untuk membangun gudang-gudang penyimpanan logistik dan amunisi mesin perang Jepang. Karena itu, sampai menjelang jatuhnya kekuasaan Jepang, urusan kehutanan yang menjadi salah satu sumber keuangan untuk membiayai perang tentara Jepang di Asia dimasukkan ke dalam urusan Gonzo Yusei Zanbu (Departemen Produksi Kebutuhan Perang). Betapa kekayaan hutan alam Indonesia pada zaman dahulu mampu untuk membiayai kebutuhan perang penjajah yang datang manakala Indonesia sekarang hanya mendapatkan akibat ketamakan pengelolaan hutan yang sistemnya sudah berganti namun dosa eksploitasi masih terus mengalir.
Pengelolaan hutan pasca kemerdekaan dengan berkali-kali berganti nama lembaga kehutanan, muncul produk hukum baru, dan kebijakan lainnya namun pada intinya produk hukum hasil karya lembaga legislatif dan eksekutif pada era reformasi dalam bentuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara ideologis sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967 sebagai produk hukum kehutanan pada era pemerintahan Orde Baru. Instrumen hukum seperti ini dapat diibaratkan sebagai sebuah karya musik yang dikemas dalam kaset atau CD baru, tetapi di dalamnya berisi serangkaian lagu-lagu lama (the old songs) yang disajikan dan dikemas dengan aransemen musik yang telah dimodifikasi sesuai dengan selera produsernya.
The Custodial Stage
Tahap kustodial merupakan keadaan yang berfokus pada perlindungan dan pelestarian sumber daya hutan. Tahap ini melibatkan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi hutan dari berbagai ancaman, seperti penebangan atau pertambangan ilegal, perampasan, serta kebakaran hutan. Kegiatan ini melibatkan langkah-langkah untuk menetapkan batas, menegakkan peraturan dan merespons setiap kegiatan yang dianggap melanggar aturan dan membahayakan hutan.
Di Indonesia tahap kustodial ini ditandai dengan dibentuknya undang-undang yang mengatur tata kelola dan pemanfaatan kehutanan, seperti UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Beberapa tahun setelahnya, dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 dan PP No. 18 Tahun 1975 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Peraturan yang mengatur tentang kehutanan terus berkembang, pada tahun 1985 dikeluarkan PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Perkembangan peraturan perundang-undangan sampai akhirnya dikeluarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan harusnya sudah cukup untuk mengatur tata kelola kehutanan di Indonesia, namun terdapat beberapa hal janggal yang dapat diamati dari pola pembentukan undang-undang. Seperti UU yang mengatur mengenai perlindungan hutan baru dikeluarkan setelah HPH dan HPHH berlangsung dan terjadi eksploitasi hutan habis-habisan selama 15 tahun. Artinya, selama 15 tahun HPH dan HPHH beroperasi tanpa didukung instrumen hukum yang mengatur mengenai perlindungan hutan. Hal tersebut jugalah yang membuat eksploitasi sumber daya hutan yang tidak terkendali pada saat itu dapat terjadi. Akibatnya, kondisi hutan pada saat itu sangat memprihatinkan dan pemerintah memainkan peran penting dalam hal ini.
Dr. I Nyoman Nurjaya dalam tulisannya menyatakan “hukum pemerintahan cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, dan bahan pembekuan akses serta hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan”. Pernyataan tersebut seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi, dimana nyatanya saat eksploitasi hutan dilakukan secara habis-habisan banyak pihak yang dirugikan oleh perilaku orang-orang yang memiliki kekuasaan lebih. Pemerintah pun seperti tidak cukup membantu untuk mengatasi permasalahan ini, dimana pada era reformasi terjadi pembentukan UU No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan dimana secara ideologis sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967. Dalam kegiatan diskusi mengenai kelanjutan industri hasil hutan, salah satu dosen Departemen Hasil Hutan di Institut Pertanian Bogor, Ir. EG Togu Manurung, MS., Ph.D menyampaikan bahwa hal ini telah disampaikan berkali-kali tapi tidak pernah terjadi perubahan yang berarti. Kejadiannya terus berulang dengan pola yang sama yang membedakan hanya tokoh yang menjalankannya.
The Management Stage
Era Belanda sampai pada era reformasi masih terus dalam tahap perbaikan dan kustodian membentuk pola lingkaran berkelanjutan yang disebut lingkaran setan, tidak pernah menginjak fase manajemen karena tidak pernah tercapainya indikator seperti pengelolaan terencana, perbaikan panen dan lingkungan hutan terlindungi,dan pemanfaatan hutan non komersial. Pemerintah hanya memperbaharui peraturan pemerintah saja namun tidak terealisasinya dalam mendukung industri berbasis hutan. Seperti untuk mendorong pengembangan industri kehutanan berbasis hutan, pemerintah menetapkan kebijakan Outsourcing industri-industri primer hasil hutan menggunakan bahan baku kayu diameter kecil dari hutan tanaman (hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, dan hutan tanaman industri), berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 dan No. P11/09/Menhut-II/2009.
Namun upaya sistem tutupan berkelanjutan, terkadang dikenal sebagai sistem kayu pelindung atau hutan tutupan berkelanjutan, adalah sistem silvikultur klasik yang digunakan di Eropa tengah. Sistem ini mempertahankan tutupan hutan secara berkelanjutan dengan pohon-pohon yang ditebang ketika sudah mencapai ukuran yang dibutuhkan. Regenerasi alami tegakan hutan didorong melalui penebangan dan pembukaan kanopi secara hati-hati untuk memberikan cahaya yang cukup ke lantai hutan sehingga bibit dari pohon di atas dapat berkembang. Seiring waktu, pohon-pohon tua ditebang sehingga pohon-pohon muda dapat mencapai kanopi atas. Dengan metode ini, struktur tegakan yang bertingkat dan berumur banyak terbentuk dan tutupan hutan yang berkesinambungan dipertahankan untuk selamanya. upaya sistem ini cukup memberikan dampak baik pada perbaikan hutan alam produksi maupun hutan konservasi.
Pembangunan hutan wisata merupakan bagian dari konsep Revolusi Hijau yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa atau sekitar hutan, "Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.13 Tahun 2020 tentang Pengembangan Sarana dan Prasarana Wisata Alam Dalam Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.22 Tahun 2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung. Peraturan-peraturan tersebut hanyalah peraturan tertulis dan belum bisa dikatakan dalam tahap manajemen industri hasil hutan. Dikatakan bisa pada tahap manajemen yaitu ketika keberhasilannya indikator setelah melewati tahap Settlement stage dan kustodian stage.
Melihat perjalanan panjang dan kompleks industri kehutanan, jelas bahwa upaya perbaikan dan pelestarian memerlukan pendekatan yang lebih terpadu dan berkelanjutan. Meskipun telah banyak kebijakan yang diperkenalkan, perkembangan industri kehutanan hanya akan tercapai dengan komitmen nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan industri. Tantangan seperti regulasi yang tidak konsisten, eksploitasi berlebihan, dan ketidakefektifan implementasi harus dihadapi dengan strategi yang lebih efektif dan berorientasi pada jangka panjang. Dengan demikian, masa depan industri hasil hutan Indonesia dapat beralih dari siklus destruktif menjadi model pengelolaan yang mendukung keseimbangan ekologis, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan ekonomi.
Pada pembahasan selanjutnya, akan dipaparkan mengenai bagaimana hal-hal tersebut menjadi sebuah lingkaran yang membuat industri kehutanan seperti berjalan di tempat. Seperti kaset rusak yang terus diputar, layaknya dongeng yang terus diceritakan, industri kehutanan akan diam di tempat apabila tidak segera berbenah diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI