Mohon tunggu...
SSID by Himasiltan IPB
SSID by Himasiltan IPB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Akun ini dikelola oleh divisi Scientific and Strategic Issue Development dalam naungan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (Himasiltan) IPB periode 2023/2024

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pertamax Green: Menarik atau Gimik?

21 Maret 2024   16:15 Diperbarui: 21 Maret 2024   16:25 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walaupun begitu, optimisme dan harapan pengembangan biofuel dari mikroalga masih memerlukan banyak pengkajian. Kendala pengembangaan bahan bakar dari mikroalga dalam skala besar adalah diperlukan penyediaan bahan baku dengan kandungan minyak yang tinggi, namun kendalanya mikroalga memiliki kandungan air yang tinggi karena tumbuh pada media air (Ganesan et al. 2020). Kendatipun mikroalga masih didapati kendala, potensinya jauh lebih besar untuk bisa menggantikan penggunaan tebu sebagai substitusi energi fosil pada pembuatan Pertamax Green. Adapun optimisme pengembangan bahan bakar dari mikroalga sudah dilakukan oleh ExxonMobil yang bekerjasama dengan perusahaan Viridos. Mereka menargetkan untuk memproduksi minyak alga yang rendah emisi sebanyak 10.000 barrel per hari dan akan dikomersialisasi pada tahun 2025 (Viridos 2021). Oleh karenanya, penggunaan biomassa ketiga dari mikroalga ini dapat menjadi pertimbangan bagi PT Pertamina untuk mengganti tebu sebagai substitusi energi terbarukan pada bahan bakar Pertamax Green 92 maupun Pertamax Green 95.

Solusi

Berdasarkan uraian di atas apakah diluncurkannya Pertamax Green dapat menjadi solusi pengurangan emisi polusi sekaligus awal transisi energi? Ataukah hanya gimmick semata para Elit Global untuk meraup keuntungan dibalik kata "green" yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian masyarakat luas? Apakah adanya tambahan etanol berpengaruh nyata terhadap berkurangnya emisi gas karbon monoksida yang dikeluarkan? Bagaimana juga respon dan daya beli masyarakat di masa depan saat Pertamax Green resmi dijadikan sebagai pengganti bahan bakar sebelumnya? Berkaitan dengan diluncurkannya Pertamax Green ini, banyak pertanyaan yang muncul tentang keberlanjutannya sebagai upaya pemerintah melakukan transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Menanggapi hal tersebut, masih banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah agar program ini dapat terus berlanjut.

Solusi pertama yang dapat dilakukan adalah menemukan bahan baku substitusi bioetanol lain yang bukan berasal dari molase atau tetes tebu. BPH Migas menyebutkan bahwa konsumsi bahan bakar pertalite (RON 90) pada tahun 2023 mencapai 92% dari total kuota yang disiapkan pemerintah yaitu sebesar 32,56 juta kL. Sedangkan konsumsi gula di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 7,8 juta ton dimana sebanyak 4,6 ton merupakan hasil impor. Kebutuhan impor gula dikabarkan juga akan terus meningkat seiring berjalannya tahun hingga diperkirakan menjadi 9,81 juta ton di tahun 2030. Besarnya angka impor menunjukkan sedikitnya produksi gula yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, sehingga hal tersebut menjadi fokus pemerintah untuk terus meningkatkan produksi gula di Indonesia. Apalagi, bahan baku etanol campuran Pertamax Green berasal dari tetes tebu yang merupakan produk sampingan pembuatan gula yang dihasilkan industri dalam negeri. Paparan tersebut menyiratkan bahwa bioetanol dari tetes tebu tidak bisa dijadikan sumber utama campuran Pertamax Green jika kapasitas produksi gula di dalam negeri tidak ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukan sumber lain penghasil bioetanol yang berpotensi digunakan sebagai alternatif bioetanol tetes tebu seperti bahan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Solusi kedua adalah melakukan riset lebih lanjut agar komposisi bioetanol yang ditambahkan bisa lebih tinggi. Riset mengenai bioetanol yang berasal dari bahan baku selain tetes tebu juga diperlukan untuk menambah pasokan bahan baku. Setelah produksi bioetanol tetes telah memenuhi kapasitas yang dibutuhkan atau terdapat alternatif bioetanol yang berasal dari sumber lain, komposisi bioetanol bisa lebih banyak ditambahkan. Penambahan bioetanol dengan komposisi yang lebih tinggi perlu dilakukan secara perlahan dan bertahap. Tentunya dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas fungsi dari bahan bakar tersebut jika etanol yang ditambahkan lebih tinggi kadarnya. 

Harapannya hal tersebut bisa mencapai bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah, atau bahkan membuka jalan hingga masa transisi beralih sepenuhnya menuju energi yang ramah lingkungan. Solusi ketiga adalah metode dalam penyebarluasan informasi transisi energi yang akan dilakukan pemerintah. Isu-isu mengenai energi terbarukan atau ramah lingkungan masih jarang digaungkan pemerintah, padahal isu ini terbilang sangat penting mengingat energi yang dihasilkan bahan baku fosil akan habis di masa depan. Saat ini isu di sektor pangan masih menjadi fokus utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka diperlukan uji coba yang lebih merata dan penyebaran informasi yang jelas dan luas agar masyarakat siap menuju Indonesia yang lebih hijau di masa depan.

- Majalah Mandiri Riset Himasiltan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun