Mohon tunggu...
SSID by Himasiltan IPB
SSID by Himasiltan IPB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Akun ini dikelola oleh divisi Scientific and Strategic Issue Development dalam naungan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (Himasiltan) IPB periode 2023/2024

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pertamax Green: Menarik atau Gimik?

21 Maret 2024   16:15 Diperbarui: 21 Maret 2024   16:25 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai upaya mengatasi perubahan iklim, Indonesia diberikan mandat untuk ikut andil dalam pengurangan emisi. Indonesia menetapkan target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, dimana pada tahun 2025 Indonesia menargetkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23%. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi emisi adalah melakukan transisi energi yang semula menggunakan energi fosil menjadi EBT. Untuk membantu mensukseskan program pemerintah dan pencapaian target bauran EBT di tahun 2025, PT Pertamina merilis bahan bakar dengan tambahan bioetanol yang diberi nama Pertamax Green.

Saat ini Pertamax Green menjadi salah satu sorotan menarik di dunia otomotif. Pertama kali diluncurkan pada 24 Juni 2023 Pertamax Green langsung menjadi pembicaraan karena beberapa keunggulan menarik yang diberikan oleh bahan bakar dengan titel 'ramah lingkungan' yang dikeluarkan oleh PT Pertamina. Dengan harga yang cukup terjangkau sebesar Rp. 13.900,-/liter masyarakat sudah mendapatkan bahan bakar ramah lingkungan dengan nilai RON tinggi. Terdapat dua jenis pertamax green yang sudah dirilis oleh pertamina, yaitu Pertamax Green 92 dan Pertamax Green 95. Perbedaan keduanya terdapat pada nilai RON dan persentase bioetanol yang ditambahkan.

Pertamax Green 92 memiliki nilai RON 92 dengan komposisi 7% bioetanol dan 93% pertalite. Sedangkan Pertamax Green 95 menawarkan nilai RON yang lebih tinggi sebesar 95 dengan komposisi 5% bioetanol dan 95% pertalite. Nilai RON yang tinggi dapat memberikan keuntungan berupa peningkatan efisiensi penggunaan bahan bakar sehingga konsumsi bahan bakar menjadi lebih rendah.

Pertamax Green 95 menawarkan bahan bakar dengan emisi gas buang rendah karena mengandung 5% bioetanol. Bahan baku bioetanol yang digunakan untuk pembuatan pertamax green berasal dari tetes tebu atau molase yang diproduksi oleh PT Energi Agro Nusantara yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur. Tetes tebu yang digunakan berasal dari pengolahan pabrik gula. PT Energi Agro nusantara menghasilkan bioetanol dengan tingkat kemurnian 99.5% dengan standar fuel grade dan kapasitas produksi mencapai 100 kl/hari.

Dampak yang ditimbulkan 

Rencana transisi energi yang sedang berlangsung terlihat sangat menjanjikan, namun keberlangsungannya masih menjadi bahan pertanyaan. Pada tahun 2024 direncanakan pemerintah akan mengimpor 5.4 juta ton gula, dimana 4.77 juta ton gulanya digunakan untuk pemenuhan bahan baku industri. Hal tersebut cukup membuat miris, karena ternyata Indonesia masih membutuhkan pasokan gula yang besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut data National Sugar Summit Indonesia 2023 pada cnbc, produksi tebu tidak sebanding dengan konsumsi tebu di Indonesia. 

cnbc Indonesia
cnbc Indonesia
Selain itu, luas lahan perkebunan tebudi Indonesia dari tahun 2019-2022  menunjukan peningkatan luas yang signifikan. Namun, ironinya menurut data yang sama tingkt produktivitas gula dalam ton per hektar mengalami penurunan dari tahun 2022-2023. Hal ini memunculkan pertanyaan baru dengan produksi yang tidak sebanding dengan konsumsi, luas lahan tebu yang terus bertambah berpotensi memicu pengalih fungsian lahan hutan menjadi perkebunan, dan anomali produktivitas yang tidak sebanding dengan penambahan luas perkebunan tebu. 

cnbc Indonesia
cnbc Indonesia

cnbc Indonesia
cnbc Indonesia

Dari uraian tersebut, dapat dipertanyakan dan ditegaskan kembali keberlanjutan potensi molase sebagai bahan bakar dan mengingat molase merupakan roduk sampingan pengolahan gula yang saling berkaitan dengan produksi gulanya. 

Persentase bioetanol yang ditambahkan pada produk Pertamax Green juga mengundang pertanyaan tentang, apakah penambahan 5% bioetanol berpengaruh signifikan terhadap pengurangan emisi karbon? Mengingat persentase pertalite yang merupakan bahan bakar fosil masih jauh lebih tinggi, sedangkan bioetanol yang ditambahkan bahkan tidak mencapai 10%. Belum lagi, kelebihan dari tingginya nilai RON yang dimiliki Pertamax Green kemungkinan tidak dapat dirasakan oleh seluruh konsumen karena ada batasan pada rasio kompresi kompresi 11:1 sampai 12:1.

Permasalahan lain muncul, dimana penambahan lahan perkebunan tebu direncanakan akan dilakukan melalui perubahan peruntukkan kawasan hutan. Hal tersebut cukup bertolak belakang dengan tujuan utama penurunan emisi, dimana hutan yang merupakan salah satu sumber penyerap karbon kehadirannya malah dihilangkan eksistensinya digantikan dengan perkebunan tebu. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya yang tinggi dan bahan baku bioetanol bukan cuma berasal dari tebu. Selain itu, menurut data National Sugar Summit Indonesia 2023, 

Alternatif bioetanol dari generasi kedua

Konversi bahan pangan menjadi bioetanol di Eropa dan Amerika untuk penggunaan bahan energi diduga menjadi salah satu penyebab naiknya harga-harga pangan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan arah pengembangan bioetanol berbasis tetes tebu yang merupakan jenis bioetanol generasi pertama ke arah pengembangan bioetanol generasi kedua, yaitu bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang dapat diperoleh dari limbah-limbah industri. Bioetanol generasi kedua, merupakan bahan-bahan yang tidak termasuk bahan makanan. Hal tersebut menjadikan bioetanol generasi kedua tidak akan mengganggu ketahanan pangan, sehingga ketika tidak dimanfaatkan kembali akan menjadi sampah dari kegiatan masyarakat.

Pengembangan bioetanol dilakukan salah satunya menggunakan bahan berselulosa (lignoselulosa) seperti limbah industri kayu. Potongan kayu kecil seperti kayu sengon merupakan bahan berlignoselulosa yang berpotensi untuk menghasilkan bioetanol. Kayu sengon (Falcataria moluccana) mengandung 49,4% selulosa, 26,8% lignin, 15,6% pentosan, dan 0,6% abu. Pratama (2021) dalam penelitiannya menyatakan bioetanol dengan campuran limbah serbuk kayu sengon yang ditambahkan ragi menghasilkan rendemen sebesar 9,896%. Penelitian lain menghasilkan kadar rendemen bioetanol tertinggi sebesar 17,7% pada limbah kayu sengon ditambah konsentrasi tinggi substrat (Winarni 2015). Serta penelitian lainnya menghasilkan rendemen bioetanol sengon sebesar 5,39% dengan menggunakan metode simultaneous saccharification and fermentation (SSF) dan produksi etanol 1796 L/ha per tahun (Daud 2010).

Selain kayu sengon, kayu gmelina (Gmelina arborea) juga berpotensi untuk dijadikan bioetanol. Kayu gmelina mengandung 47.33% selulosa, 29,72% lignin, 17,42% pentosan, 0,95% abu, dan 0,33% silika, adapun penelitian menghasilkan rendemen bioetanol gmelina sebesar 10,02% dengan menggunakan metode SSF dan produksi etanol 3045,08 L/ha per tahun(Daud 2010).

Rendemen adalah persentase perbandingan antara volume etanol yang diperoleh dengan volume bahan bahan baku yang digunakan (Stenberg et al. 2000). Penelitian Daud (2010) mengatakan Rendemen etanol yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh bahan baku, dimana pada semua metode SSF kayu daun lebar seperti sengon dan gmelina cenderung menunjukkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan kayu pinus dan kelapa sawit. Kayu gmelina dan sengon sangat prospektif untuk dikembangkan untuk pembuatan bioetanol karena menghasilkan rendemen yang tinggi. Pemanfaatan biomassa jenis-jenis kayu tropis terutama sengon dan gmelina yang dengan jumlah produksi masing-masing sekitar 163.20 L/ton dan 238.49 L/ton dengan produktivitas sekitar 2991.97 dan 3407.59 L/ha per tahun menjadi bioetanol sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi krisis energi.

Alternatif bioetanol dari generasi ketiga

Salah satu solusi lainnya untuk mengganti tebu sebagai bahan baku bioetanol ialah beralih menggunakan biomassa generasi ketiga. Biomassa generasi ketiga disebut tidak akan bersaing dengan kebutuhan pangan manusia seperti pada biomassa generasi pertama yang menggunakan tanaman pangan sebagai bahan bakunya maupun terganggunya kelestarian hutan dan perubahan orientasi penggunaan lahan sebagai kelemahan dari biomassa kedua yang bahan bakunya berasal dari biomassa kayu (Sukarni 2020).

Biomassa generasi ketiga merupakan biomassa berbahan baku alga. Mikroalga merupakan organisme eukariotik yang dapat hidup di air tawar atau air garam, serta mampu melakukan fotosintesis untuk mengkonversi sinar matahari, air, dan karbondioksida menjadi biomassa (Singh et al. 2011). Beberapa alasan didasarkan pada hasil riset tentang keutamaan mikroalga sebagai sumber energi alternatif, diantaranya mikroalga memiliki produktivitas biomassa yang tinggi, sehingga keberlangsungan pasokan bahan baku sebagai sumber energi akan terjamin. Siklus pertumbuhan mikroalga relatif pendek dengan hasil biomassa yang dapat berlipat ganda, karena mikroalga menggandakan biomassanya antara 1-3 per 24 jam (Hu et al. 2008). Produksi biomassa mikroalga 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman darat (Li et al. 2008). Mikroalga kaya akan minyak, beberapa spesies mengandung lebih dari 60% minyak dari berat kering biomassanya (Chen et al. 2015). Mikroalga mengkonsumsi 2 g CO2 untuk menghasilkan 1 g biomassa. Dengan tingkat pertumbuhan 50 g/m2 per hari, maka untuk satu hektar kolam mikroalga akan menyerap hingga 1 ton CO2 per hari (Schenk et al. 2008). Dengan demikian, budidaya mikroalga akan menetralisir CO2 dari hasil pembakarannya.

Mikroalga memungkinkan untuk dikonversi menjadi berbagai jenis produk bahan bakar seperti biohidrogen (H2), biodiesel, bahan bakar jet, bensin, dan bioetanol (Kumar et al. 2020). Keseluruhan biomassa mikroalga juga dapat dimanfaatkan dalam produksi syngas dengan proses Fischer-Tropsch, produksi H2 dan metana (CH4) dengan hydrothermal liquefaction (HTL), produksi CH4 dengan anaerobic digestion, dan produksi listrik dengan pembakaran (Kumar et al. 2020).

Walaupun begitu, optimisme dan harapan pengembangan biofuel dari mikroalga masih memerlukan banyak pengkajian. Kendala pengembangaan bahan bakar dari mikroalga dalam skala besar adalah diperlukan penyediaan bahan baku dengan kandungan minyak yang tinggi, namun kendalanya mikroalga memiliki kandungan air yang tinggi karena tumbuh pada media air (Ganesan et al. 2020). Kendatipun mikroalga masih didapati kendala, potensinya jauh lebih besar untuk bisa menggantikan penggunaan tebu sebagai substitusi energi fosil pada pembuatan Pertamax Green. Adapun optimisme pengembangan bahan bakar dari mikroalga sudah dilakukan oleh ExxonMobil yang bekerjasama dengan perusahaan Viridos. Mereka menargetkan untuk memproduksi minyak alga yang rendah emisi sebanyak 10.000 barrel per hari dan akan dikomersialisasi pada tahun 2025 (Viridos 2021). Oleh karenanya, penggunaan biomassa ketiga dari mikroalga ini dapat menjadi pertimbangan bagi PT Pertamina untuk mengganti tebu sebagai substitusi energi terbarukan pada bahan bakar Pertamax Green 92 maupun Pertamax Green 95.

Solusi

Berdasarkan uraian di atas apakah diluncurkannya Pertamax Green dapat menjadi solusi pengurangan emisi polusi sekaligus awal transisi energi? Ataukah hanya gimmick semata para Elit Global untuk meraup keuntungan dibalik kata "green" yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian masyarakat luas? Apakah adanya tambahan etanol berpengaruh nyata terhadap berkurangnya emisi gas karbon monoksida yang dikeluarkan? Bagaimana juga respon dan daya beli masyarakat di masa depan saat Pertamax Green resmi dijadikan sebagai pengganti bahan bakar sebelumnya? Berkaitan dengan diluncurkannya Pertamax Green ini, banyak pertanyaan yang muncul tentang keberlanjutannya sebagai upaya pemerintah melakukan transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Menanggapi hal tersebut, masih banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah agar program ini dapat terus berlanjut.

Solusi pertama yang dapat dilakukan adalah menemukan bahan baku substitusi bioetanol lain yang bukan berasal dari molase atau tetes tebu. BPH Migas menyebutkan bahwa konsumsi bahan bakar pertalite (RON 90) pada tahun 2023 mencapai 92% dari total kuota yang disiapkan pemerintah yaitu sebesar 32,56 juta kL. Sedangkan konsumsi gula di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 7,8 juta ton dimana sebanyak 4,6 ton merupakan hasil impor. Kebutuhan impor gula dikabarkan juga akan terus meningkat seiring berjalannya tahun hingga diperkirakan menjadi 9,81 juta ton di tahun 2030. Besarnya angka impor menunjukkan sedikitnya produksi gula yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, sehingga hal tersebut menjadi fokus pemerintah untuk terus meningkatkan produksi gula di Indonesia. Apalagi, bahan baku etanol campuran Pertamax Green berasal dari tetes tebu yang merupakan produk sampingan pembuatan gula yang dihasilkan industri dalam negeri. Paparan tersebut menyiratkan bahwa bioetanol dari tetes tebu tidak bisa dijadikan sumber utama campuran Pertamax Green jika kapasitas produksi gula di dalam negeri tidak ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukan sumber lain penghasil bioetanol yang berpotensi digunakan sebagai alternatif bioetanol tetes tebu seperti bahan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Solusi kedua adalah melakukan riset lebih lanjut agar komposisi bioetanol yang ditambahkan bisa lebih tinggi. Riset mengenai bioetanol yang berasal dari bahan baku selain tetes tebu juga diperlukan untuk menambah pasokan bahan baku. Setelah produksi bioetanol tetes telah memenuhi kapasitas yang dibutuhkan atau terdapat alternatif bioetanol yang berasal dari sumber lain, komposisi bioetanol bisa lebih banyak ditambahkan. Penambahan bioetanol dengan komposisi yang lebih tinggi perlu dilakukan secara perlahan dan bertahap. Tentunya dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas fungsi dari bahan bakar tersebut jika etanol yang ditambahkan lebih tinggi kadarnya. 

Harapannya hal tersebut bisa mencapai bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah, atau bahkan membuka jalan hingga masa transisi beralih sepenuhnya menuju energi yang ramah lingkungan. Solusi ketiga adalah metode dalam penyebarluasan informasi transisi energi yang akan dilakukan pemerintah. Isu-isu mengenai energi terbarukan atau ramah lingkungan masih jarang digaungkan pemerintah, padahal isu ini terbilang sangat penting mengingat energi yang dihasilkan bahan baku fosil akan habis di masa depan. Saat ini isu di sektor pangan masih menjadi fokus utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka diperlukan uji coba yang lebih merata dan penyebaran informasi yang jelas dan luas agar masyarakat siap menuju Indonesia yang lebih hijau di masa depan.

- Majalah Mandiri Riset Himasiltan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun