UAS, PERSEKUSI, BALI Â DAN IRONI 10 DESEMBER
By. Fikri Jamil Lubay
Ustad Abdul Somad, LC, MA dari hari ke hari sedang dan semakin boomming dijagat NKRI. Ustad yang lebih dikenal dengan panggilan UAS saat ini memang semakin digandrungi oleh para "hauser" dalam mencari dan memperdalam aqidah ke-Islaman. Kecintaan dan kerinduan akan hadirnya figur ulama memang telah lama dinantikan dan ditunggu oleh ummat muslim Indonesia. Sosok UAS yang terkesan lugu, apa adanya dan "berisi" dalam memberikan tausyiah dan membahas hal-hal yang selama ini dirasakan mendasar (elementer) dalam permasalahan ummat seakan menjadi lebih ringan dan mudah dicerna oleh ummat ditangan seorang UAS.
UAS hadir sebagai penyejuk qolbu ditengah bentangan dan kegersangan oknum ustad-ustad bermasalah yang sering hadir dan nongol ditelevisi serta "bertarif" (baca : ustad amplop) yang sedang nge-tranddipergunjingkan.
UAS seakan ditakdirkan untuk hadir ketengah ummat oleh-Nya ketika Islam dengan Al Qur'an dan Al-Maidah 51 sedang menjadi pergunjingan mengikuti rontoknya nalar dan akal sehat ketika peristiwa 212 yang legendaris itu terjadi mengikuti pristiwa suksesi kepemimpinan di Ibukota Jakarta. Walaupun jauh sebelum itu UAS juga sudah mulai cukup di kenal dinegerinya.
Ketokohan seorang AUS ditanah melayu melabrak tradisi-tradisi tanah air yang selama ini "lebih dikuasai" oleh para ulama yang berasal dari pulau jawa atau paling tidak pernah belajar dan mondok (nyantri), berguru, kuliah di Pulau Jawa seakan menambah value lain dari seorang UAS.
Adalah menjadi sangat wajar ketika disaat yang bersamaan kehadiran UAS dirasakan "cukup" kalau tidak mau dikatakan "sangat" mengancam keberadaan orang-orang yang selama ini berada di zona nyamannya masing-masing, baik itu ummat maupun kalangan internal ummat Islam sendiri yang selama ini dikenal sering berbeda faham dan pendapat dengan UAS.
Puncaknya, tentu belum lekang dalam ingatan kita ketika peristiwa safari dakwah Beliau ke Pulau Dewata Bali pada Jum'at Malam, tanggal 8 Desember 2017 yang membuat kita sebagai ummat beragama menjadi miris karena kelakuan sebagian kecil sekitar seratusan orang dari mereka yang menamakan dirinya Komponen Rakyat Bali /KRB (sumber) menggeruduk Hotel Aston tempat UAS menginap. Â Dan, anehnya salah satu yang menolak kehadiran Ustad Somad itu adalah Pariyadi alias Gus Yadi, pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman Wahid 3 Bali (http://kbr.id/12-2017/disambut_demo__ustaz_abdul_somad_akhirnya_boleh_ceramah_di_bali/93918.htm).
UAS yang sudah ditunggu ribuan  ummat Islam yang datang sejak sore hari di Masjid An-Nur Jln. Diponegoro Sanglah Denpasar Bali menjadi tertahan di Hotel Aston dan dipaksa (diusir) meninggalkan (keluar) Bali bila tidak memenuhi syarat yang diajukan oleh mereka (UAS menyebut mereka dengan "Preman Nasi Bungkus"). Hal ini tentu terjadi karena gagal fahamnya (gagal literasi) dan gagal bertoleransinya mereka terhadap perbedaan.
Beruntung negosiasi yang alot dan difasilitasi oleh Kombes Hadi Purnomo (Kapolresta Denpasar) dapat memecah kebuntuan. Dan, beruntung juga UAS dengan keberanian dan keteguhan hatinya serta jaminan dari panitia dan aparat keamanan tidak jadi meninggalkan ummat Islam Bali yang telah merindukannya sejak lama.

***
MUI pun bergerak cepat, melalui Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi menyesalkan kejadian penghadangan terhadap Ustaz Abdul Somad, di Bali, Jumat, 8 Desember 2017. "Apa pun alasannya tindakan sekelompok orang itu tidak dibenarkan karena melanggar hak asasi dan termasuk bentuk persekusi yang dilarang oleh undang-undang", demikian Kata Beliau sebagaimana dikutip laman Viva.co.id.
Persekusi terhadap UAS tersebut tentu sangat bertentangan dengan marwah penegakan HAM itu sendiri yang disaat hampir bersamaan ditempat lain para tokoh-tokoh dan penggiat Hak Azazi Manusia (HAM) di Indonesia sedang berkumpul di Hotel Sunan Surakarta Kota Solo untuk memberikan dan menerima penghargaan terkait HAM sekaligus memperingati Hari HAM Sedunia ke-69 yang juga dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Menkumham Yasona Laoly. Acara tersebut bertajuk "Kerja Bersama Peduli Hak Asasi Manusia".


Namun membayangkan kejadiannya terjadi di Bali yang mengandalkan pariwisata sebagai icon PAD-nya sama sekali tidak pernah terbersit dibenak penulis. Karena Bali yang saya kenal dan dikenal diseluruh muka bumi selama ini adalah Bali dengan image keramah-tamahan penduduknya, sopan santun masyarakatnya, tinggi adat istiadatnya terutama cara memperlakukan para tamu, sehingga hampir sulit dicerna dengan nalar sehat persekusi terhadap UAS yang hanya ingin bersafari dakwah kepada ummatnya terjadi.
Karena tentu juga semua mafhum bisnis pariwisata adalah trusty business (bisnis kepercayaan). Bali pernah mengalami kesulitan memperbaiki citra dirinya ketika terjadi kasus Bom Bali I dan II, dan saat ini, Bali pun sedang mengalami kesulitan karena peristiwa alam dengan aktivnya Gunung Agung yang belum kunjung berhenti.
Boleh lah kita menggantang harap dan asa sambil terus berdo'a dan berusaha, semoga saja peristiwa UAS menjadi pristiwa yang terakhir dan peristiwa ini tidak berimbas negatif kepada Bali yang sedang mencoba bangkit karena sudah diklarifikasi oleh banyak komunitas bahwa mereka yang melakukan persekusi terhadap UAS tidak mewakili Rakyat Bali secara keseluruhan yang cinta damai dan cinta Kebinekaan. Dan, yang dituntut oleh UAS dan ummat terhadap negara juga cuma sedikit yaitu "lindungi para ulama". Tangkap dan adili para pelaku persekusi baik aktor intelektual maupun pelaku lapangannya itu dengan tidak melupakan islah menuju perdamaian sejati demi NKRI harga mati.
..."Mungkin kamu bukan saudaraku seakidah, tapi pasti saudaraku satu negara," tegas Ustaz Somad-...
Demikian, semoga bermanfaat. Salam dari desa...fikrijamillubay
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI