Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas yang Mulai Terkikis

2 Mei 2017   13:33 Diperbarui: 2 Mei 2017   13:43 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By. Fikri Jamil Lubay

Tanggal  1 (satu) Mei kemarin terjadi gegap gempita di seantero negeri. Para buruh yang sejatinya telah diliburkan oleh pemerintah (karena tanggal merah) memadati hampir diseluruh jalanan protokol ibukokota terutama ibukota provinsi-provinsi diseluruh Indonesia. Peringatan hari buruh yang biasa disebut May Day benar-benar menjadikan masyarakat buruh tumpah ruah dijalanan untuk sekedar melepas hasrat yang dibungkus dengan aspirasi. Isu ketidak adilan dan kesenjangan tetap menjadi isu utama dan hangat yang diangkat menjadi topik utama demonstran buruh di hari mereka itu.

Tapi lupakah kita dengan hari ini, tanggal 2 Mei 2017...?

Dahulu diwaktu  Sekolah Dasar,  di zaman Orde Baru (maaf kalau ada yang alergi dengan sebutan itu), seremonial Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) lebih gempita atau tidak kalah dengan hari-hari nasional yang lain termasuk hari buruh. Kegiatan-kegiatan positif lebih bergema dihari itu yang diperingati sebagai sebuah momentum bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Pendidikan sejatinya menjadi hak setiap Warga Negara Indonesia, namun ditahun ini sepertinya tetap jauh panggang dari api. Pendidikan gratis yang digadang-gadang dan didengung-dengungkan itu sejatinya juga kebanyakan hanya menjadi kamuflase elit yang memiliki uang untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Keterjangkauan pendidikan para masyarakat Indonesia  yang saat ini masih “mayoritas miskin” adalah bentuk ketimpangan yang sepertinya semenjana. Biaya pendidikan disekolah-sekolah negeri yang berlabel unggulan terutama tingkat SMAN/SMKN semakin membuat orang-orang miskin terpinggirkan. Mereka hanya bisa menikmati sekolah dipinggiran yang notabene-nya para guru-guru yang terpaksa (dipaksa) mengajar disekolah-sekolah itu. Bisa dibayangkan kualitas para lulusannya. Mereka masih bisa disebut beruntung menjadi buruh yang terpinggirkan diperkotaan (dunia kerja). Karena memang mutu lulusannya yang tidak memadai (unqualified).

Isu ketimpangan pengajar (pendidik) tidak hanya meliputi jumlah namun juga kualitas para pengajar tersebut. Sertifikasi yang diagungkan pun tidak menjadikan kualitas pendidikan menjadi baik. Sepertinya kualitas para pendidik tidak (belum) menjadi out put utama dari sertifikasi tetapi lebih kepada bagaimana penghasilan bisa bertambah dan kesejahteraan para pendidik membaik. Hampir tidak ditemukan lagi “guru-guru tanpa tanda jasa” yang melegenda itu. Tidak lagi juga terdengar kabarnya para “Oemar Bakri” mengayuh sepeda dengan untaian dan belaian keikhlasan yang menyebabkan ilmu-ilmu mudah ditransfer dan melekat dalam sanubari manusia terdidik penerus generasi bangsa.

Tulisan ini tentu tidak ingin melihat para guru menjadi “Oemar Bakri” dizaman itu. Tentu juga tulisan ini tidak ingin menjadikan dan menghakimi para guru tidak boleh kaya harta. Tentu juga tidak. Namun tulisan ini lebih kepada menggugah para pendidik dan anak negeri untuk lebih berempati dengan budaya lokal yang telah kita miliki sejak dulu agar bangsa ini tetap besar dan tetap bisa berkarakter, sebagaimana juga diamanatkan didalam revolusi mental Presiden Jokowi.

Kita sering disenangkan dengan angka-angka makro statistik yang sudah puluhan tahun menina bobokkan kita. Kita bangga dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi dan terus meningkat, namun disisi lain kita tidak memiliki rasa malu ketika masih banyak sekolah yang beralaskan tikar, berdinding bambu, beratap langit serta akses kesekolah yang sulit.

Isu-isa hangat, sentral dan mengisi ruang cermin pendidikan di negeri  ini sekarang banyak dan bebas berseliweran. Misalnya adalah banyaknya pelajar terlibat dan terjerat narkoba, mencuri, pemerkosaan, pergaulan bebas, geng motor, begal  dan bahkan penganiyaan serta pembunuhan. Isu hasil-hasil riset anak bangsa berseliweran dan diakui di luar negeri sana namun banyak hasil-hasil riset didalam negeri hanya menjadi penghias dan pemanis lemari serta tersusun dengan rapi dan alergi diterapkan. Isu jual beli ijazah palsu dan mereka menjadi pejabat serta mengelola negara. Isu guru menampar murid, guru dipolisikan oleh murid dan isu strategis lainnya yang terkait dengan pendidikan karakter dan budaya seperti hanya menjadi cerita dongeng dan santapan harian yang tidak pernah memberikan pembelajaran positif bagi anak negeri terutama para pengambil kebijakan dan para pendidik itu sendiri.

Film Laskar Pelangi adalah salah satu potret buram kurang berpihaknya Pemerintah dan instrumentasinya bagi dunia pendidikan. Program Indoenesia mengajar pun tentu tidak luput dan dimaksudkan  agar semua Warga Negara Indonesia memiliki akses ke dunia pendidikan yang layak.

Upaya untuk pencerahan bangsa melalui dunia pendidikan yang sudah dirintis oleh Ki Hajar Dewantara dengan semboyannya yang terkenal  Ing Ngarsa Sung Thulada, Ing Madya Mangun Karsa dan  Tut Wuri Handayani, dan tentu memberikan makna bahwa tidak mungkin membangun karakter bangsa tanpa membangun dunia pendidikan bersama instrumen dan atribusinya.

Amanat undang-undang agar keberpihakan anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD tentu tidak boleh dimaknai habis untuk sekedar melaksanakan kegiatan rutinitas dengan melupakan pengembangan dunia pendidikan. Upaya Presiden Jokowi dengan memecah Kementerian yang mengurusi pendidikan menjadi dua sudah barang tentu juga dimaksudkan agar keterjangkauan tangan-tangan aparat pemerintah lebih dalam hal proses dan pengendalian dunia pendidikan.

***

Satu hari nanti, kita tentu berharap hari buruh yang diperingati tepat sehari sebelum Hardiknas tidak lagi hanya akan membicarakan bagaimana kecil dan timpangnya upah buruh, namun juga bagaimana perbedaan upah didasari oleh kuatnya proses pencerahan dan karakter bangsa melalui dunia pendidikan. Hal ini diperlukan agar tidak ada lagi dikotomi terhadap buruh lokal dan pekerja migran terutama dari sisi upah dan kesempatan menduduki jabatan strategis, karena mereka memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan yang sama dan dalam level yang sama.

Satu hal yang sudah pasti dan seharusnya,  gema Hardiknas tidak sepantasnya digeser ke pinggir (terpinggirkan) karena oleh zaman. Walaupun sejatinya bagi sebagian orang, Hardiknas dan mungkin juga hari-hari besar nasional yang lain bisa saja dianggap hanya seremonial saja dan tidak perlu melakukan renungan apalagi menjadi ruang untuk berkontemplasi.

Semoga semua kita bisa berkontemplasi dan menjadikan Hardiknas sebagai momentum untuk bangkit dan merevolusi mental anak negeri. Jasa para guru (pendidik) hari ini tentu adalah cermin bangsa di masa depan.  So, kembali ke khittah lah Hari Pendidikan Nasional...!!!

Salam dari Prabumulih. FikriJamilLubay...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun