Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Irman Gusman, Lunturnya Keluhuran Adat Ketimuran

19 September 2016   13:22 Diperbarui: 19 September 2016   13:38 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irman Gusman. sumber foto ; pekanews.com


By. Fikri Jamil Lubay

Belum genap sebulan saya menulis di Kompasiana yang berjudul ‘Masihkah tersisa rasa malu untuk wong Sumsel?’ terkait dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT)  Bupati Yan Anton Ferdian, seorang Bupati Muda di Kabupaten Banyuasin. Kabupaten Banyu Asin merupakan Kabupaten yang kaya raya dengan Sumber Daya Alam yang melimpah namun rakyatnya banyak yang miskin bahkan beberapa daerah masih terisolir dan sulit dijangkau.

Peristiwa yang sama harus terjadi lagi di tengah malam (dinihari) hari sabtu kemarin (16 September 2016), disaat ummat muslim sedang mengerjakan sholat malam, lembaga anti rasuah itu menggelar OTT terhadap Irman Gusman (IG) sang Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama tiga orang lainnya.

IG yang selama ini dikenal santun, dingin, emosinya stabil dan stigma-stigma serta citra positif lainnya yang mewakili pejabat ‘melayu ketimuran’ yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan menjaga norma-norma Minangkabau yang terkenal dalam sejarah Republik ini seperti menjadi pesakitan dimalam itu.

Penyair besar, pemimpin besar, ulama besar bahkan perang Paderi yang terkenal itu sudah cukup mewakili betapa orang Minangkabau menjaga budaya mereka. Undang-Undang desa yang kekinian pun tetap mencantumkan dan mengistimewakan nama ‘nagari’  untuk menyebut dan memngabadikan  nama desa di Minangkabau.

Tokoh-tokoh seperti sang proklamator Bung Hatta, Buya Hamka, Agus Salim, Sutan Sjahrir dan lain-lain juga berasal dari Minangkabau. Bahkan dimasa awal republik ini berdiri pada saat Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948), Bukit Tinggi Sumatera Barat pun pernah menjadi penyelamat bangsa Indonesia yang diwakili oleh Syafrudin Prawiranegara dengan menjadi Presiden Pemerintahan  Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 207 hari untuk membuktikan bahwa kemerdekaan dan Bangsa Indonesia masih ada (eksis) disaat Ir. Soekarno, dkk harus ditangkap Belanda dan diasingkan.

Sumatera Barat (Minangkabau) seperti menjadi miniatur-nya Indonesia dengan  kemartabatannya yang luhur. Dan, karena takdir-Nya dari sanalah sang (Ketua) DPD Irman Gusman berasal. Tidak ada yang salah memang dengan Sumatera Barat, tapi lazimnya setiap kejadian penting baik itu baik maupun buruk, mau tidak mau, suka tidak suka Sumatera Barat yang tidak bersalah itu harus ikut terseret dan terhakimi dalam sejarah kelam Sang Pelaku sebagaimana juga terjadi ketika Akil Mochtar (Ketua KY) ditangkap KPK.

OTT yang dilakukan KPK terhadap IG pastinya bukan lah kejadian serba kebetulan apalagi dianalogikan banyak pihak dengan ‘jebakan’,  dan publik sangat percaya dengan itu.  Nominal uang yang juga ‘Cuma’ Rp 100 juta dalam OTT itu juga bukan menjadi indikator IG tidak boleh di OTT oleh KPK, karena suatu alasan bukan kelasnya IG sebagaimana disimpulkan banyak pihak, justru disitulah masalahnya ‘kecil saja diambil apalagi besar’.

Namun terpenting dari semuanya, sepertinya  perang terhadap koruptor ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan slogan dan hukuman ringan berbau manusiawi dan HAM semata, sebagaimana juga penanganan terhadap extra ordinary crime lainnya seperti narkoba dan terorisme.

Presiden Duterte diFilipina saat ini dan selanjutnya akan dikenal dan dikenang oleh sejarah dan dunia karena penanganan  yang dianggap kontroversial dan  agresif terhadap narkoba. Targetnya jelas yaitu 6 bulan kedepan Filipina bebas narkoba.

PM China Zhu Rong Ji juga jelas, “sediakan 100 peti jenazah untuk koruptor, 99 untuk para pejabatnya yang korup dan satu peti tersisa untuk sang PM Bila melakukan korupsi”.   Jadi, semua nya juga jelas, ‘berbuat dulu baru ngomong’.

Nah, bagaimana dengan di Indonesia...?

Di Indonesia terhadap penanganan masalah yang dikategorikan kejahatan luar biasa itu, sepertinya  cukup dan dianggap sakti mandraguna hanya dengan kata-kata dan slogan saja seperti kata ‘STOP’, ‘HINDARI’, ‘JAUHI’, ‘JANGAN LAKUKAN’, ‘MARI BERPERANG MELAWAN...’ dan slogan-slogan mainstraim lainnya yang dianggap dan terkesan lebih ‘santun’ serta mengusung kata ‘lebih manusiawi’ dan tidak melanggar HAM. Aksinya...?

Teringat peristiwa dua minggu yang lalu, menjelang lebaran Idul Adha,  hanya karena diduga mencuri kerbau saja ‘sang pelaku’ harus meregang nyawa mempertanggung jawabkan perbuatan yang belum tentu dilakukannya akibat dibakar massa yang beringas. Kalau pun itu dilakukannya pasti lah hanya untuk sesuap nasi, bukan untuk kaya raya apalagi berfoya-foya.

Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa massa bangsa ini sudah sangat sering begitu beringas dan sering main hakim sendiri..?

Jabawannya adalah korban sudah bergelimpangan dan berjatuhan, hukumannya tidak setimpal.  Keadilan tidak didapatkan. Rasa adil itu seperti sudah pergi jauh menjadi pelangi dan Warnanya tidak jelas lagi.

Pencuri kerbau, hari ini ditangkap besok sudah bebas. Bukan rahasia lagi hukuman di negeri ini hanya tajam ke bawah dan tumpul keatas. Negara sering tidak hadir sebagai juru adil dan pengadil yang adil. Kalau pun negara hadir, hanya untuk menyakiti dan melukai perasaan rakyat, seperti yang terjadi pada kasus sang senator Pak IG.

Penghakiman dini dan hujatan  publik terhadap IG yang begitu miring terdengar mungkin belum lah layak sambil menunggu proses hukum berikutnya. Azas pra duga tidak bersalah juga harus tetap dikedepankan. Namun publik terlanjur tergiring dengan opini selama ini bahwa OTT KPK belum pernah salah menangkap orang apalagi KPK sudah menetapkan IG sebagai tersangka.

Satu yang pasti dan kasat mata adalah, keluhuran budi pekerti dan tutur kata yang melekat kuat pada Pak IG tidak lah menjamin realisasi positif dari amanah yang diembannya serta diamanatkan khusus  oleh seluruh rakyat, dan  tidak hanya di Sumatera Barat tapi diseluruh bumi pertiwi.  Keluhuran itu seperti menjadi topeng dan cerminan dari “buruk muka cermin dibelah”.  

Keluhuran adat ketimuran itu seperti menjadi penutup liatnya tanah liat yang nanti akan menjadi pusara dan teman abadi diliang lahat sesuai dengan qada’ dan qadar-Nya. Keuzuran pengalaman jadi pemimpin juga ternyata tidak bisa menjadi role model bagi generasi selanjutnya,  selain menjadi cerita miris anak cucu akan lelaku para pejabat kebanyakan.

Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.

salam...

fikri jamil lubay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun