Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Irman Gusman, Lunturnya Keluhuran Adat Ketimuran

19 September 2016   13:22 Diperbarui: 19 September 2016   13:38 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irman Gusman. sumber foto ; pekanews.com

PM China Zhu Rong Ji juga jelas, “sediakan 100 peti jenazah untuk koruptor, 99 untuk para pejabatnya yang korup dan satu peti tersisa untuk sang PM Bila melakukan korupsi”.   Jadi, semua nya juga jelas, ‘berbuat dulu baru ngomong’.

Nah, bagaimana dengan di Indonesia...?

Di Indonesia terhadap penanganan masalah yang dikategorikan kejahatan luar biasa itu, sepertinya  cukup dan dianggap sakti mandraguna hanya dengan kata-kata dan slogan saja seperti kata ‘STOP’, ‘HINDARI’, ‘JAUHI’, ‘JANGAN LAKUKAN’, ‘MARI BERPERANG MELAWAN...’ dan slogan-slogan mainstraim lainnya yang dianggap dan terkesan lebih ‘santun’ serta mengusung kata ‘lebih manusiawi’ dan tidak melanggar HAM. Aksinya...?

Teringat peristiwa dua minggu yang lalu, menjelang lebaran Idul Adha,  hanya karena diduga mencuri kerbau saja ‘sang pelaku’ harus meregang nyawa mempertanggung jawabkan perbuatan yang belum tentu dilakukannya akibat dibakar massa yang beringas. Kalau pun itu dilakukannya pasti lah hanya untuk sesuap nasi, bukan untuk kaya raya apalagi berfoya-foya.

Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa massa bangsa ini sudah sangat sering begitu beringas dan sering main hakim sendiri..?

Jabawannya adalah korban sudah bergelimpangan dan berjatuhan, hukumannya tidak setimpal.  Keadilan tidak didapatkan. Rasa adil itu seperti sudah pergi jauh menjadi pelangi dan Warnanya tidak jelas lagi.

Pencuri kerbau, hari ini ditangkap besok sudah bebas. Bukan rahasia lagi hukuman di negeri ini hanya tajam ke bawah dan tumpul keatas. Negara sering tidak hadir sebagai juru adil dan pengadil yang adil. Kalau pun negara hadir, hanya untuk menyakiti dan melukai perasaan rakyat, seperti yang terjadi pada kasus sang senator Pak IG.

Penghakiman dini dan hujatan  publik terhadap IG yang begitu miring terdengar mungkin belum lah layak sambil menunggu proses hukum berikutnya. Azas pra duga tidak bersalah juga harus tetap dikedepankan. Namun publik terlanjur tergiring dengan opini selama ini bahwa OTT KPK belum pernah salah menangkap orang apalagi KPK sudah menetapkan IG sebagai tersangka.

Satu yang pasti dan kasat mata adalah, keluhuran budi pekerti dan tutur kata yang melekat kuat pada Pak IG tidak lah menjamin realisasi positif dari amanah yang diembannya serta diamanatkan khusus  oleh seluruh rakyat, dan  tidak hanya di Sumatera Barat tapi diseluruh bumi pertiwi.  Keluhuran itu seperti menjadi topeng dan cerminan dari “buruk muka cermin dibelah”.  

Keluhuran adat ketimuran itu seperti menjadi penutup liatnya tanah liat yang nanti akan menjadi pusara dan teman abadi diliang lahat sesuai dengan qada’ dan qadar-Nya. Keuzuran pengalaman jadi pemimpin juga ternyata tidak bisa menjadi role model bagi generasi selanjutnya,  selain menjadi cerita miris anak cucu akan lelaku para pejabat kebanyakan.

Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.

salam...

fikri jamil lubay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun