PM China Zhu Rong Ji juga jelas, “sediakan 100 peti jenazah untuk koruptor, 99 untuk para pejabatnya yang korup dan satu peti tersisa untuk sang PM Bila melakukan korupsi”. Jadi, semua nya juga jelas, ‘berbuat dulu baru ngomong’.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia...?
Di Indonesia terhadap penanganan masalah yang dikategorikan kejahatan luar biasa itu, sepertinya cukup dan dianggap sakti mandraguna hanya dengan kata-kata dan slogan saja seperti kata ‘STOP’, ‘HINDARI’, ‘JAUHI’, ‘JANGAN LAKUKAN’, ‘MARI BERPERANG MELAWAN...’ dan slogan-slogan mainstraim lainnya yang dianggap dan terkesan lebih ‘santun’ serta mengusung kata ‘lebih manusiawi’ dan tidak melanggar HAM. Aksinya...?
Teringat peristiwa dua minggu yang lalu, menjelang lebaran Idul Adha, hanya karena diduga mencuri kerbau saja ‘sang pelaku’ harus meregang nyawa mempertanggung jawabkan perbuatan yang belum tentu dilakukannya akibat dibakar massa yang beringas. Kalau pun itu dilakukannya pasti lah hanya untuk sesuap nasi, bukan untuk kaya raya apalagi berfoya-foya.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa massa bangsa ini sudah sangat sering begitu beringas dan sering main hakim sendiri..?
Jabawannya adalah korban sudah bergelimpangan dan berjatuhan, hukumannya tidak setimpal. Keadilan tidak didapatkan. Rasa adil itu seperti sudah pergi jauh menjadi pelangi dan Warnanya tidak jelas lagi.
Pencuri kerbau, hari ini ditangkap besok sudah bebas. Bukan rahasia lagi hukuman di negeri ini hanya tajam ke bawah dan tumpul keatas. Negara sering tidak hadir sebagai juru adil dan pengadil yang adil. Kalau pun negara hadir, hanya untuk menyakiti dan melukai perasaan rakyat, seperti yang terjadi pada kasus sang senator Pak IG.
Penghakiman dini dan hujatan publik terhadap IG yang begitu miring terdengar mungkin belum lah layak sambil menunggu proses hukum berikutnya. Azas pra duga tidak bersalah juga harus tetap dikedepankan. Namun publik terlanjur tergiring dengan opini selama ini bahwa OTT KPK belum pernah salah menangkap orang apalagi KPK sudah menetapkan IG sebagai tersangka.
Satu yang pasti dan kasat mata adalah, keluhuran budi pekerti dan tutur kata yang melekat kuat pada Pak IG tidak lah menjamin realisasi positif dari amanah yang diembannya serta diamanatkan khusus oleh seluruh rakyat, dan tidak hanya di Sumatera Barat tapi diseluruh bumi pertiwi. Keluhuran itu seperti menjadi topeng dan cerminan dari “buruk muka cermin dibelah”.
Keluhuran adat ketimuran itu seperti menjadi penutup liatnya tanah liat yang nanti akan menjadi pusara dan teman abadi diliang lahat sesuai dengan qada’ dan qadar-Nya. Keuzuran pengalaman jadi pemimpin juga ternyata tidak bisa menjadi role model bagi generasi selanjutnya, selain menjadi cerita miris anak cucu akan lelaku para pejabat kebanyakan.
Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.