Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jebakan Zona Nyaman

7 September 2016   18:34 Diperbarui: 7 September 2016   18:39 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keluar dari kepompong. foto dokpri

By. Fikri Jamil Lubay

Saya sudah betah kerja disini” begitu kata si Gundul disuatu pagi ketika diajak oleh Mang Ujang untuk pindah pekerjaan. Bujuk rayu Mang Ujang yang menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda tak kuasa membujuk si Gundul yang sudah sangat betah bekerja di Toko Kelontongan milik Koh Acong.

Mang Ujang tidak lah serta merta kehilangan akal agar adik bungsunya ini mau ikut dengannya bergerak sedikit saja kepinggiran kota untuk berhijrah sambil berlari meninggalkan pekerjaan sebelumnya, karena Mang Ujang tahu betul disebelah terminal sana banyak semut yang doyan dengan rencana bisnisnya... namun apalah daya... tetap saja bujuk rayu Mang Ujang tetap tidak mampu menembus tembok tebal sang adik bungsunya yang keras kepala dan mulai bikin sebal Mang Ujang.

Dalam lamunannya Mang Ujang teringat dengan peristiwa 15 tahun yang lalu yang menimpa dirinya sendiri. Waktu itu mungkin dia juga berada dalam suasana yang sama dengan adiknya sekarang. Waktu itu dia juga sudah sangat betah dengan gaji yang tetap dan memadai. Sekedar untuk sesuap nasi Dia tidak perlu membanting tulang untuk lelah bekerja... apalagi sampai mengemis. Pokoknya semua sudah dipenuhi oleh juragannya yang begitu baik terhadap dirinya dan keluarganya.

Namun waktu itu, entah dari mana, jiwa Mang Ujang begitu bergejolak seperti memberontak bahwa Dia bisa hidup lebih luar biasa dari kondisinya sekarang. Istihara pun dilakukan sebagai langkah awal. Langkah yang tadinya tidak begitu yakin saat ini malah menjadi sebuah energi keyakinan yang luar biasa dengan satu kesimpulan bahwa “Saya harus meninggalkan pekerjaan ini” seru Mang Ujang kepada Bik Ipah sang istri setianya.

Si Bibik terlihat hanya manggut dan sepertinya nunut saja sebagaimana kebiasaannya selama ini yang tahu betul seperti apa sikap Sang Suami. Kalau lah Mang Ujang sudah berkehendak mana ada yang bisa menahannya. Dan aneh serta uniknya, selalu saja keyakinan Mang Ujang menjadi kenyataan.

Diskusi disore berkabut itu, yang ditemani oleh secangkir kopi dan rebusan ubi kayu dengan topik “pindah kerja” itu sepertinya bukan terjadi antara sepasang suami istri namun lebih terlihat dan terdengar seperti diskusi para politisi kawakan seperti yang biasa tersaji ditivi-tivi itu.

Bik Ipah yang biasanya hanya terdiam akhirnya bangkit juga untuk memberikan saran dan pendapat. Dia yang selama ini manut saja, kali ini seperti blingsatan mendebat untuk meminta keyakinan lebih dari Mang ujang sebagai suami kepala keluarga.

Terdengar sayup santun Bik Ipah berujar, “Pa, Bukanlah Ombak dan badai yang mama takutkan, tapi jangan sampai kapal ini karam dipinggir dan tidak bisa sampai kedermaga dengan selamat”.... begitulah ujaran cinta seorang Bik Ipah mengingatkan suaminya.

Dengan keyakinan yang pasti dan ditambah dengan kesabaran yang luar biasa, akhirnya Bik Ipah mampu digoda juga oleh Mang Ujang sehingga semua keluarganya bisa melihat hasilnya setelah lima belas tahun dilalui oleh Mang Ujang dan Bik Ipah sekeluarga.

Penuh keyakinan dan keteguhan sebagai pribadi yang berkarakter dan berintegritas kuat menjadikan perjalan Mang Ujang dan Bik Ipah sukses seperti sekarang ini dan menjadi buah bibir semua orang.

****

“Ceplok..ceplok..ceplok...” tepukan bahu Bik Ipah membangunkan lamunan Mang Ujang yang sedari tadi terlihat seperti orang dungu yang sedang melongo, tatapan matanya jauh kedepan menyiratkan kelelahan berfikir yang kronis.

Ada apa bisik Bik Ipah...” sambil bergelayut manja menarik  Mang Ujang kedalam rumah karena diluar sudah gerimis dan nampak hujan deras akan turun dengan segera.

Ah..nggak ada apa-apa Ma...tapi....?”, “itu tu .... sigundul itu..sudah setengah mati meyakinkannya untuk hijrah saja dari pekerjaannya tetap tidak mau juga. Dia sepertinya sudah dihinggapi dan digoda oleh rasa nyaman ditempatnya bekerja”...sahut Mang Ujang...

Oh itu toch...wis ringan itu..” kata Bik Ipah seperti orang yang tidak berdosa... “sekarang waktunya bersabar, toh nanti si bungsu itu akan sadar juga bahwa masa depan itu bisa di cetak dan ditulisnya sendiri”.

****

Iya, Zona Nyaman (comfort zone). Dialog itu menunjukkan betapa sulitnya kita bila sudah hidup hangat dizona nyaman. Banyak dari kita akan segera “terpenjara” karena jebakan (trapping) zona nyaman itu.

Si empunya zona nyaman tidak hobi dengan “ tantangan” dan tidak berorientasi dengannya (challange oriented). Pemuja zona nyaman juga tidak mungkin melahirkan karya-karya besar (inovatif), karena mereka terpasung, terpenjara, menyusu dan bahkan sterkesan “menjilat” serta berdamai dengan zona nyaman.

Kita bisa menyaksikan Bangsa kita sendiri yang sempat dijajah lama oleh bangsa asing karena sebagian dari para leluhur suka hidup dizona nyaman, akibatnya kita mudah sekali diadu domba.

Lebih dari dua dekade yang lalu sejarah mencatat bahwa Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak dunia sehingga bergabung dengan negara produsen minyak (OPEC). Sekarang, Indonesia malah terperosok menjadi negara pengimpor minyak.

Dulu, Indonesia adalah negara yang berswasembada beras, sekarang beras Vietnam dan Thailand membanjiri Indonesia yang katanya gemah ripah loh jinawi...”tongkat dan kayu jadi tanaman”.

Dulu “orang bilang tanah kita tanah syurga”, sekarang bencana dimana-mana. Dulu orang menunggu pagi buta menyambut embun yang segar turun menyelinap diantara rerimbunan hutan belantara, sekarang semua menutup mata dan bermasker ria tidak berani keluar rumah karena turunnya kabut pekat dihutan Sumatera.

Karena itu kita harus bangkit meninggalkan segera jebakan zona nyaman yang sesungguhnya tidak nyaman itu.... semoga kita diridhoi-Nya dan tidak lah telat untuk mencoba...

Salam KOMPAL.

Fikri Jamil Lubay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun