Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masihkah Tersisa Rasa Malu untuk Wong Sumsel?

5 September 2016   18:43 Diperbarui: 6 September 2016   10:25 2584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menggeliatnya pembangunan di Sumatera Selatan sebagai provinsi terkaya kelima di Indonesia ini telah menimbulkan euforia bangga sebagai orang (wong) Sumatera Selatan (Sumsel). Banyak peran Jakarta yang mulai diambil alih oleh Palembang sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, yang juga mengindikasikan bahwa Wong Sumsel adalah miniatur kedigdayaan Kerajaan Sriwijaya yang sangat masyhur di zamannya.

Saat ini juga beberapa orang Sumsel menjadi orang 'kuat dan penting' di Jakarta, sebut saja Kapolri Jenderal Tito Karnavian, M. Yusuf yang menjadi komandan PPATK atau pun juga jauh sebelum itu ada nama Prof. Jimly Assiddiqi yang menjadi Ketua DKPP (Mantan Ketua MK yang sangat ditakuti).

Alm. Taufik Kiemas dan Refli Harun serta Alm. Seniman Amri Yahya, dan lain-lain juga menambah kebanggaan tersendiri sebagai Wong Sumsel. Ada juga Hatta Rajasa, Marzuki Alie dan lainnya bisa menjadi contoh bahwa Sumsel juga banyak menyumbang tokoh penting di tingkat nasional.

Gubernur Alex Noerdin termasuk juga gubernur sebelumnya telah mencoba membangun dan menanamkan image bangga sebagai Wong Sumsel untuk memudahkan naiknya martabat Sumsel tidak hanyak di kancah nasional, tetapi juga dunia.

Saat ini Sumsel yang mulai dikenal karena banyak event nasional, internasional bahkan dunia (terkhusus kegiatan olah raga) seperti PON 2004, Sea Games, Islamic Solidarity Games (ISG), dan insya Allah tahun 2018 mendatang Asian Games pun dihadirkan ke Bumi Sriwijaya sebagai motivator sekaligus media pemersatu daerah yang dihuni oleh beragam suku, bahasa dan budaya dalam bingkai Sumatera Selatan.

Rakyat Sumsel yang dahulu dikenal dengan banyak stigma negatif seperti 'pisau d ipinggang' atau pun juga 'senggol basah', 'copet pasar 16' bahkan beberapa dari orang Sumsel sangat terkenal di luar negeri sebagai 'duta (maling)'. Bahkan ada di beberapa daerah sempat mendapatkan julukan-julukan 'merakyat' seperti 'mati dem asal ngetop (biar mati asal terkenal)' dan julukan negatif lainnya.

Saat ini hampir semua julukan itu dengan sendirinya mulai pudar dan hilang dari permukaan Bumi Sriwijaya yang sedang menggeliat bangkit. Jalan tol mulai dibangun, LRT mulai bisa menampakkan kegagahannya di Kota Palembang.

Kawasan Jakabaring yang kurang lebih 15 tahun lampau masih sebuah kawasan rawa-rawa, tempat yang berlumpur dan memancing ikan air tawar seperti gabus, betok, sepat, lele dan lain-lain. Kawasan yang juga terkenal dengan kerawanan serta kejahatan para begal, saat ini telah disulap menjadi kawasan yang begitu megah dan enak dipandang mata terutama di malam hari. Sekarang pun kawasan Jakabaring yang dikenal dengan Jakabaring Sport City (JSC) telah mendunia mewakili 'keangkuhan' dan 'martabat' Sumatera Selatan.

Fly over sekarang sudah berdiri megah di tengah Kota Palembang. Under Pass pun sudah hadir menghiasi jalanan Palembang sebagai instrumentasi untuk mencegah kemacetan Palembang di masa depan. Jembatan Musi pun saat ini sedang dibangun sampai Jembatan Musi VI. Hotel berbintang dan pusat perbelanjaan tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Benar-benar Palembang sebagai icon Sumatera Selatan telah berubah menjadi kota 'unbelievable city' bila melihat APBD Sumatera Selatan yang semakin menyusut, berada di kisaran 6-7 trilyun rupiah (bandingkan dengan DKI yang lebih dari 60 trilyun rupiah).

Indonesia Street Festival yang digelar baru-baru ini oleh Kementerian Pariwisata di Bukit Bintang Malaysia pada September 2016 pun tidak sedikit mengangkat budaya Sumsel khususnya Palembang untuk mewakili Indonesia dengan segudang cerita dan kebanggaannya. Palembang benar-benar mulai 'menjual'. Mata Indonesia bersama dunia, setapak demi setapak telah mulai terbuka dan melirik Sumatera Selatan.

Namun, sepertinya kebanggaan itu menjadi semu kalau tidak mau disebut sia-sia ketika berbagai masalah terutama kasus korupsi membelit beberapa Kepala Daerah (bupati/wali kota) di Sumatra Selatan. Masih segar dalam ingatan, bagaimana masyarakat Sumatera Selatan disuguhkan dengan penangkapan Fahri Azhari (Bupati Musi Banyuasin) beserta istrinya dan beberapa kepala SKPD, Kontraktor dan Anggota DPRD Muba oleh KPK.

Minggu siang tanggal 4 September 2016, menjelang sholat dhuhur. Perasaan itu kembali tercabik dan begitu melukai perasaan masyarakat tidak hanya di Kabupaten Banyuasin saja tetapi juga masyarakat Sumatera Selatan secara menyeluruh, ketika kembali lembaga anti rasuah (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Yan Anton Ferdian bersama empat orang lainnya.

Bupati Yan Anton Ferdian yang masih muda dan enerjik yang memerintah sejak tiga tahun yang lalu menggantikan ayahnya Amiruddin Inoed sebagai bupati pertama hasil pemilihan langsung di Kabupaten Banyuasin. Kabupaten Banyuasin kebetulan juga merupakan DOB dari Kabupaten Induk Musi Banyuasin yang bupatinya juga kebetulan sudah ditangkap KPK terlebih dahulu seperti yang disampaikan di atas.

Kabupaten Banyuasin merupakan wilayah yang kaya raya. Sebagian wilayahnya bahkan mengelilingi Kota Palembang sampai ke seberang hulu. Di kabupaten ini juga terdapat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-api yang terkenal itu. Industri pun mulai tumbuh di mana-mana terutama di wilayah Banyuasin yang berada di seputaran Kota Palembang.

Sengatan petir Yan Anton Ferdian itu seperti entakan yang membuat masyarakat terhenyak bahwa seluruh kepala daerah yang ada di Sumatera Selatan harus siaga satu. Bahwa pembangunan infrastruktur yang begitu mercusuar dan tidak diimbangi dengan pembangunan SDM yang cerdas dan berintegritas tinggi tidak bisa menimbulkan revolusi mental yang diharapkan dan digaungkan di era Presiden Jokowi.

Pemilihan kepala daerah langsung terkhusus di Sumatera Selatan terbukti tidak memberikan jaminan mendapatkan pemimpin yang tidak hanya pro rakyat tetapi juga berintegritas tinggi. Politisasi revolusi mental hanya akan menjadikan pemimpin itu jauh panggang dari api.

Bupati Yan Anton Ferdian seperti melengkapi kisah para Kepala Daerah (bupati/wali kota) di Sumatera Selatan yang lebih dahulu berurusan dengan KPK dan aparat penegak hukum lainnya baik yang tersandung masalah korupsi maupun masalah-masalah lainnya. Tentu saja praduga tidak bersalah harus tetap dipegang teguh dan dikedepankan dalam menghadapi kasus yang membelit Yan Anton Ferdian.

Faktanya sudah terjadi, yang tersisa hanya harapan baru untuk tidak banyak membuang muka menghapus rasa malu sebagai warga Sumatera Selatan tetapi juga harus mampu menjadikan momen ini sebagai trigger yang kontemplatif bagi pemerintah dan masyarakat Sumatera Selatan.

Sangat perlu juga dicatat bahwa Sumatera Selatan tidak hanya Palembang tetapi masih ada 16 kabupaten/kota lainnya yang membutuhkan perhatian yang sama untuk membangkitkan kebanggaan yang sama dengan Kota Palembang yang ikonik.

Semoga rasa malu ini menjadi energi pembeda untuk segera bangkit mengurus rasa dan menyongsong sang fajar yang sudah jauh terbit...amiin

Salam dari Prabumulih untuk Sumatera Selatan bangga...

By. Fikri Jamil Lubay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun