Pra duga ganti menteri ganti kebijakan sepertinya selalu menggejala disetiap pergantian pimpinan lembaga selevel menteri. Pernyataan Muhadjir sebagai pengganti Menteri Anies yang akan melanjutkan program Menteri Anies pun seperti menjadi duri malapetaka akan kekhawatiran mengekor dan tidak inovatif dan kreatif sehingga perlu ada kebijakan baru yang ekstrim untuk mengingatkan kepada publik bahwa sudah ada pengganti Menteri Anies yaitu Pak Muhadjir.
Pergantian yang belum genap satu bulan itu pun membuat publik terhenyak sekaligus kaget dengan kebijakan “baru” ala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menggenapkan hari-hari para murid Sekolah dasar dan menengah untuk tetap berada disekolah yang disosialisasikan sebagai program “full day school”.
Pak Menteri Muhadjir yang terhormat, perlu diingat bahwa seluruh perubahan terutama barang yang dianggap dan didefinisikan “baru” akan selalu menimbulkan reaksi yang beraneka ragam dari para user terutama pengamat yang terkadang justru tidak menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Kaget, heran, denial, wait and see serta supportive sesungguhnya hanyalah gradasi mindset (pola fikir) dari perubahaan itu sendiri. Namun, yang terpenting adalah bagaimana upaya me-maintaince agar perubahan atau barang baru tersebut bisa diterima oleh akal sehat dan tidak menjadi momok yang menakutkan.
Pak Menteri, bapak sudah berhasil men-take over kebijakan yang telah dikeluarkan oleh seorang yang masih dirindukan oleh banyak orang yaitu Bpk. Anies Baswedan. Masyarakat Indonesia diakui mulai merasakan kehadiran seorang Muhadjir hanya dalam waktu singkat. Promo ala Bapak dengan gayanya sendiri insya allah merupakan cerminan keseriusan untuk mereformasi dunia pendidikan terutama pendidikan dasar agar lebih berkarakter.
Menteri Anies sudah meletakkan sebuah pola pendidikan dasar yang membuat siswa sedikit lebih menggigit dan lebih kompetitif dengan tidak mengesampingkan bahwa anak-anak diusia pendidikan dasar tetap butuh bermain sesuai dengan tumbuh kembangnya sendiri. Menteri Anies juga telah mengajarkan bagaimana seorang guru harus berkomunikasi dengan anak-anak yang masih berusia emas untuk ditempa menjadi generasi emas. Karakter yang mulai tertanam itu mudah-mudahan mulai bisa menjadi basis dalam penerapan program yang menurut Wapres JK adalah implementasi dari nawacita-nya Presiden Joko Widodo.
Full Day School akan membuat anak SD dan SMP menghabiskan waktu seharian penuh disekolah. Sesuatu yang dirasakan baru oleh anak-anak yang tidak terbiasa menghabiskan waktunya (walaupun ini juga bukan barang baru, karena sudah banyak sekolah yang menerapkannya terutama sekolah islam terpadu). Namun yang lebih parah mungkin bukan anaknya saja yang terasa full day school adalah momok akan tetapi yang juga perlu diperhitungkan adalah gurunya yang akan lebih jenuh lagi.
Penulis mencoba berurun-rembuk (berfikir) sepertinya ada tiga persiapan penting yang dibutuhkan untuk keberhasilan dalam penerapan full day school yaitu (1) guru / tenaga pendidik; dan (2) Murid; serta (3) Sarana dan Prasarana pendukung. Kita coba bedah satu per satu persiapan penting itu seperti dibawah ini.
PARA GURU HARUS MENJADI PRIBADI YANG DAPAT DIGUGU DAN DITIRU
Mudah-mudahan tidak ada lagi istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), yang dulu sempat populer dan sempat dipelesetkan sebagai “Catat Buku Sampai Abis”. “CBSA” saat itu hanya sekedar dijadikan alat oleh guru untuk menghabiskan jam pelajaran. Terus gurunya pada kemana...?, murid didalam kelas dan para guru pada keliaran di pasar, ada di loket PLN, ada yang mengantar suami/istri serta ada yang menggelar dagangan (jualan) serta juga kreditan. Sehingga full day school sangat menuntut kreatifitas dan inovasi dari seorang guru (tenaga pendidik).
Pertanyaannya adalah “apakah masih ada guru yang berfikiran demikian...?” insya allah masih banyak guru yang memiliki inovasi dan kreatifitas. Perlu diingat bahwa inovasi dan kreatifitas itu membutuhkan “ruang” dan justifikasi serta upaya yang keras dari para pengambil kebijakan yang berbeda dengan bingkai (figura) pendidikan yang ada saat ini. Ini juga tidak perlu menjadi momok karena modal awal yang telah ditanamkan selama Menteri Anies menjabat bisa menjadi indikator awal untuk perbaikan, pembenahan dan penyesuaian termasuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Sertifikasi guru yang ada sekarang juga sangat perlu ditinjau ulang dan lebih selektif lagi. Baik itu nominal rupiahnya maupun mekanisme pemberian sertifikasi itu sendiri. Kompetisi yang sehat antar guru faktanya saat ini ternyata masih bertumpu pada budaya reward dan punishment,belum berbasis kepada sebuah kesadaran (karakter/integritas) untuk menjadi pendidik yang bisa digugu dan ditiru. Saat ini tidak jarang juga masih terdegar suara miring dan dipenuhi keinginan para oknum guru untuk memperoleh kemudahan dalam sertifikasi.