Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Legenda Ular Raksasa Gludai di Danau Kibekan

7 Juni 2016   14:08 Diperbarui: 7 Juni 2016   14:15 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Fikri Jamil Lubay

Bukan hanya Loch Ness (Danau Ness) yang berada didataran tinggi Skotlandia saja yang punya legenda kemunculan hewan purba besar yang biasa disebut dengan Monster Ness atau Nessieyang menjadi perdebatan bertahun-tahun dengan berbagai kemungkinan teori konfrontatif dan anti teori yang berkembang dan menjad anti tesis dari perkembangan suatu teori yang majemuk, namun Indonesia juga kaya dengan banyak legenda yang “bisa” diuji kebenarannya.

Salah satu cerita rakyat yang melegenda sungguh banyak dimiliki di Desa Kami Desa Gunung Raja Lubai yang bisa memberikan sebuah ilustrasi dan deskripsi yang demikian kayanya Bumi Pertiwi ini yang tidak pernah lekang dimakan zaman.

***

Desa Gunung Raja lubai adalah sebuah desa di Kecamatan Lubai  (dahulu Kecamatan Rambang Lubai dan termasuk Marga Lubai Suku I). Desa ini terletak di Kabupaten Kuara Enim, namun jaraknya cukup jauh dari Ibukota Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.

Desa ini lebih dekat jaraknya ke Kota Prabumulih, bahkan juga terasa lebih dekat ke Ibukota Provinsi Sumatera Selatan di Palembang. Desa Gunung Raja Lubai yang sejuk nan asri menyimpan banyak kenangan dan kehangatan serta menyimpan juga banyak cerita rakyat yang melegenda.

Kehidupan ekonomi masyarakatnya ditopang oleh hasil pertanian dan perkebunan karet yang dikelola secara tradisional oleh rakyat. Alam desa ini masih terasa sejuk dan juga masih terasa bebas. Alam yang membentang itu di apit oleh perkebunan karet milik rakyat dan perkebunan sawit milik berbagai perusahaan seperti PT. Bumi Sawit Permai. Disisi Barat dari Desa ini dialiri oleh sebuah sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakatnya yang disebut dengan sungai lubai.

Ditengah-tengah Desa Gunung Raja lubai terdapat sebuah danau yang melegenda ditengah masyarakat Gunung Raja yang bernama “Danau Kibekan”. Asal muasal dari danau kibekan ini berdasarkan cerita yang turun-temurun diterima oleh penduduka desa yaitu berasal dari kuatnya ikatan gotong royong yang menjadi ciri khas dan budaya masyarakat desa kebanyakan.

Pada saat pembangunan jalan desa dizaman Belanda dulu dilakukan kerja rodi yang melibatkan seluruh penduduk desa. Jalan yang dibuat dan akan dilalui itu merupakan rawa berlumpur. Jalan itu dibuat dengan tujuan memudahkan Belanda untuk mengevakuasi pasukan serta untuk melakukan serangan ke Kota Prabumulih sekaligus memudahkan akses Belanda untuk membawa hasil-hasil perkebunan rakyat.

Dahulu jalan desa terletak disisi sungai lubai dengan transportasi utamanya adalah perahu yang menelusuri aliran sungai lubai.  Seiring dengan perkembangan zaman dan mulai dikenalnya alat transportasi darat serta dibangunnya sebuah stasiun kereta api didesa sebelah (Pagar Gunung dan Kota Baru) maka akses jalan juga harus dipindahkan.

Pemindahan akses jalan itu menyisakan rasa pilu dan banyak memakan jiwa dan raga penduduk desa. Setiap penduduk desa harus membawa tanah paling sedikit satu orang satu kubik yang dalam bahasa desa lebih mudah dilafalkan dengan “kibek”. Maka bahu membahu lah penduduk desa Gunung Raja untuk mulai membangun jalan desa.

Banyaknya tanah yang dibutuhkan untuk menimbun jalan desa itu lah yang meninggalkan cekungan yang dalam dan tidak pernah kering walaupun musim kemarau panjang terjadi. Dan sekarang cekungan yang dalamnya kurang lebih 5 – 10 meter itu disebut dengan “danau kibekan”.

Penduduk pun mulai lega, rawa-rawa yang telah tertutup jalan itu selesai bersamaan pada saat musim kemarau tiba. Aliran sungai yang mulai menyusut menyebabkan masyarakat mulai mengalihkan transportasi sungai ke darat dan melalui jalanan yang telah dibuat oleh rakyat desa.

Belanda begitu senang dan mengadakan pesta rakyat guna menyambut penggunaan jalan desa itu. Mobil-mobil angkutan pasukan Belanda yang didusun disebut dengan Mobil Eskimal (Kepala Betok) berjejeran ditengah desa.

*****

Tidak lama musim kemarau pun berganti...

Rintik-rintik hujan mulai menetes ke bumi... suara kilat mulai menyambar, suara petir pun menggelegar (di desa kami dikenal dengan “petir pemecah kemarau”). Kerasnya suara petir itu menyurutkan langkah para penduduk desa dan membuat mereka untuk tetap berada didalam rumah.

Hujan yang terjadi hampir semalaman itu pun mulai reda... penduduk yang tadinya dilanda rasa takut, selepas subuh dipagi buta itu mulai berani menampakkan batang hidungnya... semuanya berteriak bersamaan... “banjir.., banjir..., banjir”.

Sahut-sahutan suara penduduk itu memecah suasana hening dipagi buta itu. Rumah-rumah panggung yang berada diseputaran cekungan hasil galian itu hampir semuanya dijangkau air.

Rasa cemas begitu melanda penduduk desa... pada saat itu keluar lah seorang pemuda gagah nan alim yang menjadi panutan banyak penduduk desa terutama para kaum hawanya.

Dengan tenang sosok pemuda elok itu turun dari rumahnya yang sekarang posisinya mungkin diseputaran Mesjid Nur Hidayah. Dia mengambil perahu yang baru dibuat dan diikatkan dibawah rumahnya.

Pemuda itu dengan kalem menyambangi rumah penduduk satu per satu dan menitipkan satu pesan yaitu “nanti malam ba’da maghrib kita berkumpul di mesjid didekat sungai lubai yang kebetulan tidak digenangi air”. Dengan sabar, satu per satu rumah penduduk pun disambangi olehnya dan menyampaikan pesan yang sama.

****

Maghrib pun datang menjelang. Pemuda gagah itu telah berada di mesjid dengan melantunkan suara adzan yang terdengar merdu ke seluruh pelosok desa walau pun belum ada yang namanya microphone. Penduduk pun berdatangan sesuai dengan permintaan pemuda itu.

Tua-muda, besar-kecil, anak-anak atau pun sudah dewasa, lelaki-perempuan. Sering sholat atau pun bolong-bolong sholatnya. Semuanya berkumpul.  Sholat maghrib berjamaah pun dilakukan dengan khusuk. Sebagian jamaah yang lain nampak tetap berbisik didalam sholatnya.

Selesai sholat maghrib, sang pemuda itu lalu berdiri....

Seperti biasa... memberikan salam dan membuka pembicaraan... dia mulai bicara...

Saya mau bertanya...? boleh...? ” kata pemuda itu dengan santun.

Boleh...” sahut penduduk dengan serentak.

Apakah kita sebelumnya pernah kebanjiran” sahut pemuda itu.

Tidak..” dijawab oleh penduduk.

Saya tanya lagi... apa penyebabnya...?” kata pemuda yang mulai nampak tidak lagi terlihat lembut itu.

Para penduduk pun tidak ada yang bisa menjawab, semuanya saling berpandangan dan saling melirik bahkan terkesan saling melotot.

Pemuda itu pun menyela sambil berujar “penyebab banjir itu adalah karena kita telah menghancurkan “rumah leluhur” kita yang tanahnya kita gali untuk jalan”.

Semua penduduk pun dibuat terkejut oleh pemuda yang mereka segani itu. Lalu ditengah kebingungan salah seorang penduduk itu memberanikan diri untuk bertanya...”terus apa yang harus kita lakukan, tidak mungkin tanahnya kembali kita ambil dari jalan dan menimbun cekungan yang sudah menyerupai danau itu

Pemuda perkasa itu lalu duduk dan sambil manggut-manggut, tangannya yang kekar mengelus janggut yang menggelantung sampai ke pusarnya. Lalu dia pun merebahkan badannya ke dinding mesjid. Suasana begitu hening.

Pemuda itu pun bergumam dengan suara yang gemetar... “kita cuma punya satu cara agar para leluhur itu tidak marah, yaitu mengeringkan air yang ada didalam cekungan itu dan waktunya sangat singkat, bayangkan saja kalau malam ini hujan deras turun lagi, pasti kita semua akan tenggelam”.

Tapi bagaimana caranya...?” teriak salah satu penduduk desa. “Menimba, tidak mungkin” sahut penduduk lainnya. Suara hiruk pikuk mulai terdengar. Bisik-bisik itupun menjadi suara keras yang sulit dikendalikan...

Kita harus menggali selokan malam ini menuju sungai...” ujar pemuda itu lagi.

“tidak mungkin wahai panutan kami, jaraknya sangat lah jauh...mustahil kita gali dalam waktu satu malam” sahut seorang penduduk.

Sang pemuda gagah itu kemudian melompat ketengah kerumunan suara sambil berujar... “kalau begitu,harus ada yang ditumbalkan, harus ada yang dikorbankan” teriak pemuda itu.

Suasana begitu mencekam, sang kakek memeluk cucunya, para suami pun mencari anak dan istri serta kerabatnya. Semua saling toleh dan semuanya bersepakat tidak ada yang mau menjadi tumbal.

Pemuda gagah yang tenang itu berjalan ke sisi mimbar.. helaan nafas panjang terdengar. Suasana kembali hening.. dia pun berujar... “kalau besok ada selokan yang mengalir panjang dari cekungan ke sungai lubai maka kalian tidak usah lagi mencari aku”.

...dan bila kalian melihat seekor ular yang panjang ditengah cekungan itu juga jangan lah dibunuh” pinta pemuda itu lagi.

sekarang saya meminta kepada semua untuk berdo’a. Jangan ada yang meninggalkan mesjid sebab sebentar lagi hujan akan turun sangat deras” sahut pemuda itu.

****

Benar saja, gerimis mulai datang dan gemericik air mulai terdengar keras. Suara kilat seperti semalam sebelumnya pun terjadi lagi. Hujan turun dengan lebatnya. Semua penduduk yang sedang menunaikan sholat isya’ dibuat khawatir. Sosok sang pemuda yang sedang menjadi imam sholat itu nampak tetap begitu tenang.

Sholat pun selesai... suara menggelegar di luar mesjid terdengar semakin keras. Dan sang pemuda itu kemudian mengambil perahunya.

Sesuai dengan amanat sang pemuda, tidak satu pun penduduk yang berani keluar dari mesjid sambil menunggu sang pemuda kembali.

Malam pun mulai menanjak naik, air yang tadinya masih jauh dibawah mesjid. Samar-samar mulai ada dibibir mesjid. Para lelaki desa itu beberapa mulai melihat keluar. Kilatan cayaha petir menyibakkan sebuah pemandangan yang menunjukkan rumah-rumah penduduk beberapa sudah tersisa atapnya saja.

Mereka pun dilanda ketakutan yang sangat... hingga pada satu waktu sebuah kilatan cahaya menyambar keras ke depan teras mesjid dan mengenai sebuah benda yang belum jelas terlihat. Benda itu seperti terbang ke udara dan terhempas kembali ke depan mesjid yang berair dalam posisi terbalik dan sebagian terpecah, bersamaan dengan itu terdengar suara pekikan “allahu akbar”. Kerasnya suara sambaran petir dan teriakan itu terdengar begitu memilukan.

Tidak satu pun penduduk yang berani sekedar untuk melihat kejadian diluar. Air pun sudah menggenangi mesjid itu. Namun sesuatu yang luar biasa terjadi. Perlahan-perlahan air itu turun dan mulai meninggalkan mesjid. Subuh pun menjelang.. suasana yang mencekam semalaman itu menyisakan wajah-wajah yang pucat pasi dan dihinggapi rasa takut. Semalam yang terasa beribu bulan seperti tersiksa.

Para lelaki sebagian memberanikan diri keluar dari mesjid dan mendapatkan kejadian yang aneh.. didepan mesjid air nya tidak ada lagi dan rumah-rumah penduduk itu semuanya sudah terlihat seperti sedia kala.

Para penduduk hanya mendapatkan perahu yang ditunggangi oleh sang pemuda yang tidak pernah terlihat kembali. Rupanya perahu itu lah yang disambar petir semalam bisik para penduduk. Tapi kemana pemuda itu...?

Mereka pun mencari kesana kemari, mencari sosok panutannya. Seorang anak nampak terbirit-birit sambil berlari dari arah hulu. Dengan nafas yang terengah-engah berteriak.. “Abah... ada selokan baru didekat cekungan danau”. Semua mata tertuju dengan anak itu.

Mereka pun berlarian kearah yang ditunjukkan oleh sang anak. Benar saja selokan yang memanjang itu seperti menghubungan cekungan danau ke arah sungai lubai. Para penduduk pun terheran-heran. Siapa yang membuatnya...? dan pastinya adalah air yang berada dicekungan itu mulai surut dan rumah penduduk tidak lagi banjir.

Ditengah keheranan penduduk itu, mereka semua dibuat kaget... seekor ular raksasa melompat dari tengah Danau Kebekan sambil berdesis mengeluarkan suara dan terdengar bunyi “gludar, gludar, gludar”. Ular raksasa itu pun seperti menari-nari diudara dan penduduk pun bersorak gembira sambil berteriak sesuai dengan bunyinya “gludai, gludai, gludai”.

***

Satu yang pasti sang pemuda gagah itu tidak pernah ditemukan dan tidak pernah kembali sampai hari ini. Sampai dengan saat ini masih banyak penduduk desa yang sering menyaksikan ular raksasa berwarna hitam dan sudah berlumut itu muncul ke permukaan Danau Kibekan diwaktu-waktu tertentu. Kemunculan gludai itu sering dikaitkan dengan datangnya suatu berita atau pertanda yang kurang baik untuk desa seperti akan terjadinya kemarau lama, kekeringan dan kelaparan serta akan datangnya suatu wabah seperti penyakit.

Selokan yang menyerupai lekukan tubuh ular yang membentang dari Danau Kibekan sampai ke Sungai Lubai itu untuk mengenang pemuda itu disebut oleh mereka dengan “sungai gludai”. Ular raksasa yang sering hilang timbul itu oleh penduduk desa untuk memudahkan penyebutan akhirnya juga disebut dengan “Gludai” (kemungkinan berasal dari kata “gludar” yang terdengar ketika ular itu melompat keluar dari tengah danau).

Gludai tidak pernah mengganggu penduduk desa dan penduduk desa juga tidak pernah berniat membunuh gludai sang ular raksasa itu. Benar-benar sinergi yang luar biasa antara penduduk desa dengan alamnya. Danau kibekan tidak pernah kering dan selokan itu pun sekarang sudah diperbaiki dan dibeton. Airnya mengalir deras ke sungai lubai. Banjir pun tidak pernah terjadi lagi... benar-benar legenda yang luar biasa.

***Gunung Raja Lubai Juni2016****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun