Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini Itu Ada di Sampingku

21 April 2016   19:24 Diperbarui: 21 April 2016   20:05 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan gerimis malam itu membubarkan suasana “Pengajian Dangau” dan kembali ke Dangau di kebun masing-masing yang bersebelahan. Kilat mulai menyambar-nyambar dan suara petir mulai menggelegar dan “...bruuuk... “,  bunyinya terdegar keras.  Hantaman benda keras sepertinya tepat mengenai batang besar yang berada diujung pagar tidak jauh dari pondok perempuan itu. Dan gundukan tanah (baca : bulu mike) yang ada dibawahnya pun berhamburan ke atas menggambarkan betapa petir itu sebegitu dahsyatnya. Atap pondok yang terbuat dari daun serdang menyelipkan tetesan (guyuran) air hujan yang mulai membanjiri lantai tempat tidurnya.

Perempuan tua itu berusaha keras untuk menyalakan lampu teplok yang berbahan bakar minyak tanah.  Saya yang waktu itu masih berumur lima tahun kebetulan menjadi salah satu penghuni dangau itu berusaha membantu perempuan tua itu, namun yang terjadi lampunya jatuh dan minyak tanahnya tumpah. Sementara minyak tanah itu adalah minyak tanah terakhir yang kami miliki sebagai bahan untuk bertahan tiga hari kedepan.

Saya jadi takut kalau-kalau perempuan tua itu yang merupakan nenek kami itu akan marah, namun ternyata tidak sama sekali. Beliau berujar, “nggak apa-apa Cung... cuma jangan menyalakan api nanti dangaunya bisa terbakar”. Dia mendekap saya begitu erat. Hujan yang begitu deras dengan petir yang menggelegar dan kilat yang menyambar-nyambar hampir terjadi sepanjang malam itu.  Bersama nenek kami tidur dan saya merasakan ketakutan menjadi hilang.

Pagi pun datang menjelang, burung-burung pun bernyanyi... sungai yang pagi tadi kami jadikan tempat untuk mencari ikan (bekarang) begitu meluap (baca : banjir) akibat hujan deras semalaman. Kami memeriksa lokasi sambaran petir keras malam tadi dan benar saja, sebuah pohon tumbang dan bulumike serta pepohonan kecil dan rerumputan yang ada disampingnya sudah gosong dan seperti baru dicukur rata oleh batu petir semalam.

Dua tahun kemudian, perempuan tua itu menuntun saya pulang  kedesa melewati hutan yang lebat dan sungai-sungai kecil dan berpesan satu hal yang tidak mungkin saya lupakan sebagai anak kecil yang sedang melukis hidup apa adanya....”jangan pernah kembali kesini lagi sebagai pecundang”. “...Kamu tidak boleh lagi seperti ebak-mu (ayah-red) yang tidak bersekolah. Kamu harus sekolah, biar melek. Jangan seperti nenek mu ini yang tidak pernah bisa membaca dan menulis”.

Lukislah sebuah lukisan dunia yang indah dengan tangan mu  wahai seluruh cucu ku...”...” Ku ingin melihat dan mendengar itu...” teriak Beliau ditengah hutan lebat yang sudah barang tentu tidak ada orang lain selain kami yang mendengar teriakannya....

Tiga belas tahun yang lalu Beliau telah berpulang. Kepergian nenek kami yang uniknya wajahnya sampai Beliau meninggal sepertinya tidak pernah nampak tua dan tidak pernah lekang oleh waktu. Kepergian Beliau seperti menyiratkan rasa syukur yang mendalam nan berkesan. Senyumannya yang terus mengembang, kegigihannya berjuang, bekerja keras begitu terpatri didalam diri kami para cucunya... Beliau mungkin belum sempat melihat dan mendengar seluruhnya tentang kami para cucu generasi penerusnya.

Namun, satu yang pasti “Kartini itu ada disebelah kami, ada dirumah kami,  ada di dangau Kami, tepatnya ada disamping ku...”. Sehingga untuk kami para cucunya, karena Beliau lah kami bisa berucap “Habis gelap terbitlah terang”... Terima kasih nek.. Terima kasih ya Rabb  telah memberikan nenek yang luar biasa hadir ditengah kami. Zikir dan dan do’a kami pasti akan selalu bersama mu yang insya allah telah tenang “mendengar” kabar langit tentang lukisan para cucumu.... generasi penerus mu...

 

*GunungRajaLubay21april2016*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun