Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini Itu Ada di Sampingku

21 April 2016   19:24 Diperbarui: 21 April 2016   20:05 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kartini dirumahku.dokumen pribadi 

By. Fikri Jamil Lubay

 “Habis gelap terbit lah terang”... begitu Kata Kartini.

Mentari senja dibalik tirai bambu yang lusuh, hitam dan banyak bekas asap api (baca : kelatu) itu menyiratkan betapa pondok itu begitu keren untuk orang-orang didesa yang biasa menyebutnya dengan sebutan “Dangau”.  Dari sela bilah bambu itu nampak sebuah gerakan bola mata yang memandang nanar ke sekeliling ruangan yang bisa mengamati seluruh pergerakan dan kejadian diluar sana. Mata yang berasal dari sorot mata tajam sosok seorang perempuan tua nan renta yang sedang bermetamorfosa menyongsong malam yang insya allah syahdu.

Tarikan nafasnya yang terdengar berat diikuti dengan suara riak wheezing dan sedikit terbatuk menyiratkan suatu tafsir homogenik tuanya perempuan yang berada didalam Dangau ditengah kebun yang luasnya sebidang. 

Badannya yang terkena dan terbakar sinar matahari tetap putih bersih dan tidak legam.  Bahunya yang kokoh kekar dan berotot menggambarkan betapa perempuan tua itu nampak begitu “sakti” dan pasti seorang pekerja keras. Dia selalu tersenyum dan tidak pernah ngerumpi ditengah orang kebanyakan yang biasanya duduk-duduk berleha diatas tempat duduk yang terbuat dari bambu dan didesa kami biasa disebut dengan “pance”. “Pance” merupakan akronim dari “panjang cerite” (baca : panjang cerita).

Semua orang desa mengenalnya sebagai seorang janda tua, buta huruf yang menikah muda dan kemudian ditinggal suami saat masih belia dengan anak lima. Dan yang luar biasa adalah Beliau tidak seperti perempuan kebanyakan sekarang . Beliau tidak pernah menikah lagi sampai akhir hayatnya.

Beliau hidup bersama membesarkan anak-anaknya yang perempuan dan laki-laki di pedalaman hutan belantara Sumatera yang didesa kami disebut dengan “Gunjah”. Menurut cerita Beliau, waktu itu Hutan Gunjah itu merupakan hutan yang tidak bertuan. Siapa yang tenaganya kuat bisa membuka hutan seluas-luasnya alias tinggal menarik tali saja dipagar lalu dituani (dimiliki). Dan kemudian mereka akan bercocok tanam menanam padi dan lain sebagainya termasuk juga pepohonan karet. Begitu seterusnya sampai turun-temurun.

Kepedihan Beliau sebagai seorang janda tidak pernah nampak diwajahnya walaupun setelah ditinggal oleh suaminya,  Beliau juga harus kehilangan salah satu anak lelaki terbaiknya calon penopang kehidupan keluarga yang kemungkinan waktu itu baru berumur 12 tahunan. Tinggallah sekarang anaknya empat orang dengan 3 orang perempuan dan yang bungsu adalah lelaki gagah dan ganteng yang terkenal memiliki suara yang merdu mendayu, terutama bila mengumandangkan suara adzan.

Perempuan itu, dimalam yang syahdu itu mulai menghidupkan api  dengan puntung yang berasal dari potongan pohon karet dibawah dangau. Api itu disiapkan sebagai tanda bahwa ada orang di dangau itu, sekaligus asapnya juga untuk alat mengusir nyamuk. Api juga dibuat dengan maksud untuk mengusir hama binatang seperti babi hutan agar tidak masuk kedalam kebun dan mengobrak-abrik tanaman. 

Sambil membolak-balik ikan salai (ikan tape) hasil “bekarang” pagi tadi, Beliau tidak melepaskan tasbih ditangannya sambil terus berzikir menunggu isya’ yang sebentar lagi datang. Jauhnya kebun dengan lokasi desa menyebabkan banyak orang yang juga bertetangga  dengan perempuan tua itu saling bersahutan dan berkunjung satu sama lain untuk sekedar bercerita dan belajar barzanji dan sifat-sifat 20 dari Pencipta Alam Semesta.  Terdengar bunyi bersahut-sahutan “...qudrat...iradat...ilmu...hayat dan seterusnya berulang-ulang....”

Hujan gerimis malam itu membubarkan suasana “Pengajian Dangau” dan kembali ke Dangau di kebun masing-masing yang bersebelahan. Kilat mulai menyambar-nyambar dan suara petir mulai menggelegar dan “...bruuuk... “,  bunyinya terdegar keras.  Hantaman benda keras sepertinya tepat mengenai batang besar yang berada diujung pagar tidak jauh dari pondok perempuan itu. Dan gundukan tanah (baca : bulu mike) yang ada dibawahnya pun berhamburan ke atas menggambarkan betapa petir itu sebegitu dahsyatnya. Atap pondok yang terbuat dari daun serdang menyelipkan tetesan (guyuran) air hujan yang mulai membanjiri lantai tempat tidurnya.

Perempuan tua itu berusaha keras untuk menyalakan lampu teplok yang berbahan bakar minyak tanah.  Saya yang waktu itu masih berumur lima tahun kebetulan menjadi salah satu penghuni dangau itu berusaha membantu perempuan tua itu, namun yang terjadi lampunya jatuh dan minyak tanahnya tumpah. Sementara minyak tanah itu adalah minyak tanah terakhir yang kami miliki sebagai bahan untuk bertahan tiga hari kedepan.

Saya jadi takut kalau-kalau perempuan tua itu yang merupakan nenek kami itu akan marah, namun ternyata tidak sama sekali. Beliau berujar, “nggak apa-apa Cung... cuma jangan menyalakan api nanti dangaunya bisa terbakar”. Dia mendekap saya begitu erat. Hujan yang begitu deras dengan petir yang menggelegar dan kilat yang menyambar-nyambar hampir terjadi sepanjang malam itu.  Bersama nenek kami tidur dan saya merasakan ketakutan menjadi hilang.

Pagi pun datang menjelang, burung-burung pun bernyanyi... sungai yang pagi tadi kami jadikan tempat untuk mencari ikan (bekarang) begitu meluap (baca : banjir) akibat hujan deras semalaman. Kami memeriksa lokasi sambaran petir keras malam tadi dan benar saja, sebuah pohon tumbang dan bulumike serta pepohonan kecil dan rerumputan yang ada disampingnya sudah gosong dan seperti baru dicukur rata oleh batu petir semalam.

Dua tahun kemudian, perempuan tua itu menuntun saya pulang  kedesa melewati hutan yang lebat dan sungai-sungai kecil dan berpesan satu hal yang tidak mungkin saya lupakan sebagai anak kecil yang sedang melukis hidup apa adanya....”jangan pernah kembali kesini lagi sebagai pecundang”. “...Kamu tidak boleh lagi seperti ebak-mu (ayah-red) yang tidak bersekolah. Kamu harus sekolah, biar melek. Jangan seperti nenek mu ini yang tidak pernah bisa membaca dan menulis”.

Lukislah sebuah lukisan dunia yang indah dengan tangan mu  wahai seluruh cucu ku...”...” Ku ingin melihat dan mendengar itu...” teriak Beliau ditengah hutan lebat yang sudah barang tentu tidak ada orang lain selain kami yang mendengar teriakannya....

Tiga belas tahun yang lalu Beliau telah berpulang. Kepergian nenek kami yang uniknya wajahnya sampai Beliau meninggal sepertinya tidak pernah nampak tua dan tidak pernah lekang oleh waktu. Kepergian Beliau seperti menyiratkan rasa syukur yang mendalam nan berkesan. Senyumannya yang terus mengembang, kegigihannya berjuang, bekerja keras begitu terpatri didalam diri kami para cucunya... Beliau mungkin belum sempat melihat dan mendengar seluruhnya tentang kami para cucu generasi penerusnya.

Namun, satu yang pasti “Kartini itu ada disebelah kami, ada dirumah kami,  ada di dangau Kami, tepatnya ada disamping ku...”. Sehingga untuk kami para cucunya, karena Beliau lah kami bisa berucap “Habis gelap terbitlah terang”... Terima kasih nek.. Terima kasih ya Rabb  telah memberikan nenek yang luar biasa hadir ditengah kami. Zikir dan dan do’a kami pasti akan selalu bersama mu yang insya allah telah tenang “mendengar” kabar langit tentang lukisan para cucumu.... generasi penerus mu...

 

*GunungRajaLubay21april2016*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun