Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumitnya Penanggulangan Kemiskinan karena Dinasti Beda Data

4 April 2016   09:30 Diperbarui: 4 April 2016   09:39 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah melalui analisis yang mendalam dan terpadu dengan melibatkan beberapa SKPD, kami di Bappeda saat itu berkesimpulan dan memutuskan harus melakukan pendekatan lain yaitu terjun langsung ke lapangan untuk meng-hunting (jemput bola) sekaligus memberikan tanda koordinat dengan menggunakan GPS untuk setiap rumah para keluarga miskin. Data tersebut berbasis orang (keluarga) miskin yang hidup dirumah yang tidak layak huni milik sendiri karena harus fokus dengan intervensi yang akan dilakukan.

Pengalaman uji petik dan kesulitan dalam mencari BNBA hasil dari data mikro yang ada di TNP2K yang juga merupakan hasil kerja BPS tahun 2011 ini memberikan pembelajaran pentingnya validasi data untuk memudahkan intervensi agar tepat sasaran.

Data-data yang disajikan dan dintervesi sekarang di Kota Prabumulih dengan input awal (pintu masuk/entry point) adalah Rumah Tidak Layak Huni milik sendiri itulah yang menginspirasi seluruh stakeholder pengguna data yang ada di Kota Prabumulih untuk ikut terlibat membangun rumah tidak layak huni milik sendiri yang alhamdulillah sekarang sudah hampir tuntas di Kota Prabumulih. Dan, data itu tentu saja tidak bisa merujuk ke data BPS yang dianggap valid dan reliabel itu.

Perbedaan data atau kita sebut saja dinasti beda data sering sekali terjadi terhadap data-data makro. Akibatnya adalah data tidak bisa berfungsi sesuai definisinya. Sering sekali juga, data itu  hanya menjadi pemanis citra politik golongan tertentu sebagai pemesan data sesuai dengan dinasti atau zamannya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan maknawiyah dilaksanakannya program-program pemerintah yang dianggap pro rakyat khususnya pengentasan (penanggulangan) kemiskinan dan pemenuhan lapangan kerja untuk orang-orang yang menganggur.

Akibat lanjutannya adalah penanggulangan kemiskinan yang dilakukan jor-joran dan katanya keroyokan itu seperti tidak bermakna apa-apa. Subsidi yang besar tidak tepat sasaran, program bantuan seperti KIS, KIP,  KKS yang diberikan juga tidak akan pernah tepat sasaran karena datanya tidak di up-date dan disajikan berbeda-beda. Kita tidak pernah mendengar orang miskin setelah diurus sekarang sudah pindah kelas (naik kasta) atau telah diwisuda menjadi orang berkecukupan (kaya) atau lebih sejahtera dari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena datanya tidak tersedia.

Tahun 2015 yang lalu seharusnya menjadi tonggak bersejarah untuk mengakhiri dinasti beda data itu. Kementerian Sosial yang digawangi oleh Ibu Khofifah Indar Parawansa sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2014 telah mempelopori untuk menyerahkan pengkajian dan pengolahan data ke daerah. Dinas Sosial yang ada didaerah (Kabupaten/Kota) seharusnya bisa menjadi motor dan komandan (SATMINKAL) untuk mengakhiri perbedaan data itu, khususnya data kemiskinan dan indikator yang melekat dengannya.

Namun, jangan lupa TNP2K melalui BPS ditahun 2015 kemarin juga sudah melakukan survei rumah tangga miskin sebagai update data BDT tahun 2011. Kita tentu berharap data itu disajikan segera biar bias datanya bisa ditekan dan bisa menjadi alat pemerintah, khususnya pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) untuk mengambil keputusan. Sekarang sudah melewati  trimester pertama ditahun 2016, namun data itu belum juga kunjung tiba didaerah. Dikhawatirkan penyakit lima tahun yang lalu itu terjadi juga. Kalau begitu tentu kita semua akan bertanya, Apa bedanya dengan dinasti sebelumnya. Ah... akan terjadi lagi dinasti beda data itu... semoga saja pemikiran negarif itu tidak terbukti.

Jadi, tidak ada alasan lagi terjadinya penyajian data yang berbeda-beda dan tidak up-date serta saling menyalahkan dan mencari kambing hitam yang berujung dengan sulitnya pertanggung jawaban terhadap data yang disajikan. Daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengurusi mikro data (BNBA) dalam penanggulangan kemiskinan di daerah kekuasaannya.

Pemerintah Daerah sudah saatnya tidak bisa lagi mempercayakan sepenuhnya urusan data ke BPS. Namun, yang paling baik adalah Pemerintah Daerah dan BPS di Kabupaten/Kota bersinergi dalam penyajian data. Tampilan dan launching data yang dikeluarkan oleh BPS kalau bisa mewakili apa yang seharusnya ada di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sehingga tidak terjadi disparitas bahkan dikotomi antar data yang keluarkan oleh BPS dan Pemerintah Kab/Kota. 

*Prabumulih-31032016*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun