Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumitnya Penanggulangan Kemiskinan karena Dinasti Beda Data

4 April 2016   09:30 Diperbarui: 4 April 2016   09:39 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By. FIKRI JAMIL LUBAY 

Data.. yup...masih adakah yang ingat definisi tentang “data”. Kita selalu berdebat panjang tentang data yang berujung dengan pertanyaan “mana datanya” sekedar untuk menggambarkan sebuah fakta. Yang mana yang lahir duluan..? fakta atau data. Jawabannya pasti selalu begini : faktanya adalah data dan lihat juga data ini adalah faktanya. Namun satu yang pasti definisi data yang mau dibahas disini adalah Data sebagai alat (isntrumen) untuk mengambil keputusan.

Bisa dibayangkan kan..? seandainya datanya salah, maka keputusan yang diambil juga sudah pasti bakalan salah. Dan sebaliknya. Nah, bayangkan juga seandainya data yang salah itu diberikan kepada pengambil kebijakan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan...? sehingga data yang diambil sudah barang tentu tidak boleh salah, karena kalau sampai salah maka yang akan terjadi bukan hanya pemimpin itu yang repot tetapi semua penikmat keputusan yang salah itu dipastikan akan menjadi sengsara. Dan sengsara ini bukanlah “sengsara membawa nikmat” tetapi sengsara beneran.

BPS...BPS...BPS... Badan Pusat Statistik...? sedari kuliah dulu kita sudah dicekoki, kalau mau mengambil data yang valid, ambil data dari BPS karena berdasarkan Undang-Undang katanya yang punya legalitas untuk menyajikan data adalah data yang dikeluarkan oleh BPS. Sehingga kalau tidak mengacu ke BPS terutama data-data makro kita dianggap belumlah pas membuat suatu analisis apalagi kesimpulan karena kalau bersumber “tidak jelas” maka sudah dipastikan data yang kita sajikan sampai kapan pun tidak akan diakui. Apalagi data itu digunakan untuk keperluan skripsi, tesis, dan karya ilmiah lainnya. Data sekundernya sungguh sering sekali diwajibkan untuk mengolah data yang dikeluarkan dari BPS.

Pertanyaan lanjutannya adalah “benarkah sedemikian valid dan reliabel data yang dikeluarkan oleh BPS itu? Benarkah juga data yang dilaunching oleh BPS itu user friendly...? sehingga data BPS itu bisa digunakan dengan mudah untuk mengambil keputusan oleh pengambil kebijakan. Pertanyaan itu lah yang pertama kali hadir dan lahir ketika ditugaskan untuk mengolah data (khususnya masyarakat miskin) diinstrumen birokrasi pemerintahan daerah yang mengurusi perencanaan seperti Badan Perencanaan Daerah (Bappeda).

Bappeda adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berada di hulu dari sistem pelayanan pemerintahan, sehingga validasi atas data menjadi keharusan. Data yang diambil, dirujuk dan disajikan tentu tidak boleh salah karena imbasnya akan salah perhitungan anggaran dan pembiayaan selama satu periode tahun anggaran yang bersangkutan bahkan sampai satu periode masa jabatan pimpinan daerah.

Karena itu kesohehah atas sebuah data menggambarkan profesionalisme perangkat yang bekerja di instrumen perencanaan ini. Salah satu urusan yang diurus adalah data masyarakat miskin, karena kemiskinan menjadi program yang menjadi ikon Kota Prabumulih disamping pengangguran dan infrastruktur.

Ketika ditugaskan pertama kali di Bappeda, saya langsung start saja bekerja dan mengolah data BPS seseuai dengan pengalaman masih kuliah dulu. Di kepala ini sudah di-burning bahwa  “sumber data adalah data BPS”. Data BPS itu yang didapatkan adalah angka-angka dan indikator makro. Ternyata  yang parah adalah adalah data-data makro itu tidak bisa langsung diintervensi apalagi diolah untuk menjadi kebijakan program karena tidak jelas siapa saja yang ada dalam data-data makro itu alias By Named By Adress (BNBA) tidak bisa di intervensi.

Komunikasi lintas data makro yang tidak tersaji secara mikro itu menarik perhatian penulis untuk menguji petik apakah benar data itu dan sumbernya dari mana, terkhusus untuk data-data kemiskinan. Beberapa milestones untuk mengakomodir data kemiskinan pun disiapkan.  Ternyata,  saat itu ditemukan bahwa untuk data kemiskinan telah tersimpan dengan baik di yang namanya Bank Data Terpadu (BDT) di Sekretariat TNP2K yang dikomandani oleh Wapres sejak tahun 2011.

Data tahun 2011 itulah yang sampai sekarang masih digunakan untuk mengintervensi kemiskinan. Hal ini tentu saja mengakibatkan :

  1. Penyajian datanya sering telat. Survey tahun 2011, diolah ditahun itu juga namun disajikan setahun kemudian. Akibatnya adalah data tidak update lagi.
  2. Biasnya besar. Data tahun 2011 yang digunakan Sekretariat TNP2K yang berisi BNBA yang ada diseluruh desa/kelurahan di Indonesia ini sesungguhnya memiliki kelemahan karena tidak pernah di-update sampai dengan tahun 2014 yang lalu.  Akibatnya adalah data tidak pernah berubah atau data yang disajikan  yang itu-itu saja. Sudah banyak orang (BNBA) yang meninggal, pindah tempat atau bahkan sudah ada juga yang menjadi orang kaya (naik kelas).
  3. Kesalahan intervensi besar. Karena biasnya besar dan disajikan telat, maka yang terjadi sudah barang tentu intervensi yang dilakukan juga tidak bisa tepat sasaran. Masih terdapat orang yang meninggal menerima kartu PSKS atau sekarang KKS. Masih ada yang menerima raskin. Tidak sedikit juga yang menerima PKH. Banyak orang yang berhak menerima tidak masuk dalam bank data dan sebaliknya orang yang menerima bantuan adalah orang yang sesungguhnya tidaklah pantas dan tidak berhak menerima bantuan.

Karena itu lah penulis saat itu (Desember 2013) mencoba menguji petik disalah satu kelurahan di satu kecamatan di wilayah kerja kita di Prabumulih. Dari 64 orang penerima bantuan RASKIN ternyata terdapat beberapa (sebagian besar) orang yang tidak layak untuk menerimanya. Sehingga saat itu disimpulkan yang benar-benar layak untuk mendapatkan RASKIN hanya 4 (empat) orang. Disisi lain adalah temuan lapangan juga mendapatkan sekitar 34 orang keluarga yang benar-benar miskin namun tidak masuk dalam data based itu. Gambaran umum mereka yang 34 orang itu, rumahnya tidak layak untuk huni. Para janda dengan anak-anak yang masih kecil, orang tua dan lain sebagainya.

Setelah melalui analisis yang mendalam dan terpadu dengan melibatkan beberapa SKPD, kami di Bappeda saat itu berkesimpulan dan memutuskan harus melakukan pendekatan lain yaitu terjun langsung ke lapangan untuk meng-hunting (jemput bola) sekaligus memberikan tanda koordinat dengan menggunakan GPS untuk setiap rumah para keluarga miskin. Data tersebut berbasis orang (keluarga) miskin yang hidup dirumah yang tidak layak huni milik sendiri karena harus fokus dengan intervensi yang akan dilakukan.

Pengalaman uji petik dan kesulitan dalam mencari BNBA hasil dari data mikro yang ada di TNP2K yang juga merupakan hasil kerja BPS tahun 2011 ini memberikan pembelajaran pentingnya validasi data untuk memudahkan intervensi agar tepat sasaran.

Data-data yang disajikan dan dintervesi sekarang di Kota Prabumulih dengan input awal (pintu masuk/entry point) adalah Rumah Tidak Layak Huni milik sendiri itulah yang menginspirasi seluruh stakeholder pengguna data yang ada di Kota Prabumulih untuk ikut terlibat membangun rumah tidak layak huni milik sendiri yang alhamdulillah sekarang sudah hampir tuntas di Kota Prabumulih. Dan, data itu tentu saja tidak bisa merujuk ke data BPS yang dianggap valid dan reliabel itu.

Perbedaan data atau kita sebut saja dinasti beda data sering sekali terjadi terhadap data-data makro. Akibatnya adalah data tidak bisa berfungsi sesuai definisinya. Sering sekali juga, data itu  hanya menjadi pemanis citra politik golongan tertentu sebagai pemesan data sesuai dengan dinasti atau zamannya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan maknawiyah dilaksanakannya program-program pemerintah yang dianggap pro rakyat khususnya pengentasan (penanggulangan) kemiskinan dan pemenuhan lapangan kerja untuk orang-orang yang menganggur.

Akibat lanjutannya adalah penanggulangan kemiskinan yang dilakukan jor-joran dan katanya keroyokan itu seperti tidak bermakna apa-apa. Subsidi yang besar tidak tepat sasaran, program bantuan seperti KIS, KIP,  KKS yang diberikan juga tidak akan pernah tepat sasaran karena datanya tidak di up-date dan disajikan berbeda-beda. Kita tidak pernah mendengar orang miskin setelah diurus sekarang sudah pindah kelas (naik kasta) atau telah diwisuda menjadi orang berkecukupan (kaya) atau lebih sejahtera dari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena datanya tidak tersedia.

Tahun 2015 yang lalu seharusnya menjadi tonggak bersejarah untuk mengakhiri dinasti beda data itu. Kementerian Sosial yang digawangi oleh Ibu Khofifah Indar Parawansa sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2014 telah mempelopori untuk menyerahkan pengkajian dan pengolahan data ke daerah. Dinas Sosial yang ada didaerah (Kabupaten/Kota) seharusnya bisa menjadi motor dan komandan (SATMINKAL) untuk mengakhiri perbedaan data itu, khususnya data kemiskinan dan indikator yang melekat dengannya.

Namun, jangan lupa TNP2K melalui BPS ditahun 2015 kemarin juga sudah melakukan survei rumah tangga miskin sebagai update data BDT tahun 2011. Kita tentu berharap data itu disajikan segera biar bias datanya bisa ditekan dan bisa menjadi alat pemerintah, khususnya pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) untuk mengambil keputusan. Sekarang sudah melewati  trimester pertama ditahun 2016, namun data itu belum juga kunjung tiba didaerah. Dikhawatirkan penyakit lima tahun yang lalu itu terjadi juga. Kalau begitu tentu kita semua akan bertanya, Apa bedanya dengan dinasti sebelumnya. Ah... akan terjadi lagi dinasti beda data itu... semoga saja pemikiran negarif itu tidak terbukti.

Jadi, tidak ada alasan lagi terjadinya penyajian data yang berbeda-beda dan tidak up-date serta saling menyalahkan dan mencari kambing hitam yang berujung dengan sulitnya pertanggung jawaban terhadap data yang disajikan. Daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengurusi mikro data (BNBA) dalam penanggulangan kemiskinan di daerah kekuasaannya.

Pemerintah Daerah sudah saatnya tidak bisa lagi mempercayakan sepenuhnya urusan data ke BPS. Namun, yang paling baik adalah Pemerintah Daerah dan BPS di Kabupaten/Kota bersinergi dalam penyajian data. Tampilan dan launching data yang dikeluarkan oleh BPS kalau bisa mewakili apa yang seharusnya ada di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sehingga tidak terjadi disparitas bahkan dikotomi antar data yang keluarkan oleh BPS dan Pemerintah Kab/Kota

*Prabumulih-31032016*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun