Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[100 PUISI] Nasib Mu Pugok Si Tukang Sadap

19 Februari 2016   15:22 Diperbarui: 19 Februari 2016   15:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

By. FIKRI JAMIL LUBAY

 

Bunyi-bunyi piring seng berdentang dipagi buta itu

Beriringan dengan bunyi sendok dan garfu yang usang

Suara azan subuh pun terdengar merdu...

 

“Il...Mail...bangun...sholat...!!!” suara serak itu terdengar renta

Dia membungkuk, mencuci muka dan berwudhu..

Tikar bolong menjadi alas untuk bersujud di subuh itu

 

Guntur menggelegar...

Hujan yang sebentar itu menunda langkah lelaki renta itu

Gerimis diluar, diikuti dengan langkah terseok-seok

Sambil membawa bakul dan ember serta...

Tak ketinggalan alat sadap yang sudah berkarat...

 

Lelah sampai dikebun yang berjarak dekat...

Paling satu jam perjalanan... keringat pun bercucuran

Air yang dibawa terasa segar menggelegak dahaga di pagi yang masih gerimis itu

 

Ku lihat... tangan-tangan yang masih menampakkkan keperkasaannya sebagai lelaki...

Urat-urat dahinya mengikuti uluran tangannya menarik alat sadapnya dengan pelan dan hati-hati...

Batang karet yang sudah tua itu pun mengucurkan aliran getah yang terlihat mulai malas...

 

Habislah hampir dua ratus batang karet disadap dipagi yang gerimis itu...

“Mail...”, lelaki renta itu berujar memanggil cucunya, “tolong besok hari Rabu kau angkati beku getah karet yang sudah disadap...” perintah lelaki itu...

Mail yang berumur sembilan tahun itu pun hanya mengangguk pelan tanda setuju...

 

Keesokannya setelah pulang sekolah, mail bergegas pergi ke kebun tempat lelaki renta itu menyadap...

Sorot matanya begitu tajam, Pandangannya tertuju kepada semua cangkir  dibatang karet itu...

Namun “kosong”, “kosong”, “semua kosong....”  mail berteriak...

Sudah ada yang mendahuluinya mengambil getah karet itu...

 

Cucuran air mata Mail pun basah bersama keringat sambil berlari ke desa

“pugok”, “pugok”..mail kesana kemari mencari kakeknya...

Lelaki renta itu terbaring lemah...

Suara Mail yang beriringan dengan suara azan ashar membangunkannya...

Mail pun mulai bercerita... lelaki itu hanya mengelus dada dan menepuk pundak Mail sambil manggut-manggut...

 

Hari kamis pun datang... sambil bertanya...berapa harga karet pagi itu...

Ternyata harganya lima ribu rupiah per kilogram...

Sambil mengernyitkan dahinya lelaki itu berujar “untunglah” getahnya hilang... sehingga dia tidak perlu pusing untuk memikirkan membeli beras yang sudah selangit...

 

Makan apa kita seminggu kedepan Gok...? kata mail kepada Kakeknya...

Sambil tersenyum si “pugok” menjawab... “mail kamu harus sekolah”, dan “kita makan “HARAPAN”.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun