Mohon tunggu...
FIKRI IMANUDIN
FIKRI IMANUDIN Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RKUHP Disahkan! Perlukah NKRI Menangkal Gerakan Utopis Radikalis PKI, HTI, FPI?

6 Desember 2022   21:53 Diperbarui: 6 Desember 2022   22:30 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belum lama ini, kita mendengar berita disahkannya RKUHP yang dianggap sebagian orang menimbulkan keresahan atas nama demokrasi yang semakin terkekang. Hal menarik dari berita ini jika dikaitkan dengan gerakan politik Indonesia masa kini terdapat pada pasal 188 mengenai larangan penyebaran paham yang tak sesuai pancasila. 

Dalam ayat 1 secara khusus dikatakan bahwa pelaku penyebar ajaran komunisme dapat dipidanakan paling lama 4 tahun. Kendati demikian, seperti yang dikemukakan Albert Aries, Jubir Tim Sosialisasi RKUHP pada laman nasional.tempo.co. pemerintah menjamin tak akan cederai kebebasan berpendapat sebagaimana yang tertuang dalam ayat 6 tidak dipidana jika untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Meninjau kembali kebijakan pemerintah belakangan ini, secara hukum pemerintah nampak konsisten dalam menangkal berbagai gerakan utopis radikalis yang dianggap bertentangan dengan pancasila seperti pembubaran HTI pada tanggal 19 Juli 2017 disusul FPI pada tanggal 30 Desember 2020 melalui Kemenkumham. 

Namun, sekalipun telah dibubarkan, FPI dan HTI tetap dapat beroperasi dengan wajah baru yang lebih soft agar tetap mendapat pengaruh di masyarakat khususnya untuk politik aliran kanan keagamaan. 

Berbeda nasib dari HTI dan FPI, PKI yang beraliran politik kiri melalui TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 telah lebih dulu dibubarkan dan menjadi organisasi terlarang. Mengapa berbeda? Alasan sederhananya ialah karena komunisme telah menciptakan trauma historis masyarakat agamis dan gangguan pertahanan militer di Indonesia pada masa lalu.

Mengingat ada sebuah analogi menarik berkaitan politik aliran ini yang disampaikan oleh Dosen Fisip UIN Jakarta, Dr. Achmad Ubaedillah, M.A. "perhelatan politik aliran yang berbeda jenis antara golongan kanan dan kiri yang meningkat bagaikan bejana berhubungan dapat membentuk ketidakseimbangan. Lain halnya jika sekedar untuk ilmu pengetahuan karena ide-ide itu dapat saling mengisi kekosongan menjadi setara dan berimbang karena dapat didiskusikan atau diperdebatkan secara akademis. Itulah fungsi mahasiswa dalam mengemukakan pendapat."

Dalam menjawab persoalan perlukah pemerintah NKRI menangkal gerakan utopis radikalis seperti FPI, HTI, dan PKI? Kami sebagai seorang mahasiswa tentu akan menjawab diperlukan. Namun, persoalannya tidak sampai disitu. Mengapa FPI, HTI, dan PKI dapat dikategorikan sebagai gerakan radikal yang utopia dan bagaimana cara penyelesaiannya? 

Secara ideologis, hanya FPI saja yang tidak bisa dikategorikan radikal meskipun tindakan amr maruf nahi munkar yang menggunakan gerakan koersif melangkahi aparat hukum meresahkan dan layak dianggap radikal. 

Sebaliknya, tindakan HTI memang tidak radikal, tetapi ideologinya cukup radikal karena pengajaran sistem kekhalifahan yang didambakan dapat mendoktrin anak muda untuk lalai terhadap pancasila dan realitas sistem politik yang berlaku di Indonesia. Sementara, komunisme memiliki sejarah kelam dan kejam dalam kegagalan revolusioner radikalnya, PKI Madiun dan G30SPKI.

Mari kita berpikir sejenak merenungkan kembali kekejian PKI, bukankah perbuatan mereka di masa lalu itu tidak berpijak atas nama ideologi melainkan atas nama perubahan radikal sistem sosial-ekonomi? Mengapa ideologi yang dipersalahkan? Mau sampai kapan bangsa ini menaruh kebencian terhadap ideologi tertentu? Apakah kebencian ini memiliki alasan yang baik atau sekedar propaganda kepentingan politik? Siapa yang bisa memastikan?

Ideologi sendiri dapat dipahami sebagai bagian dari suprastruktur negara yang memiliki cakupan luas menjadi seperangkat tata sikap, nilai, dan persepsi politik, hukum, kebudayaan, norma, adat-istiadat, bahkan agama. 

Penanaman ideologi asing memang dapat mengubah cara berpikir seseorang. Namun, sebenarnya hal itu bukan lagi suatu ancaman serius bagi individu yang telah memahami karakter bangsanya karena setiap bangsa punya apa yang disebut Soekarno sebagai Weltanshauung atau pandangan dunianya sediri. Keragaman pandangan hidup yang telah ada itu di olah melalui pemikiran yang mendalam (philosophische grondslag) oleh para pendiri bangsa. 

Dalam konteks Indonesia dinamakan falsafah Pancasila menjadi hasil dari konsesus kehendak umum (volonte generale) dan bagian final yang menentukan dari dialektika sebagai roh absolut bagi bangsa ini. Tidak ada yang sanggup mengubah Roh Absolut yang menjadi nikmat bagi bangsa ini selain sikap apatis dan individualis masyarakat itu sendiri dengan kata lain sebagaimana Allah SWT berfirman,

"Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al-Anfal:53)

Apakah karena merasa paling pancasilais kita layak membuang jauh-jauh ide kebebasan dalam liberalisme sekalipun dalam artian berharap bebas mendapati kepemimpinan islam penuh wibawa bak seorang khalifah seperti yang didambakan HTI? atau pantaskah kita melarang keberadaan nilai-nilai corak produksi (basis) yang memiliki watak gotong royong (kerjasama kolektif) dan marhaenisme (perjuangan atas ketertindasan oleh sistem) dalam kesadaran masyarakat tanpa kelas komunisme? atau tidak bolehkah ada nilai sekularisme-religius yang disebut NKRI bersyariah oleh Habib Rizieq untuk masyarakat agamis Indonesia? Bukankah tiga hal itu terkandung dalam nilai-nilai pancasila itu sendiri? Mengapa pemerintah begitu khawatir akan ide Comunism, Caliphatesism, dan Marhaenism yang begitu utopis?

Ketiganya menjadi utopis sebab tuntutan mereka terhadap pemerintah begitu sulit seakan ingin menghidupkan suasana kerajaan surga untuk masyarakat duniawi.

 Bukankah pancasila itu sendiri utopia? Bagaimana tidak jika kelakuan pejabat dan aparat laksana malaikat yang sibuk memasukan golongan bersebrangan ke neraka penjara duniawi? Sepintas mengingatkan kita pada sebuah lirik lagu yang mengatakan, "orang bilang tanah kita, tanah surga" memang benar demikian, tetapi bukan berarti penguasa kita adalah Tuhan yang berhak menjustifikasi masyarakat manusianya. Hanya negara demokratik bebal saja yang menghendaki rakyat tidak banyak bicara dan hanya masyarakat primitif saja yang tidak menghendaki keterbukaan pemikiran.

Sekalipun cara penyelesaian para pembuat kebijakan saat ini masih belum sempurna, setidaknya mereka sudah berkerja. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita sebagai generasi penerus bangsa jangan sampai kita terjerumus kedalam penyimpangan berpikir yang dapat memperkeruh suasana politik bangsa dengan bergaining politic atau jual ayat kitab suci dan pasal karet demi kepentingan kelompok pribadi dan menciptakan ketidakadilan.

Ditulis oleh Fikri Imanudin & Ridwan Gunawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun