Dewasa ini ramai pemberitaan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dan seolah tidak ada habisnya. Hampir di seluruh lini cabang kekuasaan negara menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.
Di cabang kekuasaan eksekutif seperti Presiden dan jajaran menteri. Banyak kebijakan-kebijakan yang menuai kontroversi. Di antaranya Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang dinilai memberatkan masyarakat, pemberian izin tambang bagi ormas, dan sebagainya.
Di cabang kekuasaan legislatif. Berbagai isu terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tengah dibahas di DPR menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Seperti RUU Penyiaran, RUU Polri, RUU TNI dan sebagainya. Bahkan baru-baru ini, sempat ramai terkait dengan masalah RUU Pilkada yang dinilai bertentangan dengan Putusan MK Nomor 60 dan 70 Tahun 2024.
Di cabang kekuasaan judicial atau yudikatif. Malah semakin ramai. Sebelumnya ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang mengakibatkan Putra Sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dapat mengikuti kontestasi Pemilu dan akhirnya menjadi Wakil Presiden terpilih berdasarkan Hasil Pemilu 2024.
Yang terbaru, Mahkamah Agung juga mengubah konsep titik batas usia calon kepala daerah dari yang sebelumnya terhitung sejak penetapan Pasangan Calon menjadi terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih. Hal ini dinilai bernuansa politis. Sebab Putusan tersebut menguntungkan Putra Bungsu Presiden Joko Widodo, yakni Kaesang Pangarep yang digadang-gadang maju sebagai Cagub atau Cawagub pada Pilkada serentak 2024.
Bila kita melihat kontroversi yang terjadi belakangan ini terdapat satu titik temu, yakni menggunakan instrumen hukum sebagai sarana untuk melegitimasi tindakan yang dilakukan oleh organ-organ negara.
Negara Hukum (Positif)?
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensinya ialah setiap penyelenggaraan proses bernegara di Indonesia harus berlandaskan pada hukum. Namun pertanyaannya ialah hukum yang bagaimana yang dimaksud tersebut?
Seperti halnya dengan salah satu isu hangat belakangan ini terkait izin pengelolaan tambang yang dikeluarkan untuk ormas-ormas keagamaan di Indonesia yang menimbulkan pro kontra.
Isu tersebut muncul sejak Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara yang berlaku sejak 29 Mei lalu. Pada PP tersebut menyisipkan 1 Pasal di antara Pasal 83 dan 84, yakni Pasal 83A.
Pasal ini lah yang menjadi sumber pro kontra, yang mana pada ayat (1) menyebutkan bahwa "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan." Pasal inilah yang pada akhirnya menjadi legitimasi bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang di Indonesia, yang akhirnya menimbulkan pro kontra.
Banyak yang menilai pasal tersebut bernuansakan politis sebagai balas budi kepada ormas tertentu atas dukungannya pada Pilpres lalu. Ada juga yang menilai pasal tersebut merupakan upaya oligarki untuk melanggengkan bisnisnya dengan menjebak ormas keagamaan.
Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas pasal tersebut telah menjadi hukum positif di Indonesia. Hukum positif merujuk pada pengertian hukum yang berlaku saat ini atau istilah di kalangan akademisi hukum disebut ius constitutum.
Prof. Bagir Manan, salah satu pakar Hukum Tata Negara di Indonesia sekaligus Ketua Hakim Mahkamah Agung Tahun 2001-2008, menyebutkan dalam bukunya 'Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik)', bahwa hukum positif (dalam konteks ini ialah hukum positif Indonesia) sebagai 'kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.
Pandangan tersebut erat kaitannya dengan salah satu pandangan dalam filsafat hukum yakni positivisme hukum dengan tokoh seperti John Austin. Â Positivism memaknai hukum sebagai Ius Constitutum atau hukum yang ada dan berlaku.
Hakikat hukum sendiri menurut John Austin terletak pada unsur "perintah" yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Austin menolak pandangan teori hukum kodrat tentang hukum dan dengan itu menarik garis pembatas yang tegas antara hukum dan moral. Dengan pemikiran seperti ini, Austin hendak menegaskan bahwa hukum bukanlah sekedar nasihat moral yang tidak memiliki implikasi hukuman/sanksi apapun. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum, maka hukum tidak lagi dapat disebut hukum. Hukum kehilangan esensinya sebagai komando.
Satu sisi, pemikiran tersebut tepat bila dikaitkan dengan salah satu tujuan dari hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yakni kepastian hukum. Namun pada sisi lain, bila hukum dipandang sebagai hukum positif saja, maka yang terjadi adalah akan seperti halnya dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.
Bila konsep negara hukum diartikan sebatas bahwa penyelenggaraan bernegara hanya berdasarkan hukum positif semata, maka bilamana pembentuk hukum bisa saja menciptakan suatu hukum untuk melegitimasi kepentingan dirinya atau kelompoknya semata.
Hal tersebut tak ada bedanya dengan rezim Orde Baru yang menggunakan sarana hukum positif untuk melanggengkan kekuasaannya atau melancarkan kepentingan kelompoknya. Seperti penyalahgunaan UU Subversi untuk menyingkirkan kelompok yang kontra dengan Orde Baru atau melegitimasi sejumlah pelanggaran HAM masa lalu demi atas nama stabilitas nasional.
Inilah yang harus diperbaiki saat ini. Tidak boleh penguasa menggunakan hukum baik dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh Legislatif, Regulasi yang diterbitkan oleh Eksekutif  maupun putusan yang diputus oleh lembaga judicial atau Yudikatif untuk menguntungkan kepentingan kelompoknya semata.
Konsep negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut seyogyanya tidak diartikan hanya sebatas hukum positif semata. Tujuan terciptanya negara hukum bukan hanya sebatas untuk ketertiban semata, tetapi untuk menciptakan keadilan yang membawa kebaikan, damai dan sejahtera bagi semua.
Keadilan inilah salah satu bentuk moralitas. Sehingga dalam hal ini, hukum sejatinya adalah pancaran moral. Hukum memang bukan moral dan sebaliknya moral bukanlah hukum. Namun yang perlu digarisbawahi ialah aturan jika tidak berdasar moral bukanlah hukum
Guru Besar FH UNAIR, Prof. Peter Mahmud Marzuki bahkan sering dengan lantang menyatakan bahwa "Hukum belum tentu undang-undang, dan undang-undang belum tentu hukum". Sebab menurutnya, hukum merupakan produk budaya, hukum dibuat bukan sekadar untuk ketertiban, melainkan untuk damai sejahtera".
Konsep Tertib (order) tidak sama dengan damai sejahtera (peace). Masyarakat dapat saja hidup dalam ketertiban, namun bukan tidak mungkin tertib terjadi karena yang kuat menindas yang lemah, atau adanya ketidakseimbangan perlindungan sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru yang mana demi mencapai ketertiban dibentuk lembaga superbody seperti misalnya Kopkamtib yang menangkap para politisi dan demonstran, melarang unjuk rasa, pers dibungkam.
Semoga kedepannya, Penguasa dapat melihat dan mendengar gejolak yang terjadi belakangan ini di masyarakat dan melakukan introspeksi untuk terciptanya proses bernegara yang menciptakan rasa keadilan berdasarkan kebaikan, damai dan sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI