Dewasa ini, terminologi sontoloyo sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang tersimulasi oleh komodifikasi keaksaraan yang merupakan produk industry kebudayaan. Pasalnya, kemampuan membaca buku hanya dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kesenangan dalam rangka mengikuti tren yang diciptakan oleh para kapitalis.
Masyarakat sontoloyo sejatinya merupakan kalangan yang melek aksara. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, ia buta terhadap sekitar, ia tidak mampu menggunakan keberaksaraannya untuk membaca realitas sosial, sehingga lebih memilih untuk memperkaya para kapitalis daripada harus bersusah payah mencari problem solving dari persoalan yang ada.Â
Dalam hal ini, Strinati (2007:73) mengungkapkan adanya suatu kemungkinan bagi masyarakat untuk mempertahankan standing position individu yang menolak komodifikasi keaksaraan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa produk industrialisasi budaya pada dasarnya bukan suatu hal yang mampu membentuk konstruksi sosial secara orang per orang.Â
Tetapi secara individu, karakteristik seseorang juga akan menentukan selera dan cita rasa, yang kemudian menghadirkan pilihan, menjadi masyarakat dengan keberaksaraan yang mampu membaca realitas, atau justru menjadi masyarakat sontoloyo.
Daftar Pustaka
Banks, Mark. Et.al. 2000. Risk and Trust in the cultural industries. UK: Manchester institute for popular culture
Diago, Gloria Gomez. 2014. The Role of Shared Emotions in the Construction of the Cyberculture: From Cultural Industries to Cultural Actions: The Case of Crowdfunding. Spain: Rey Juan Carles University
Holborow, Marine. 2018. Language, commodification and labour: the relevance of Marx. Ireland: Dublin City
Soekarno. 2015. Islam  Sontoloyo. Bandung: Sega Arsy. Cetakan Keempat
Sugihartati. 2012. Masalah Minat Baca. Surabaya: Revka Petra media
Leslie, Deborah. And Rantisi, Norma. 2017. Deskilling in cultural industries: Corporatization, standardization and  the erosion of creativity at the Cirque du Soleil. Canada: Departement of Geographi and Planning