Perubahan sosial paling mendasar di era globalisasi seperti sekarang ini, tak lain adalah bergesernya gaya hidup masyarakat ke arah budaya konsumerisme. Budaya konsumsi yang tumbuh dan berkembang dewasa ini, secara signifikan telah merubah logika kebutuhan konsumsi menjadi logika hasrat, yaitu bagaimana pola konsumsi, termasuk membaca, tidak lagi didasarkan pada nilai guna produk, tetapi sejauh mana nilai tanda yang dimuatnya.Â
Dalam prespektif kapitalisme baru, Theodor W Adorno (dalam sugihartati, 2012:163) mengemukakan bahwa produksi tanda dilakukan oleh para pelaku industri kebudayaan dengan didasarkan pada azas pemenuhan profit atau keuntungan.
Kehadiran industri kebudayaan membawa pengaruh penting pada pemahaman manusia akan dunia sekelilingnya. Dalam hal ini, bahan bacaan hanya dijadikan sebagai komoditas guna memenuhi kebutuhan pasar yang telah terstandarisasikan. Kultur kapitalisme yang dilakukan berikutnya adalah mengkonstruksi selera, citra, dan cita rasa masyarakat terhadap bahan bacaan tersebut, sehingga terbentuk suatu hegemoni budaya dan konsumsi.Â
Menendez (2014:65) mengutarakan keberadaan industri kebudayaan merupakan unsur pembentuk kebiasaan dalam masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan teoretisi Pierre Bordieu, ia menambahkan bahwasannya kepemilikan modal budaya, ekonomi, dan sosial dewasa ini digunakan untuk membentuk simbol-simbol. Modal simbolis inilah yang kemudian diberlakukan untuk menghegemoni masyarakat hingga mencapai kepatuhan terhadap struktur.
Ketika kekuatan kapitalisme mengembangkan segmentasi pasar, maka yang terjadi adalah pola komodifikasi yang semakin massif. Di bidang keaksaraan misalnya, ketika novel Dilan makin digandrungi oleh generasi muda, dalam waktu bersamaan pula dilakukan massifikasi produk kebudayaan dengan tema yang sama, yakni kombinasi antara penerbitan buku, periklanan dengan menampilkan tokoh yang ada pada novel, hingga pembuatan film dengan seri berlanjut pun dilakukan demi menciptakan tren di kalangan masyarakat.Â
Seperti dilansir dalam situs pemberitaan online Tempo.co, film Dilan 1990 yang di rilis pada tahun 2018 berhasil menembus angka 5,8 juta penonton dalam waktu kurang dari satu bulan. Sementara pemutaran film gencar dilakukan, serial novel yang pernah dirilis pada tahun 2014 pun dicetak ulang, hingga menembus kisaran 10.000 eksemplar.
Fenomena ini dapat menggambarkan betapa komodifikasi yang dilakukan oleh para pelaku industri budaya mampu menghadirkan tren yang kemudian diadopsi menjadi gaya hidup masyarakat. Adorno dan Horkheimer (dalam Gloria Gomez: 2014) berpendapat bahwa dengan menjadi penikmat produk insudtri budaya yang diwakili melalui simulasi iklan dan film, masyarakat lupa terhadap realitas mereka sendiri dan dengan demikian menjadi mudah dimanipulasi. Kenyataan ini sangat relevan dalam menggambarkan sistem keaksaraan masyarakat yang tidak lagi peka terhadap realitas sosial.
Pada konteks keaksaraan, Sahputra (2012:8) mengungkapkan bahwa keaksaraan adalah kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung untuk fungsi efektif dan pengembangan individu dalam masyarakat. Sedangkan buta aksara adalah masalah yang berimplikasi pada garis kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan.Â
Atas dasar itu pula konferensi para menteri Pendidikan sedunia di Teheran pada tahun 1965 mengusulkan kepada UNESCO agar semua negara anggota PBB memulai upaya pemberantasan buta aksara dengan didasarkan pada tiga indeks pembangunan manusia, yaitu pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Sementara angka melek aksara adalah salah satu variable dari indikator indeks pendidikan.
Sistem keaksaraan kini menemui problematika barunya. Masyarakat yang dapat dikatakan melek aksara, justru terancam mengikuti tren yang diciptakan oleh para pelaku industri budaya. Komodifikasi berupa bahan bacaan sangat berpotensi membuat masyarakat terjerembab kedalam dunia simulasi yang sengaja diciptakan, sehingga tak lagi menjadikan keaksaraan sebagai problem solving dalam persoalan di masyarakat.Â
Pola pikir semacam ini, oleh Sukarno disebut dengan sontoloyo. Terminologi sontoloyo yang digagas oleh Sukarno  dalam buku berjudul Islam Sontoloyo (2015:183) merupakan sebutan bagi masyarakat islam yang memiliki ajaran fiqih yang dogmatis, kaku, dan buta realitas.Â
Dewasa ini, terminologi sontoloyo sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang tersimulasi oleh komodifikasi keaksaraan yang merupakan produk industry kebudayaan. Pasalnya, kemampuan membaca buku hanya dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kesenangan dalam rangka mengikuti tren yang diciptakan oleh para kapitalis.
Masyarakat sontoloyo sejatinya merupakan kalangan yang melek aksara. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, ia buta terhadap sekitar, ia tidak mampu menggunakan keberaksaraannya untuk membaca realitas sosial, sehingga lebih memilih untuk memperkaya para kapitalis daripada harus bersusah payah mencari problem solving dari persoalan yang ada.Â
Dalam hal ini, Strinati (2007:73) mengungkapkan adanya suatu kemungkinan bagi masyarakat untuk mempertahankan standing position individu yang menolak komodifikasi keaksaraan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa produk industrialisasi budaya pada dasarnya bukan suatu hal yang mampu membentuk konstruksi sosial secara orang per orang.Â
Tetapi secara individu, karakteristik seseorang juga akan menentukan selera dan cita rasa, yang kemudian menghadirkan pilihan, menjadi masyarakat dengan keberaksaraan yang mampu membaca realitas, atau justru menjadi masyarakat sontoloyo.
Daftar Pustaka
Banks, Mark. Et.al. 2000. Risk and Trust in the cultural industries. UK: Manchester institute for popular culture
Diago, Gloria Gomez. 2014. The Role of Shared Emotions in the Construction of the Cyberculture: From Cultural Industries to Cultural Actions: The Case of Crowdfunding. Spain: Rey Juan Carles University
Holborow, Marine. 2018. Language, commodification and labour: the relevance of Marx. Ireland: Dublin City
Soekarno. 2015. Islam  Sontoloyo. Bandung: Sega Arsy. Cetakan Keempat
Sugihartati. 2012. Masalah Minat Baca. Surabaya: Revka Petra media
Leslie, Deborah. And Rantisi, Norma. 2017. Deskilling in cultural industries: Corporatization, standardization and  the erosion of creativity at the Cirque du Soleil. Canada: Departement of Geographi and Planning
Mendenez. 2014. Cultural Industries and Symbolic Violence: Practices and Discourses that Perpetuate Inequality. Spain: University of Burgos
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H