Saat nilai keluar, lagi-lagi nilai B mengisi daftar nilai saya.
***
Keajaiban juga terjadi di mata kuliah Antropologi Ekonomi. Mata kuliah ini menjadi wajib saya ambil karena keputusan mendadak dari para petinggi kampus. Dosennya juga impor, dari Fakultas Ilmu Budaya. Dari awal kuliah, dosen tersebut menjanjikan open book saat ujian. Mendengar hal tersebut, menyentuh buku sebelum ujian adalah haram bagi saya. Saya tidak belajar sama sekali, karena saya berniat akan belajar saat ujian berlangsung. Saya santai saat ujian sudah dekat. Sangat santai.
Kenyataan berkehendak lain. Apa boleh buat, mahasiswa berusaha, dosen yang menentukan. Saat kertas ujian dibagikan saya terpaku. Tidak open book! Mendapati kata “close book” di kertas ujian itu ibarat saya berjanji dengan perempuan yang saya sukai di suatu tempat, tapi begitu sampai ia bersama pria lain. Sakit!
Lagi-lagi saya bersama Aidi. Si pintar yang sering menggunakan kepintarannya untuk perang psikis. Begitu mengetahui sifat ujian adalah close book, ia tertawa puas, karena malamnya sudah belajar maksimal. Teman-teman sekelas mengagumi kerajinan Aidi. Saya dengki.
Dan lagi-lagi Aidi menambah kertas saat ujian baru berjalan limabelas menit. Ia maju ke meja pengawas yang disusul dengan decak kagum teman-teman sekelas. Saya? Hanya menggerutu serta menulis “Bangsat!” dengan huruf kapital di atas kertas soal. Iya bangsat!
Bukan hanya mengarang bebas, saya sudah membuat cerpen yang ditulis di lembar jawaban. Saya tidak tahu apa-apa sama sekali. Dari enam soal yang ditanya, saya jawab delapan. Bahkan pertanyaan terakhirnya pun gila!
- Sebutkan nama tokoh Antropologi Ekonomi yang Anda ketahui beserta teorinya!
Di kepala saya, hanya ada nama Koentjaraningrat yang sangat melekat dengan koridor antropologi. Selebihnya saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengarang untuk soal ini. Tidak bisa menciptakan tokoh antropolog khayalan dengan teorinya yang fiksi. Lalu otak saya yang hanya secuil berfikir cepat: saya tulis nama dosen lengkap dengan gelarnya. Teorinya? Saya rangkum dari bahan kuliah yang ia berikan.
Sebulan berlalu. Aidi datang ke saya dengan emosi.
“Kri, antrop lo dapet apa? Masa gue dapet C! Padahal gue yakin, malemnya juga gue belajar. Pas ngerjain ujiannya gue lancar kok, ga susah.”