Limabelas menit, lembar jawaban saya masih kosong. Bahkan setelah membaca soal tersebut, mengisi nama dan tanggal saja rasanya harus mencontek. Tigapuluh menit kemudian, saya mampu mengerjakan soal yang bobot nilainya paling kecil. Akhirnya ada coretan pulpen di atas lembar jawaban saya. Saya lihat pengawas ujian pun sujud syukur dan bernafas lega melihat hal itu.
Dan ternyata hanya soal tersebut yang saya bisa kerjakan, sisanya? Entahlah. Saat situasi dan kondisi mendukung, saya colek Nugroho sekaligus berbisik manja.
“Sstt Nug! Liat yang lo bisa dong, gue nyontek!”
Nugroho tidak memberikan contekan, ia hanya menggeleng. Dari gelengan kepalanya, saya kira Nugroho adalah orang yang jujur. Ia tidak membiarkan saya berbuat curang dengan mencontek. Kemudian ia menggeser kertas buram yang digunakan untuk corat-coret hitungan. Saya intip.
Gambar pohon beringin.
Saya tertawa. Sasaran saya pindah, kali itu ke Bison yang berada persis di belakang saya.
“Sstt Son! Liat jawaban yang mana aja deh, gue ga bisa sama sekali!”
Tak beberapa lama, Bison menyerahkan sobekan kertas buram lewat bawah kursi. Saya ambil perlahan. Saya buka pelan-pelan gumpalan kertas tersebut. Isinya: GW GA BISA, CUMAN BISA YANG INI dan jawaban soal yang sudah saya kerjakan.
Saya tertawa lagi.
Benar kata pakar, orang bisa melakukan apa saja kalau sedang dalam keadaan terjepit. Saya sedang dalam keadaan terjepit saat otak saya memikirkan ide yang sangat amat jenius dalam sejarah peradaban manusia: menyalin soal agar lembar jawaban terlihat penuh.
Akhirnya semua soal saya salin serapi dan sedetail mungkin. Bahkan saya sempat berniat untuk menambah kertas lembar jawaban. Setelah pergulatan logika, niat mulia itu tidak jadi dilaksanakan. Setelah selesai, lembar jawaban saya berisi satu nomer jawaban dan empat atau lima nomer yang lain adalah soal sepersis mungkin. Lengkap dengan tabel dan perintah pengerjaan soal.