Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kompilasi Afeksi #2

24 Juni 2011   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:13 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mandi, keramas, sikat gigi, dan menyabuni badan agar kinclong dan wangi. Saya siap bertemu dengan Tukang Es Batu. Jam sebelas lebih saya dikabari kalo Tukang Es Batu sudah di lokasi penjemputan. Dengan langkah ringan dan berapi – api, saya siap dijemput.

“Kak, aku udah di CK ya!”

Tiga menit kemudian saya sudah berada di CK. Cuman ada satu mobil warna perak sudah terparkir di tengah, saya tengok pengemudinya. Ga lucu juga kalo saya langsung masuk, tau – tau isinya tante – tante make stocking jala warna merah jambu sambil membawa pecut. Bisa – bisa saya putus kuliah. Setelah saya pastikan kalo supirnya adalah Tukang Es Batu, saya langsung menyapa dan masuk ke dalam mobil.

Saya liat tangan kecilnya yang sedang memegang setir dipenuhi bulu – bulu halus nan lebat. Saya pernah baca mitos tentang perempuan berbulu lebat berarti libidonya tinggi. Kepala saya spontan dipenuhi pikiran mesum yang ga bisa dituliskan di sini. Bego.

Di dalam mobil terjadi diskusi rute penyebaran poster. Agar efektif, poster ini harus dilekatkan ke kampus dan tempat – tempat ramai lainnya. Siang itu, saya memutari Jogja. Menyinggahi beberapa kampus dan beberapa tempat nongkrong kawula muda. Tadinya juga mau ke sarkem, tapi sarkem baru rame pas malem, itu pun hanya gaduh di dalam kamar.

Beberapa tempat sudah dilewati, perut menjerit meminta makan siang. Penyebaran poster diinterupsi makan siang. Tiga puluh menit berlalu untuk makan, ngobrol dan tertawa. Poster kembali ditempel selepas makan. Saya baru pulang jam sembilan malam. Hari itu saya pergi seharian dengan Tukang Es Batu.

Kegiatan – kegiatan yang saya idamkan sebelumnya terjadi. Rasanya ada yang salah. Ga mungkin cerita ini terjadi semulus itu. Apa yang salah? Bukan berdua tapi bertiga! Salah satu anggota seksi, Litya, sudah duduk manis di sebelah kemudi begitu saya sambangi di CK. Di sebelah Tukang Es Batu. Di mobil pun saya duduk sendiri di belakang. Ngobrol juga kalo diajak. Kalo ga diajak diem aja. Ibaratnya saya cuman iklan. Sering nongol tapi sebentar doang.

Hari itu saya cuman jadi roda ketiga. Tapi itu sudah cukup untuk membuat efek membumbung tinggi dalam dada.

***

Saya berkolaborasi dengan Tiara. Saya minta lebih banyak ditugaskan berdua dengan Tukang Es Batu. Tiara menyanggupi. Ini adalah contoh simbiosis komensalisme yang sempurna. Saya untung, si Tiara ga rugi apa – apa. Harusnya besok ada contoh kayak gini di buku biologi.

Tiara bereaksi cepat. Segala tugas yang harusnya saya kerjakan, dibagi ke Tukang Es Batu. Begitu juga dengan tugas Tukang Es Batu, saya juga harus membantu yang dengan senang hati saya lakukan. Tapi ya itu tadi, Tukang Es Batu selalu mengajak Litya. Dia ga mau hanya saya yang berada di dalam mobilnya. Saya harus tetap berada di bangku belakang. Sial.

Keadaan itu tidak menutup semangat saya. Dengan daya juang yang tinggi saya tetap bisa menerima Litya yang menempati bangku sebelah supir yang semestinya saya duduki. Dan memandangi bulu – bulu halus di tangan Tukang Es Batu.

Tugas mengurusi poster saya kerjakan dengan Tukang Es Batu. Masalah pembuatan baliho dan spanduk saya kerjakan dengan Tukang Es Batu.Semua masalah yang menyangkut hal publikasi dan dokumentasi saya lakukan dengan senang hati bersama Tukang Es Batu, oke, juga Litya. Semua dilakukan agar acara sukses.

Hingga ketua panitia melontarkan ide ajaib: gimana kalo seksi pubdok membuat film yang setema dengan acara. Saya iyakan. Dalam lima belas menit skenario film selesai. Sejujurnya, saya ingin menjadikan Tukang Es Batu sebagai talent utama. Sebagai bintang utama.

Entah karena malu atau jijik dengan saya sebagai lawan mainnya, dia enggan. Dia lebih memilih tampil sebagai cameo. Ya sudahlah, mau gimana lagi, namanya juga spekulasi. Ada yang gagal, dan ada yang gagal banget. Sekali lagi, itu dilakukan dengan tujuan yang sama: acaranya sukses.

Harusnya saya memanfaatkan situasi itu. Dengan alesan demi suksesnya acara, saya yakin dia akan menurut. Ingat saya dipanggil kakak. Itu berarti saya lebih senior dari adik, saya punya kasta yang lebih tinggi. Saya bisa menyuruh sesuka hati.

“Tukang Es Batu! Kita harus nyebar undangan!”

“Tapi kak…”

“Ini semua demi suksesnya acara!”

“Baiklah.”

Atau.

“Tukang Es Batu! Kamu harus mijitin aku! Sebelumnya kita makan malem dulu berdua!”

“Tapi kak…”

“Kamu ga inget, berapa puluh orang yang ga keterima jadi panitia acara ini. Mereka pasti berhak menuntut kalo kamu kerjanya ga bener. Belum lagi yang udah jadi panitia! Mereka udah nyiapin ini dari nol. Mereka udah berbulan – bulan kerja demi nama baik jurusan dan universitas! Itu semua dilakukan demi suksesnya acara! Kamu ga mau kan acaranya jadi gagal cuma gara – gara hal sepele. Gara – gara kamu ga mau mijitin aku doang? Mau ditaro dimana ini muka? Ingat! Ini semua demi suksesnya acara! Camkan itu!”

Kemudian saya memunggungi Tukang Es Batu. Cahaya matahari jingga di ufuk barat.

***

Acara jurusan itu kelar. Itu juga berarti kedekatan yang terjalin antara saya dan Tukang Es Batu juga harus diakhiri. Saya udah kehabisan bahan untuk tetap menghubungi Tukang Es Batu tanpa kentara kalo saya lagi ngedeketin dia. Sampai sebulan setelahnya, Tiara ulang tahun. Seluruh seksi diundang untuk ditraktir iga bakar.

Itu berarti saya bisa satu mobil lagi dengan Tukang Es Batu. Dan tetap duduk di kursi belakang.

Pesta ulang tahun Tiara cukup sederhana tapi hangat. Cukup dengan makan – makan dan mengobrol sampai puas. Di penghujung pesta, Tukang Es Batu mengeluarkan pernyataan yang sangat amat keren. Dia mengajak saya mencari kado untuk Tiara di Ambarukmo Plaza. Okay ralat, mengajak saya dan Litya.

Seharusnya saya sudah sadar. Dia ga mau saya deketin dia. Berulang kali Litya juga eksis dalam kegiatan publikasi dan dokumentasi garis miring usaha pendekatan saya. Penyesalan selalu datang belakangan, mirip polisi dalam film India. Saya tetep ga paham kalo hadirnya Litya adalah bentuk penolakan. Kepala saya memang mirip batu, keras dan ga bisa dipake mikir. Bebal.

Saya mengangguk merespon ajakan Tukang Es Batu. Paling ngga, ketika sampai di Ambarukmo Plaza bisa ketemu anak – anak kampus. Saya berharap ketemu anak – anak kampus di sana. Hal itu bisa menjadi sinyalemen awal kalo saya mau deketin Tukang Es Batu. Dengan modal angkatan tua, rambut gondrong sepunggung, dan celana bolong, saya yakin kengerian akan terpancar sendirinya ke angkatan bawah yang nantinya diharapkan ketemu di Ambarukmo Plaza.

Janji untuk mencari kado saat itu juga. Selesai pesta, tiga orang dalam mobil perak langsung menuju pusat pergaulan muda mudi Jogja. Saya tetap bisa memancarkan kengerian dalam bayangan saya, hingga ponsel saya berbunyi. Mirza menelpon saya.

“Fik, lo di mana?”

“Err, gue lagi di mobil. Lagi jalan”

“Katanya lo mau bantuin gue bikin film buat pacar gue. Bentar lagi loh ulang taunnya?”

“Oh iya! Kapan maunya?”

“Ya kalo hari ini bisa, ya sekarang aja.”

“Ohh gitu ya?”

Kalau sudah urusan menolong temen, saya suka lupa kepentingan sendiri. Bahkan untuk hal krusial semacam mendekati lawan jenis.

“Tukang, gue ga jadi ikutan. Gue turun sini aja. Mau bantuin Mirza, bikin kado buat Imel cewenya. Bentar lagi ulang tahun soalnya.”

“Yakin, ga jadi ikutan?”

“Yakin, udah abis lampu merah berhenti bentar aja, gue turun.”

“Ya udah kalo gitu.”

Beberapa meter setelah lampu merah, mobil menepi. Saya turun lalu menghubungi Mirza.

“Mir, lo jemput gue di CK Gejayan yak. Buruan gue tungguin!”

“Ya gue meluncur ke sana sekarang!”

Dengan langkah gontai saya menuju CK Gejayan. Dari lampu merah pertigaan tempat saya turun, CK masih dua ratus meter. Lumayan buat betis. Saya beli minuman bersoda sesampainya di CK. Tiga puluh menit kemudian Mirza dateng.

“Lama amat lo! Kost lo kan deket dari sini.”

“Gue dari Malioboro, nyari kado. Lah lo ngapain bisa ada di sini?”

“Tadi gue lagi mau ke Amplaz. Mau jalan bareng Tukang Es Batu nyari kado buat Tiara.”

“Oh lo lagi usaha? Kenapa ga bilang, bego! Tau gitu ya ntar aja abis lo jalan!”

“Ya gue kira lo mendesak banget, sampe nelponin gue gitu. Ya udah gue tadi minta turunin di jalan.”

“Sumpah, Fik. Lo emang bego!”

Iya saya memang bego.

***

*sambung lagi nanti malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun