Saya kira daftar hewan yang saya benci hanya dua: Kecoa dan belalang. Tapi sejak tadi malam, saya memantapkan diri untuk menambahkan daftar itu. Tuhan, kuatkanlah saya. Adalah kelabang yang berbaris di belakang kecoa. Saya pernah menuliskan betapa bencinya saya terhadap kecoa dan belalang. Sekarang giliran kamu, kelabang!
Masing - masing binatang di atas punya cara sendiri untuk menginvasi kamar mandi saya. Kalo cacing tanah selalu muncul dari sela - sela keramik. Tubuhnya yang kecil, berlendir, dan menggeliat memungkinkan ia melewati rongga sempit celah antarkeramik. Kalo kecoa selalu muncul dari lubang air. Kalo kelabang, dari dinding! Ajaib.
Saya kira cuma kamar mandi saya saja yang didatangi kelabang. Karena kamar mandi saya letaknya paling dekat dengan saluran pembuangan air untuk seluruh kost. Jadi wajar saja kalo kelabang, kecoa, dan cacing tanah suka nongkrong di sana. Tapi ternyata semua kamar juga diinfiltrasi dengan binatang yang sama. Bahkan lantai dua pun. Cacing tanah bisa bersemayam di sana.
Yang saya benci dengan adanya kelabang di kamar mandi ialah dia ga ikut patungan bayar sewa kost. Dia numpang di kamar saya.
Saya sudah berkali - kali membersihkan lantai wc dengan karbol, cairan pembersih wc, baygon, dan semacamnya. Tapi binatang itu tetap muncul. Okelah kalo cuman cacing tanah, ga gitu ngeganggu. Kecoa agak mengganggu. Serangga sama kayak cacing, ga ganggu. Tapi kelabang, lain ceritanya.
***
Waktu itu saya bangun dengan keadaan biji yang gatal. Saya kira digigit semut, lalu garuk biji sebentar lalu kembali tidur. Tiga menit setelahnya, rasa gatal berubah menjadi sakit. Sakit banget! Kayak ditusuk jarum panas, sakit dan panas. Saya bangun untuk menyalakan lampu dan cek keadaan biji saya. Agak bengkak dan memerah.
"Wah ini ga mungkin semut. Semut ga sesakit ini kalo gigit." Saya berbicara dengan biji.
Saya mencoba mengabaikan rasa sakitnya. Karena malas berdiri untuk mematikan lampu lagi, kepala langsung saya arahkan ke bantal. Jreeeenggg! Seekor kelabang berukuran kira - kira lima centimeter nangkring di atas guling. Saya sontak bangun. Mata langsung saya arahkan ke benda apapun yang bisa dipakai sebagai instrumen pemukulan.
Saya lupa mengambil benda apa, tapi ketika saya kembali ke kasur, si kelabang sudah sirna. Ia lenyap bagai ditelan guling. Sementara ia lenyap, saya galau. Galau kalau ternyata kelabang itu adalah kiriman dari seorang perempuan tanpa identitas untuk memelet saya. Galau karena takut biji saya membusuk dan diamputasi.
Saya duduk di pojok kamar. Kepala menghadap eternit. Lalu terbersit secuil potongan kenangan indah bersama biji. Bagaimana biji selalu menemani titit saya kemana pun titit saya pergi. Terjalin akrab. Persahabatan yang indah layaknya cerita sinetron.
Saya menghabiskan sepertiga malam untuk mengenang calon biji amputasi. Ga lucu juga kalo misalnya nanti dibawa ke unit gawat darurat pake ambulance. Terus nyalain lampu dan sirinenya kalo jalanannya rame. Pak supirnya nyalain mikrofon.
"Minggir - minggir, daruraaaaat. Bijinya digigit kelabang."
Ga jadi cerita sinetron lagi. Jadi cerita misteri campur medis.
Lalu pikiran yang lain tiba - tiba terlintas.
"Kalo ini biji diamputasi, emang sih bentuknya aneh. Tapi bisa melakukan penetrasi dan orgasme tanpa mengeluarkan sperma. Saya tidak perlu keluar uang banyak untuk vasektomi!"
Kemudian saya bersemangat untuk tidur kembali.
Sayangnya biji tak jadi diamputasi. Benar kata orang, memang biji tak bertulang.
***
Semenjak insiden penggigitan biji itu terjadi, saya semakin sigap dan waspada dengan hadirnya kelabang di kamar saya. Pernah suatu ketika saya sedang menyapu, di suatu dinding yang catnya agak terkelupas yang berbatasan langsung dengan kamar mandi kamar sebelah terkena goyangan sapu, muncullah tujuh ekor kelabang mini. Masih lucu - lucunya. Saya lalu mengambil baygon. Mati kau.
Sarang sudah saya hancurkan dengan menyemprot baygon dan hit secara bersamaan. Saya kira sudah bisa bernafas lega. Tidak akan lagi gangguan dari kelabang. Biji saya tidak akan membengkak dan memerah. Tidak akan ada lagi merenung membayangkan persahabatan antara biji dan titit di sepertiga malam terakhir. Waktu yang mulia.
Beberapa bulan, hingga pada suatu ketika.
Saya mandi seperti biasanya. Sabunan, keramas, sikat gigi, cuci muka, dan mengeringkan badan dengan handuk. Proses terakhir itu saya suka. Ada sensasi tersendiri ketika wol menyentuh tubuh. Memijat kulit kepala. Membersihkan belakang telinga. Mengelap selangkangan. Mengeringkan badan dengan handuk itu nikmat. Tapi kali itu berbeda. Tiba - tiba punggung merasakan sakit. Sakit yang sama dengan beberapa bulan yang lalu. Dan benar! Ketika handuk saya buka, kelabang sudah nangkring di sana. Kali ini kecil, hanya tiga centimeter. Tapi sakit yang ditimbulkan tetap sama. Ergh.
Seperti yang tadi saya bilang, kelabang muncul dari dinding. Mungkin kelabang berkembang biak dengan cara distek di dinding. Sama kayak singkong. Lalu ia menjalar ke tempat di mana handuk saya tergantung manja. Pijatan wol membuatnya betah di sana.
Membunuh kelabang itu tidak mudah. Kalo masih seukuran satu centimeter cukup semprot dengan baygon. Kalo udah sepanjang lima centimeter, bisa dengan baygon juga. Tapi digetok, bukan disemprot. Oleh karena itu, kelabang yang ada di handuk tadi saya pukul. Dengan sikat wc. Kok ga nyambung? Iya saya juga ga ngerti.
***
Tadi malam, saya lagi mau pipis. Saya mendengar suara mirip tikus tapi dengan versi yang lebih kecil. Saya lihat ke arah sumber bunyi. Itu kelabang! Saya kaget. Saya sempat tidak percaya ketika teman saya bilang kalo kamar mandinya dipenuhi suara kelabang. Saya kira kelabang bisu.
Saya mengambil sikat wc di dalam ember. Saya ambil posisi kuda - kuda ingin memukul. Jreeeeng! Kelabang terbesar yang pernah saya lihat di kamar mandi! Sepuluh centimeter dengan bulu - bulu halus di ujung kepala dan ekornya. Serta kakinya yang banyak dan bergerak bersamaan. Saya merinding geli.
Lalu kelabang itu berjalan ke arah pojok. Mau kabur ke sarang kayaknya. Tiba - tiba dari arah yang berlawanan muncul kelabang dengan ukuran yang sama persis. Kelabangnya ada dua! Saya yakin kelabang yang pertama cuma sebagai pengecoh. Agar yang kedua bisa menyerang saya ketika saya lengah. Tapi ternyata tidak.
Mereka berdua bergabung bersama di pojok kamar mandi. Menggabungkan tubuhnya. Bukan, ini kelabang, bukan transformers. Saya ga ngerti apakah proses penggabungan dan pergumulan itu termasuk tata cara berkembangbiaknya si kelabang. Tapi saya merinding geli ngeliatnya. Saya ga tahan melihat adegan seksual itu. Ga tahan pengen mukul.
Saya pisahkan mereka dari persetubuhan. Lalu salah satunya saya pukul dengan sikat wc. Tepat di bagian kepala. Braaak! Tiga kali ia masih menggelepar. Lima pukulan kemudian, ia sudah diam. Target berpindah. Kali ini saya giring ia ke tengah kamar mandi. Cara yang sama saya praktekkan. Delapan pukulan total dan ia mati. Saya ambil sendok. Bukan buat lauk, tapi buat mencungkil tutup lubang saluran air. Saya siram kedua jenazah dengan air dua gayung. Saluran air saya tutup. Misi selesai.
Tidak terduga sama sekali, tiba - tiba kelabang ketiga muncul. Dari celah antara jamban dengan ubin. Muncul begitu saja tanpa permisi. Saya ambil sendok lagi. Saya buka saluran penutup. Ukuran kelabang ketiga hanya seperdua dari kelabang pertama dan kedua. Cukup lima pukulan sikat wc ia sudah tewas.
"Fiiik, pinjem kunci gerbaaaang! Gue mau beli aer." Tiba - tiba teman saya datang ke kamar ketika saya sedang memproses mayat kelabang ketiga. Saya siram ke lubang pembuangan. Saya jalan ke pintu kamar dan menyerahkan kunci gerbang ke teman saya. Saya balik ke kamar mandi.
Kelabang itu hidup lagi. Menjadi lebih gesit. Gerakannya lincah. Mirip pengemudi tong setan. Entahlah analoginya saya juga asal tulis. Pokoknya dia hidup lagi dan lebih sigap. Tapi posisinya sudah berubah. Kali ini di tempat saya meletakkan botol sabun cair. Aneh. Itu kelabang keempat! Di saat yang hampir bersamaan juga muncul lagi kelabang. Kelabang kelima! Apa ini? Musim kawin kelabang? Kelabang lagi wisuda? Argh!
Dengan serta merta dua - duanya saya bunuh. Mati kau.
Saya ga ngerti kenapa tadi malem mendapat fenomena ganjil seperti itu. Kelabang bermunculan. Pesugihankah? Santetkah? Musim kawinkah? Apel malam? Ronda? Ah entahlah! Yang jelas kelabang menempati posisi ketiga hewan yang saya benci. Itu saja.
[Jogjakarta. 24 Mei 2011. 11:40 PM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H