Saya mandi seperti biasanya. Sabunan, keramas, sikat gigi, cuci muka, dan mengeringkan badan dengan handuk. Proses terakhir itu saya suka. Ada sensasi tersendiri ketika wol menyentuh tubuh. Memijat kulit kepala. Membersihkan belakang telinga. Mengelap selangkangan. Mengeringkan badan dengan handuk itu nikmat. Tapi kali itu berbeda. Tiba - tiba punggung merasakan sakit. Sakit yang sama dengan beberapa bulan yang lalu. Dan benar! Ketika handuk saya buka, kelabang sudah nangkring di sana. Kali ini kecil, hanya tiga centimeter. Tapi sakit yang ditimbulkan tetap sama. Ergh.
Seperti yang tadi saya bilang, kelabang muncul dari dinding. Mungkin kelabang berkembang biak dengan cara distek di dinding. Sama kayak singkong. Lalu ia menjalar ke tempat di mana handuk saya tergantung manja. Pijatan wol membuatnya betah di sana.
Membunuh kelabang itu tidak mudah. Kalo masih seukuran satu centimeter cukup semprot dengan baygon. Kalo udah sepanjang lima centimeter, bisa dengan baygon juga. Tapi digetok, bukan disemprot. Oleh karena itu, kelabang yang ada di handuk tadi saya pukul. Dengan sikat wc. Kok ga nyambung? Iya saya juga ga ngerti.
***
Tadi malam, saya lagi mau pipis. Saya mendengar suara mirip tikus tapi dengan versi yang lebih kecil. Saya lihat ke arah sumber bunyi. Itu kelabang! Saya kaget. Saya sempat tidak percaya ketika teman saya bilang kalo kamar mandinya dipenuhi suara kelabang. Saya kira kelabang bisu.
Saya mengambil sikat wc di dalam ember. Saya ambil posisi kuda - kuda ingin memukul. Jreeeeng! Kelabang terbesar yang pernah saya lihat di kamar mandi! Sepuluh centimeter dengan bulu - bulu halus di ujung kepala dan ekornya. Serta kakinya yang banyak dan bergerak bersamaan. Saya merinding geli.
Lalu kelabang itu berjalan ke arah pojok. Mau kabur ke sarang kayaknya. Tiba - tiba dari arah yang berlawanan muncul kelabang dengan ukuran yang sama persis. Kelabangnya ada dua! Saya yakin kelabang yang pertama cuma sebagai pengecoh. Agar yang kedua bisa menyerang saya ketika saya lengah. Tapi ternyata tidak.
Mereka berdua bergabung bersama di pojok kamar mandi. Menggabungkan tubuhnya. Bukan, ini kelabang, bukan transformers. Saya ga ngerti apakah proses penggabungan dan pergumulan itu termasuk tata cara berkembangbiaknya si kelabang. Tapi saya merinding geli ngeliatnya. Saya ga tahan melihat adegan seksual itu. Ga tahan pengen mukul.
Saya pisahkan mereka dari persetubuhan. Lalu salah satunya saya pukul dengan sikat wc. Tepat di bagian kepala. Braaak! Tiga kali ia masih menggelepar. Lima pukulan kemudian, ia sudah diam. Target berpindah. Kali ini saya giring ia ke tengah kamar mandi. Cara yang sama saya praktekkan. Delapan pukulan total dan ia mati. Saya ambil sendok. Bukan buat lauk, tapi buat mencungkil tutup lubang saluran air. Saya siram kedua jenazah dengan air dua gayung. Saluran air saya tutup. Misi selesai.
Tidak terduga sama sekali, tiba - tiba kelabang ketiga muncul. Dari celah antara jamban dengan ubin. Muncul begitu saja tanpa permisi. Saya ambil sendok lagi. Saya buka saluran penutup. Ukuran kelabang ketiga hanya seperdua dari kelabang pertama dan kedua. Cukup lima pukulan sikat wc ia sudah tewas.
"Fiiik, pinjem kunci gerbaaaang! Gue mau beli aer." Tiba - tiba teman saya datang ke kamar ketika saya sedang memproses mayat kelabang ketiga. Saya siram ke lubang pembuangan. Saya jalan ke pintu kamar dan menyerahkan kunci gerbang ke teman saya. Saya balik ke kamar mandi.